Bagian - 10

407 67 3
                                    

Di pusara istrinya Magani kembali menangis. Sebenarnya, ia bukan tipikal laki-laki cengeng. Saat ditinggal ayahnya di usia yang masih kecil, dan harus membantu ibunya berjualan di pasar, Magani sama sekali tidak mengeluh. Meski harus mengorbankan waktu bermainnya dengan teman-teman, karena setelah selesai sekolah, Magani masih harus bekerja. Sedikit pun, Magani tidak bersedih dengan takdirnya yang harus mencari uang di saat masa kanak-kanak. Tapi, sejak kepergian istrinya beberapa bulan yang lalu, dunia Magani seperti runtuh. Magani sering bersedih. Tiba-tiba saja tak bersemangat menjalani hari. Magani merasa menjadi makhluk paling lemah di muka bumi.

"Laura sudah bisa tengkurep. Sama Winda diajarin manggil Papa, tapi yang keluar dari mulutnya malah Baba. Gemes banget anak bayi zaman sekarang. Aku nggak bisa jauh-jauh dari dia. Baru sampai kantor, sudah kangen lagi. Rasanya pengin di rumah aja main-main sama Laura, nggak usah kerja."

Magani membasuh pusara yang bertuliskan nama istrinya dengan air. Membersihkan cipratan tanah yang menempel karena semalam hujan lebat, yang membuat tempat persemayaman istrinya, yang sudah dipasang marmer menjadi sedikit kotor.

"Meskipun kata orang-orang mirip aku, tapi dari polah tingkahnya, kayaknya sih bakal nurun kamu. Yang ceria dan cerewet. Yang bikin aku kangen tiap inget kamu. Rumah rasanya sepi, nggak ada yang ngomel-ngomel lagi."

Setelah sudah bersih, Magani bersimpuh di samping pusara. Membuka buku yasin dan mulai membacanya. Dengan penuh hikmat ayat-ayat al-quran itu dilantunkan. Lalu ia panjatkan doa, bukan hanya untuk Diandra, tapi juga pada dirinya sendiri. Agar diberikan kesabaran, dan keikhlasan menjalani takdir yang tidak mudah ini.

"Nanti kalau Laura sudah umur setahun, aku ajaknya ke sini. Dia kalau lagi rewel, terus aku tunjukin foto kamu di HPku, pasti langsung diem. Aku ajarin ngucap Mama, tapi yang keluar Baba terus. Anakmu benar-benar gemesin, Sayang. Kamu nggak kangen sama dia ta?"

Sebelum semakin emosional, Magani memilih pamit undur diri. Tak lupa ia berjanji akan sering-sering berkunjung.

Saat Magani baru saja duduk di balik kemudi, ponselnya berdering. Nama perempuan yang pernah menjadi kliennya tertera di layar.

"Halo, Mas Gani. Maaf, saya ganggu waktunya." Suara perempuan itu langsung masuk di rungunya.

"Iya, Mbak, tidak apa-apa. Ada yang mau diomongin?" Tanya Magani.

"Ini loh, Mas, soal rooftop. Mohon maaf ya, Mas Gani. Saya tahu Mas Gani sudah limpahin pekerjaan ini ke Mas Virgo. Tapi gimana, ya, sekali lagi saya minta maaf. Kok saya rasanya kurang srek. Dari awal Mas Virgo nyodorin tiga gambar, saya nggak ada satu pun yang cocok. Tapi, karena nggak punya pilihan, Bos nyaranin pilih salah satu yang paling oke. Kalau Bos saya sih cuek aja. Tapi saya tahu sebenarnya dia juga sama seperti saya, tapi dia udah pasrah karena nyari arsitek nggak segampang itu. Dan Bos saya sibuk banget, tidak ada waktu buat urusin begituan. Sekali lagi, saya minta maaf, Mas Gani."

"Coba nanti atau besok saya cek ya, Mbak." Respon Gani.

"Serius, Mas? Nggak apa-apa? Kalau Mas Gani sibuk, kapan-kapan aja nggak masalah, Mas."

"Nanti saya ngomong dulu sama Virgo. Belakangan ini jadwal saya memang cukup padat. Tapi akan saya usahain."

"Ya Allah! Makasih banyak, Mas Gani."

"Sama-sama, Mbak." Magani mulai menjalankan kendaraannya setelah mematikan sambungan telepon.

Jendela Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang