"Ini sebenarnya di dalam ada orangnya nggak sih?! Lama banget dari tadi nggak keluar-keluar!"
"Ada suara air kran nyala sih. Pasti ada orangnya. Mungkin emang belum kelar aja. Pagi-pagi begini emang rawan kebelet."
"Hish, lama banget! Mana kamar mandinya cuma dua. Ya kali aku pakai kamar mandi cowok?!"
"Pakai aja sudah! Nggak masalah. Biar aku yang jaga di luar."
Terdengar suara-suara dari luar pintu yang tertutup. Gedoran dari tangan-tangan orang yang mengantri untuk masuk ke toilet umum kampus cukup menggangu konsentrasi Magani pada aktivitasnya pagi ini bersama sang kekasih. Salah satu tangan Magani terulur ke depan untuk membungkam bibir ranum yang sejak tadi tak berhenti mengeluarkan desah tertahan. Sentakan penuh tenaga kembali diberikan, sebelum Magani melolong panjang merasakan nikmat yang tak terperi.
"Di luar kayaknya masih rame banget, Yang." Ujar Magani, setelah keduanya selesai membersihkan diri. "Kita tunggu sampai benar-benar sepi, baru kamu keluar duluan, ya."
Gadis yang Magani pacari nyaris empat tahun lamanya itu mengangguk kecil. "Tadi aku ada dengar suara Dalia sama Pingkan. Huh, ganggu saja!"
Magani tersenyum, jari-jarinya digunakan untuk mencubit hidung bangir sang kekasih. "Harus sabar. Kitanya yang salah tempat."
"Kamu yang nggak modal!" Gerutunya.
"Belum gajian, Sayang. Nggak ada duitlah aku."
"Kan bisa pakai duitku dulu. Kamu yang terlalu gengsi."
Tanpa aba, dikecup singkat bibir cemberut agar berhenti cerewet. "Sudah sepi kayaknya. Gih, kamu keluar duluan! Eh, maskernya dipakai dulu, Sayang!"
Gadis yang kuliah di jurusan dokter umum itu mengambil ancang-ancang keluar dari toilet yang memang sudah disediakan di tiap fakultas. "Oke. Kita sarapan di tempat biasanya, ya. Aku tunggu di sana."
"Siap. Langsung aku susul." Didorong pelan kekasihnya keluar toilet. Magani menunggu hingga beberapa detik, sampai sekiranya gadisnya tadi sudah berjalan cukup jauh, baru kemudian Magani menyusul keluar. Kondisi sepi. Magani segera melangkah gegas meninggalkan toilet umum milik fakultas saintek sebelum ada yang menyadari keberadaanya.
Sayangku : Sayang, di sini ada Prof Guntur. Nggak tahu nih, tumben banget orangnya sarapan di sini. Kamu sarapan di kantin saja deh, ya. Gawat kalau Prof Guntur ngadu ke Papa, kita masih sering ketemuan. Maaf, Sayang. Sampai ketemu nanti sore di kontrakan. I love you so much, Babe!
Mendesah gusar, Magani berbalik arah tidak jadi menyusul kekasihnya. Selama hampir empat tahun menjalin hubungan dengan anak rektor, ayah dari kekasihnya itu belum juga memberi restu. Magani cukup tahu diri, perbedaan status sosial keluarga, dan posisi Magani yang seorang mahasiswa arsitektur dengan jalur prestasi. Jika tidak karena ia memiliki otak yang encer, mustahil bisa masuk di kampus favorit di kota ini.
Dulu, saat memutuskan untuk lanjut kuliah, Magani pernah bersumpah hanya akan fokus pada sekolah dan karirnya. Ayahnya sudah lama meninggal, selama ini, ibunya seorang diri mengurus dua anak, Magani dan adik perempuannya. Ibu Magani memiliki usaha kecil-kecilan yaitu berjualan kue basah, dan terkadang menerima pesanan untuk acara hajatan. Dari kecil Magani sudah terbiasa membantu ibunya, membawa hasil olahan ibunya ke sekolah untuk dijual.
Bersyukur, Tuhan selalu memudahkan jalan Magani untuk mendapatkan apa pun yang jadi target hidupnya. Saat sudah menginjak bangku perguruan tinggi, berkenalan dengan banyak orang yang sesuai dengan disiplin ilmunya, tak jarang Magani memperoleh tawaran untuk menyelesaikan sebuah proyek bangunan. Entah itu rumah, gedung perusahaan, restoran, hingga mal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Kedua (TAMAT)
Romance"Jodoh nggak akan salah tempat. Cukup percayai itu."