Bagian - 9

633 123 12
                                    

Mendekati hari perkiraan lahir, istrinya sering mengeluh ketakutan. Magani sudah coba menghibur dengan mengajak pergi jalan-jalan, tapi setelah sampai rumah, wajah istri kembali murung. Setiap Magani bertanya sebab apa yang membuat istrinya bersikap demikian, istrinya selalu menjawab dengan gelengan.

Magani baru menemukan semua jawabannya sekarang. Istrinya ketakutan, sedih, menangis, sering mengigau, tanpa alasan yang jelas adalah sebuah pertanda akan datangnya hari ini. Setelah perjuangannya melahirkan, tiba-tiba saja istrinya mengalami pendarahan hebat yang membuatnya koma. Sudah tiga hari tiga malam istrinya belum juga sadar. Dokter masih berusaha mendalami menyebab semua ini terjadi.

Istrinya tidak memiliki riwayat penyakit yang membuatnya harus berobat terus-menerus. Saat hamil, Magani rutin mengantar sebulan sekali kontrol. Dokter kandungan menyatakan semua aman, dan istrinya siap melahirkan normal. Tapi nyatanya Tuhan berkata lain.

Dalam tiga hari yang terasa panjang, menunggu keajaiban datang untuk istrinya, tidak sedetik pun Magani melepaskan genggaman tangannya. Segala cara sudah dilakukan, dengan mengajak bicara istrinya, seperti yang disarankan dokter. Sesekali, ia akan melihat istrinya merespon dengan meneteskan air mata, meski dalam kondisi mata terpejam. Magani terasa campur aduk, dadanya seperti dihimpit oleh batu besar dan membuatnya sesak.

"Sayang, apakah sakit banget?" Bisik Magani yang tak terhitung jumlahnya. "Apa kamu masih ketakutan? Jangan takut, Sayang. Aku nggak akan pergi ke mana-mana." Lalu Magani akan mengelap air matanya yang menetes tanpa dikomando.

"Diandra, maafkan aku, kalau selama menjadi suami, masih terlalu banyak kekurangan. Kamu sering protes kalau aku sudah sibuk sama kerjaan. Bangun, Sayang! Aku janji akan lebih perhatian lagi sama kamu. Aku janji nggak akan cuekin kamu lagi. Aku kangen, Sayang. Bangunlah! Aku mohon, bangunlah ...."

Magani tertunduk, terisak.

"Kamu nggak suka aku ngerokok? Oke, Sayang, mulai sekarang aku nggak akan ngerokok. Aku akan patuhi semua tata tertip rumah. Aku akan menaruh handuk basah di tempatnya. Aku akan belajar untuk rapi dan bersih. Aku janji akan dengerin semua nasihatmu, Sayang. Please, istriku, bangunlah ...."

Magani merasakan tenggorokannya semakin tercekat. Sesuatu yang keras tak berhenti meninju tengah dadanya.

"Diandra! Tolong, bangun! Jangan tidur terus!" Ujar Magani lebih tegas lagi dengan suara parau. "Anak kita butuh susu, Sayang. Sudah tiga hari dia dikasih susu formula. Padahal kamu sudah siapin alat untuk memberinya ASI penuh kan? Ayo, bangun! Jangan bikin alat-alat yang sudah kamu beli jadi mubazir semua. Bangun, Sayang!"

Tidak berhasil, istrinya tetap tidak membuka mata.

"Aku janji nggak akan begadang lagi, Sayang. Aku akan pulang kerja tepat waktu. Kamu nggak suka kalau aku bawa pekerjaan ke rumah, mulai sekarang, aku nggak akan melakukannya. Aku janji, Sayang. Tuhan saksinya. Tapi, tolong, bangunlah ...."

Masih sama, tidak ada tanda-tanda istrinya akan merespon.

"Mas Gani, sudah!" Arwinda memeluk Magani dari belakang. "Ikhlasin, Mas! Mbak Dian sudah bahagia di surga sana. Jangan ditangisin terus-menerus yang akan bikin Mbak Dian nggak tenang. Ayo, Mas, bangkit! Demi Laura yang sangat membutuhkan Papanya."

.
.

"Bro, aku turut berduka cita. Istrimu baik, aku jadi saksi. Aku yakin Tuhan akan menyayanginya di sana." Virgo menepuk-nepuk punggung Magani.

"Makasih, Go. Atas nama istriku, aku minta maaf kalau selama ini dia ada salah-salah yang nggak disengaja." Kondisi Magani sekarang sudah lebih waras. Dari yang sebelumnya tidak bisa diajak komunikasi. Sekarang sudah lebih bisa menerima takdir.

Jendela Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang