Bagian - 12

584 121 17
                                    

"Eh, Mas, ibu tadi barusan diantar adekmu ke kliniknya Gemma. MasyaAllah, Gemma sudah banyak berubah loh. Tambah cantik, kalem, dan sama pasiennya ramah banget. Kelihatan jadi dokter yang profesional gitu, Mas." Seperti biasa, saat Magani sedang menekuri laptop di sofa ruang keluarga, ibunya akan datang menghampiri sambil membawakan kopi dan camilan. Kali ini ada tambahan cerita tak terduga.

"Kasian, cantik-cantik nasibnya kurang beruntung." Lanjut ibunya, saat Magani hanya merespon dengan anggukan. "Coba aja dia masih seperti perempuan pada umumnya, sudah ibu suruh kamu sama dia, Mas. Kalau sama dia pasti nggak akan susah bikin kamu jatuh cinta lagi. Tapi sayangnya, kata Winda dia sudah nggak punya rahim. Secantik apa pun, sekaya apa pun, nggak ada apa-apanya kalau nggak bisa melahirkan menerus. Mending yang biasa-biasa aja, tapi sehat, dan bisa ngasih adek buat Laura."

Meski sangat terusik, tapi Magani memilih tidak menanggapi.

"Kata Winda dulu pas habis cerai juga sempat kena gangguan mental. Sama asistennya di posting di internet pas lagi berobat ke dokter jiwa. Kasian, kok ya gitu banget nasibnya." Ibunya terus berceloteh. "Kata Winda mantan suamine kasar. Mungkin yo karena nggak dikasih anak itu, makane wong lanang ngeroso urip nggak sempurno. Terus maleh seneng nesu." (Mungkin karena tidak bisa memberi keturunan, suaminya merasa hidupnya tidak sempurna. Terus jadi sering marah.)

"Bukan gitu, Bu. Emang mantan suami Mbak Gemma tempramen. Masih awal-awal nikah sudah sering mukulin. Bukan karena nggak bisa ngasih keturunan." Sela Arwinda yang tiba-tiba muncul dari dapur. Bertambah lagi satu manusia pengganggu konsentrasi Magani.

"O gitu! Dari awal berarti sudah KDRT?" Tanya ibunya lebih lanjut.

"Sudah, Bu. Mbak Gemma sudah sering banget dipukuli. Dikatain nggak perawan, nyesel sudah nikahi bekas orang."

"Ya Allah, kamu tahu dari mana sih, Dek?"

"Kan ada, Bu, di putusan cerai. Dicantumin semua tuh alasan Mbak Gemma gugat cerai suaminya. Salinan putusan resminya lebih dari 400 kali diunduh sama netizen. Waktu itu geger dan viral. Kasian banget sih."

Arwinda berhasil membuat Magani kehilangan konsentrasinya. Magani tidak menyangka telinganya akan mendengar berita tidak mengenakkan tentang Gemma lebih dari yang diduga.

"Tapi kok ya bebas banget gaya hidupnya. Padahal kelihatannya Gemma kalem gitu." Lanjut ibunya.

"Anak kota kebanyakan gaya pacarannya sudah seperti suami istri, Bu. Mungkin sebelum pacaran sama Mas Gani dia begitu. Dia kan cantik. Pasti mantan-mantannya banyak. Tapi meskipun begitu, tetap aja nggak dibenarkan tindakan suaminya yang tega KDRT. Gimana pun juga, kalau sudah jadi suami, harus bisa nerima apa adanya. Harus jadi pelindung, bukan malah mukulin."

Konsentrasi Magani sudah benar-benar buyar. Gemma tidak pernah punya pacar sebelum bersamanya. Magani dan Gemma hadir dari sosok yang tidak berpengalaman, dan berubah menjadi 180 derajat saat keduanya mulai saling menyentuh. Ibu dan adiknya tidak tahu menahu, sebab setelah menginjak semester dua, Magani memutuskan ngekos. Alasannya agar dekat dengan kampus.

"Makanya toh waktu itu ibu nggak ngebolehin kamu kos, Dek. Yang ibu takutkan kamu kan anak perempuan, ngejaganya lebih susah. Kalau kamu kos, ibu jadi nggak bisa ngawasin kamu. Terus, kamu juga beda dari Masmu. Kalau Masmu kan lurus, nggak pernah aneh-aneh dari dulu, beda sama kamu yang dari kecil susah banget diatur."

Arwinda berdecak sebal. "Padahal waktu masih kuliah aku masih polos banget, Bu. Baru ngerti pacar-pacaran setelah sudah kerja dan kenal Dimas."

"Ya kalau ibu bebasin kos di luar, bisa jadi kenal sama begituan kan. Untungnya ibu nggak ngasih waktu itu."

"Mas Gani tuh yang dari kuliah sudah pacaran muluk."

"Tapi kan Masmu pinter, meskipun disambi pacaran nilainya tetap paling bagus. Kamu nggak bisa, Dek, disamain Masmu."

"Kenapa nggak sih, Bu? Aku dan Mas Gani lahir dari rahim yang sama." Tuntut Arwinda kesal.

"Mas Gani otaknya mirip Bapak, sedangkan kamu mirip ibu, nggak terlalu pinter."

"Hish, selalu ngomongnya gitu. Untung aja aku punya hati luas dan legowo, coba aku jadi anak yang gampang iri dengki, sudah terjadi perang kita, Mas, dibanding-bandingin muluk."

Jendela Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang