Bagian - 16

542 98 9
                                    

"Astaga, kamu ini, ngagetin aja!" Pekik Gemma, sambil menepuk-nepuk dadanya karena kemunculan sosok yang berdiri di sampingnya secara tiba-tiba.

"Sori."

Gemma menyipitkan matanya. "Kamu ngintilin aku dari klinik sampai sini, ya?! Yang di depan klinik tadi mobil kamu berarti. Sudah aku duga banget."

Magani menampilkan senyum menyebalkan. "Kamu nggak balas chatku. Ya sudah, aku terpaksa diem-diem begini."

Posisi Gemma sedang berada di toko mainan. Kegiatan rutinnya setiap bulan sekali menyambangi panti asuhan, dan wajib membawa oleh-oleh mainan beserta camilan kesukaan anak-anak yatim piatu.

"Kamu beli mainan banyak banget?" Gumam lelaki itu, yang sejak kemunculannya sengaja Gemma abaikan. "Seingatku kamu bukan dokter anak, yang butuh mainan banyak buat ngebujuk mereka yang susah diperiksa. Ya kan?"

Gemma melengos, lalu kembali melangkah ke bagian mainan yang bernuansa merah muda. Godaan Magani sama sekali tidak mempan buatnya.

"Aku dicuekin ih." Bisik lelaki itu.

"Mbak, yang masak-masakan ini satu warna doang?" Tanya Gemma pada pegawai toko.

"Ada dua warna, Bu. Satunya warna biru." Jawab si pegawai.

"Boleh deh, saya mau yang pink dua, biru dua." Lanjut Gemma, kemudian melangkah menuju kasir. Magani dengan cekatan mengambil alih troli. Sampai di kasir, Gemma mengeluarkan ponselnya hendak melakukan pembayaran. "Aku bayarnya pakai qris ya, Mbak?"

"Baik, Bu." Kasir segera menghitung pesanan dan menyebutkan nominal belanja. Sepuluh menit kemudian urusan dengan toko mainan kelar.

"Habis ini mau ke mana lagi?" Tanya Magani sambil meletakkan barang belanjaan Gemma di bagasi mobil.

"Kamu pulang deh! Makasih, sudah dibantuin angkut barang, meskipun aku nggak nyuruh sih." Sahut Gemma, mengabaikan pertanyaan lawan bicaranya.

"Aku anterin, ya. Kamu mau ke mana loh?" Magani mendekat.

Gemma menatapnya sekilas, sebelum menempatkan diri di balik kemudi. "Nggak usah repot-repot. Makasih."

Bukan Magani jika menyerah begitu saja, tahu-tahu dia sudah duduk di bangku penumpang. "Aku ikut, ya. Aku janji nggak akan ganggu. Cuma pengin ikut kamu aja."

Gemma melotot kaget. "Magani!"

"Ya, aku?"

"Kamu kenapa jadi nyebelin gini sih?!" Jerit Gemma kesal. "Keluar nggak?! Sana, keluar!"

"Nggak bisa dong, aku mau ikut kamu." Tolak lelaki itu sambil mempertahankan tubuhnya agar tidak oleng ke belakang saat menghadapi serangan dari kedua lengan Gemma.

Gemma ngos-ngosan, tenaganya untuk mengusir lelaki ini dari dalam kendaraannya tidak berhasil. "Capek akuuuu!" Serunya lelah.

"Sudah dong, biarin aku ikut." Bujuk Magani. "Ya? Please?"

"Nggak!"

"Hei, please?" Magani terus memohon. "Please?"

"Kelakuanmu yang maksa ikut, padahal aku nggak ngebolehin, sudah disebut ganggu, Gani. Aku nggak suka kamu yang kayak gini!" Sentaknya.

Magani menampilkan ekspresi sedih. "Kamu nggak balas chatku. Aku sampai nggak doyan makan, susah tidur, karena nunggu balasanmu. Terus pas sekarang sudah ketemu, kamu malah giniin aku."

Gemma menganga, tidak habis pikir dengan yang dilontarkan oleh sosok dewasa tapi bertingkah layaknya bocah sekolah dasar.

"Aku setirin, ya. Biasanya kamu pakai sopir. Kok sekarang nggak."

Jendela Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang