"Adi Hutagalung benar-benar edan!" Reni berseru di samping Gemma. Posisinya sekarang berada di ruang meeting, baru saja selesai rapat. Gemma tidak langsung keluar ruangan, masih menekuri layar laptop di depannya. "Nggak gini dong, Bro, caranya. Situ nikahin anak sultan, baru sebulan sudah berulah, dicerai langsunglah. Sukurin. Emang enak, miskin lagi kau!"
Reni terus bermonolog sendiri, menatap layar ponselnya yang menyuguhkan gosip artis. "Meisya terlalu realistis. Suaminya ketahuan selingkuh, nggak perlu banyak omong, langsung gugat. Nggak tanggung-tanggung, sekalian skandalnya sama ani-ani itu dilaporin ke polisi. Salut sih. Bisa seberani itu dia makan apa ya? Kalau sama-sama nasi keknya bukan deh. Buktinya banyak istri-istri yang sudah sebar aib suami, eh ujung-ujungnya balik. Dari situ bisa dilihat kalau jadi janda itu nggak mudah toh?"
"Belum punya anak kan?" Gemma akhirnya terpancing juga. "Cewek yang nggak berani gugat cerai suaminya padahal sudah diperlakukan dengan nggak baik, kebanyakan alasannya karena anak. Kalau Meisya nggak ada anak, dia hanya akan mengobati hatinya sendiri, nggak perlu mikirin perasaan anak dan tumbuh kembangnya ke depan tanpa keluarga lengkap. Intinya, kondisi Meisya sekarang masih lebih beruntung ketimbang istri-istri yang sudah punya anak, suaminya lepas tanggung jawab, nggak mau ngasih nafkah."
"Ah, jadi gitu?" Reni belum punya pengalaman menikah, gambaran sebenarnya tentang hubungan antara suami dan istri tidak tergambar secara utuh di otaknya.
Yang dilihat, saat menikah, dia akan lebih bahagia karena ada yang menafkahi, ada yang memperhatikan, ada yang mengantarnya ke sama kemari, ada yang memberinya hadiah setiap ulang tahun. Jangan salah. Angan-angan tersebut bisa saja terlaksana, tapi jika tidak, yang tersisa hanyalah kekecewaan. Demi Tuhan, Gemma sudah mengalaminya.
"Ya gitu!" Sahut Gemma tegas.
"Jadi beda pemikiran cewek yang sudah punya anak dan belum? Ku pikir semua istri bisa dengan gampang ceraiin suami yang sudah jelas-jelas salah. Anak bisa jadi penghambat juga, ya."
"Bukan penghambat, tapi lebih ke tanggung jawab yang harus dipikirkan bersama. Orang tuanya cerai, nggak lantas anak ikutan pergi juga dari hidup mereka kan? Kira-kira, sebagai orang tua, mereka sanggup nggak jadi co parenting yang solid? Nggak mungkin ada perceraian yang baik-baik saja di dunia ini. Keduanya pasti sama-sama punya ego. Bisa nggak nurunin egonya untuk bareng-bareng urus anak agar anak-anak ini nggak kurang kasih sayang?"
Reni manggut-manggut. "Susah juga ternyata. Ah, jadi ngeri sumpah."
"Makanya, nikah itu nggak gampang. Nggak semua orang punya privilege itu dalam hubungan. Nggak semua orang punya blessing ketemu pasangan yang satu frekuensi. Suami istri itu harus bisa komunikasi dari dua arah, jangan maunya dingertiin terus, tapi dia harus bisa ngertiin juga. Pokoknya harus saling lah, dalam segala hal."
"Ih, Mbak Gemma, sumpah loh, kelihatan banget pengalamannya."
"Guru terbaik adalah pengalaman, Sist." Gemma menutup laptopnya, beranjak dari kursi, lalu melangkah keluar ruang rapat.
"Tapi kalau menurutku, Mas Gani memiliki semua yang Mbak Gemma pengin dari seorang laki-laki sih. Dia ganteng, baik, mapan, kalem. Mbak Gemma nggak akan pacaran sama dia selama empat tahun kalau Mas Gani nggak bikin nyaman kan?" Reni mengekor di belakangnya. "Gimana jalan kemarin, Mbak? Ke mana sih? Sampai nggak bawa sopir, pasti sengaja mau berduaan aja kan? Biar nggak keganggu."
Otak Reni terlalu jauh berpikir. Gemma tetap memilih diam.
"Aku first impression lihat Mas Gani itu sudah langsung suka gitu. Kelihatan orang ganteng fisik dan hatinya. Aura dan kharisma dia itu kuat banget. Terus, agak sedikit kecewa pas tahu dia ternyata sudah nikah. Aku kecewa bukan karena aku naksir dia, ya. Kayak ya ampuuuun, laki-laki ganteng tapi single sudah semakin punah, gitu."
"Lebay!" Seru Gemma sembari menguak pintu ruangannya. Si Reni ikut masuk ke dalam.
"Menurutku, aku nggak lebay sih, Mbak. Anak-anak loh kalau Mas Gani datang ke sini, pasti pada bisik-bisik di belakang tuh. Jadi bukan cuma aku yang terpesona sama sosok dia. Semua cewek di sini gitu."
Gemma kembali membuka laptopnya, melanjutkan pekerjaannya.
"Terus, nasib percintaannya kok ya kurang mujur. Istrinya meninggal setelah melahirkan anaknya. Aku dengar kabar itu ngenes banget sumpah. Hem, bukan ngenes sama Mas Ganinya sih, tapi lebih ke anaknya harus kehilangan ibunya. Bayi baru lahir kehilangan ibunya sama dengan kehilangan dunianya. Bayi butuh ASI sampai usia dua tahun. Kasian banget." Entah petir dari mana yang menyambar Reni, tiba-tiba saja dia berkata. "Oh, baru ngeh aku. Kemarin Mas Gani antar Mbak Gemma ke panti asuhan? Hehehehe, sori deh, tadi aku main tuduh gitu aja."
Berdecak kecil. "Kamu kan emang kebiasaan banget nuduh. Sehina itu emang status janda di mata orang."
"Hih, nggak gitu maksudkuuuu!" Reni buru-buru menyangkal. "Mbak Gemma itu paket komplit, nggak ada cowok yang nggak netes ilernya pas lihat Mbak Gemma."
"Sekali lagi kamu berlebihan, aku usir kamu dari sini."
"Yeeee, jangan dong."
"Kemarin aku nggak jadi ke panti." Gemma memutuskan untuk bercerita tentang pengalaman pertamanya bertemu dengan anaknya Magani. "Di perjalanan, Gani ditelepon sama suster anaknya. Anaknya dibawa ke UGD karena sakit panas naik turun sudah tiga hari. Setelah sampai rumah sakit, semua keluarga Magani berkumpul tuh, aku ketemu anaknya. Gembul, cantik."
"Ya Allah! Sekarang kondisinya gimana, Mbak?" Tanya Reni antusias.
"Tadi pagi aku call Papanya sudah membaik sih. Pas hari pertama kelihatan lemes dan nggak ceria gitu." Jawab Gemma sambil menyodorkan ponsel yang layarnya terdapat gambar Laura.
"Ulu uluuuu, gemes banget siiiih. Gembul, putih, matanya belok kek Mas Gani. Duh, pengin uyel-uyel." Respon Reni heboh. "Sumpah, besok kalau ketemu Mas Gani mau aku suruh bawa anaknya ke klinik. Nggak apa-apa, aku asuh seharian bayi lucu begini. Nanti anakku bakalan seunyuk ini nggak ya? Kayaknya aku harus nikah sama yang mirip Mas Gani baru bisa punya yang begini deh."
"Adeknya Gani yang baru enam bulan nikah juga sudah isi. Nanti kalau kamu nikah, nggak lama pasti akan hamil juga, Ren."
Gemma menyukai anak-anak, selalu senang membahasnya, meski setelahnya harus menahan sakit di dada. Kenapa Tuhan memberinya takdir serumit ini? Apa salahnya, hingga ia harus menanggung kesakitan sedalam ini?
-TAMAT-
Silakan ikuti kelanjutannya di Karyakarsa. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Kedua (TAMAT)
Romance"Jodoh nggak akan salah tempat. Cukup percayai itu."