"Gemma, besok Tante ke klinik kamu aja, ya. Tante habis peeling di klinik dokter Titania kok malah gosong gini sih. Sudah seminggu ini Tante nggak keluar rumah karena nggak PD." Seorang wanita paruh baya, personil arisan ibunya mengeluhkan masalah wajahnya pada Gemma.
"Mama yang sudah paksa Tante Wimpi datang. Makanya Mama ajakin kamu, karena Tante Wimpi lagi punya masalah sama kulit wajahnya." Satu lagi wanita paruh baya yang duduk di sebelah Gemma menimpali.
Bukan ibunya jika tidak tukang paksa. Gemma sudah sering menolak mengikuti arisan para ibu-ibu usia senja ini, tapi ibunya kekeuh membawa Gemma masuk ke dalam gengnya. Ada saja alasan yang diucapkan ibunya untuk membujuk Gemma agar nurut. Termasuk tentang kondisi kulit wajah Tante Wimpi. Ibunya paham, Gemma akan langsung antusias jika itu menyangkut profesinya sebagai seorang dokter kulit.
"Kalau habis dipeeling biasanya emang gini, Tan. Dua mingguan baru kelihatan hasilnya." Gemma menatap wajah Tante Wimpi dengan saksama. "Peelingnya kapan sih?"
"Baru minggu lalu sih Tante peeling. Jadi emang belum waktunya aja sembuh? Maksudnya, baru bisa kelihatan dua minggu itu?"
Gemma mengangguk. "Minggu depan saja Tante datang ke klinikku, ya. Sebelumnya Tante sudah pernah peeling belum?"
"Belum. Tante baru peeling pas keluar flek di pipi kiri ini. Tante seringnya perawatan facial sama detox." Tante Wimpi membalas tatapan Gemma. "Tante benar-benar iri lihat wajah Mamamu. Kalau wajahnya Gemma kan, Gemma masih muda, dan emang profesinya dokter kecantikan juga, wajar kalau bersih dan mulus. Katanya botox bisa bikin ...."
"Nanti! Sembuhin dulu fleknya. Baru perawatan botox." Potong ibunya. "Seumuran kita ini udah butuh banget dirawat. Karena kan apa-apa udah berkerut. Jadi biar tetap enak dilihat, ya harus dirawat."
Gemma menahan tawa, ibunya sedang mendalami perannya sebagai orang tua dari anak yang memiliki profesi dokter kecantikan.
"Dari dulu aku juga sudah ngerawat diri, Nyah. Kalau lagi jerawatan juga larinya ke dokter. Pakai skincare dokter. Aku nggak berani pakai produk-produk yang nggak ada dokternya."
"Tapi kan dokter yang kamu kunjungi itu dokter umum, Nyah. Mantan suaminya yang punya basic kecantikan, dia cuma melanjutkan bisnisnya aja." Ibunya Gemma menepuk pundak. "Beda sama anakku, Gemma sudah jadi dokter spesialis kulit dan masih kuliah lagi kecantikan. Ilmunya dokter langgananmu jauh banget dibandingkan anakku."
"Nggak, Ma, jangan gitu!" Tegur Gemma. Risi sekali, jika ibunya sudah mulai jemawa dengan pencapaian yang sudah Gemma dapat.
Tante Wimpi melambai. "Nggak apa-apa, Gemma. Mamamu benar. Kalau Tante punya anak sepinter dan sesukses kamu juga sudah Tante pamerin ke orang-orang."
Ibunya manggut-manggut, merasa dibela. "Nggak paham deh sama ini anak, Nyah, gampang banget isinan! Padahal kan harusnya bangga yo!"
"Ilmu padi memang gitu, Nyah. Sintia aja kagum sama Gemma. Katanya, ramah banget sama pasien-pasiennya. Biasanya dokter akan mau menyapa kalau sudah di ruangannya, tapi Gemma tiap ketemu di luar jam praktek tetap humble." Tante Wimpi menyebutkan nama anaknya.
Gemma berdecak kecil. "Sintia emang berlebihan, Tante. Dia kan juga sudah jadi dokter gigi terkenal, langganannya artis-artis pula."
"Tapi dia pernah bilang nyesel. Harusnya dulu kuliah dokter umum, biar bisa kayak Mbak Gemma katanya. Tapi Tante terus nasihatin, harus bersyukur. Toh sekarang klinik dia juga ramai banget. Pasiennya kebanyakan artis-artis sejak dia lulus ortodonti. Biar dia nggak terus-terusan ngeluh."
"Halah, Gemma ini juga gitu!" Sambar ibunya. "Masih aja kuras puas sama yang dicapai. Nggak bersyukur. Pengin kuliah lagi. Pengin ambil ini lah, itu lah. Tak suruh setop, jangan itu terus yang dipikir. Saatnya dia cari jodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Kedua (TAMAT)
Romance"Jodoh nggak akan salah tempat. Cukup percayai itu."