Bagian - 11

581 117 8
                                    

"Mas Gani! Ya ampun, saya tunggu-tunggu banget!" Teriakan Reni yang memanggil nama seseorang langsung menarik perhatian Gemma yang duduk di sebelahnya. Posisi keduanya sedang bersantai di kursi taman belakang klinik. Jam praktik Gemma kurang satu jam lagi, sengaja ia tunggu sambil memesan cokelat panas dan menikmati pemandangan hijau-hijau yang sejuk.

Sudah pasti Gemma kaget dengan kemunculan sosok yang kini berada di hadapannya. Reni pasti sudah merencanakan sesuatu tanpa melapor pada Gemma terlebih dahulu. Sebuah sikap tak sopan yang sudah mendarah daging dalam diri managernya. Sudah sering Gemma menegur, tapi yang namanya karakter, akan susah diubah jika bukan dirinya sendiri yang berkeinginan untuk memperbaiki.

"Mas Gani, kenalkan, ini Dokter Gemma, bos saya." Reni adalah orang kedua yang menganggap Magani dan Gemma tidak saling kenal.

Untuk yang kedua kalinya juga sepasang mantan kekasih itu harus mengambil peran pura-pura. Bisa saja Gemma menyerahkan urusan Magani pada Reni, toh memang managernya ini yang sudah mengundang lelaki ini kemari. Namun rasa kemanusiaannya menolak keras. Sehingga Gemma memutuskan untuk ikut naik lift menuju rooftop.

"Kalau tamannya saya puas banget, Mas. Kan memang sudah digambarin sama Mas Gani, terus tukangnya tinggal bikin. Mas Virgo juga rajin datang buat ngecek." Sedari tadi, suara Reni lebih mendominasi. Magani menanggapi seperlunya. Sedangkan Gemma belum mengeluarkan sepatah kata pun. "Saya itu penginnya karena di bawah temanya sudah hijau-hijau, penginnya rooftopnya cukup taman kering aja."

"Saya sudah bicara sama Virgo, katanya Dokter Gemma serahin semuanya ke dia, dan sama sekali nggak ngasih referensi mau dibuat apa. Sebagai penyedia jasa, Virgo sudah menuruti permintaan klien." Sahut Magani sembari melempar tatapannya pada pemilik klinik.

Gemma sontak melotot, merasa disalahkan. "Lah, kok jadi nyalahin aku?! Aku nggak paham soal beginian, makanya aku serahin semuanya ke Virgo."

"Virgo nggak cuma ngasih satu gambar kan? Harusnya dipikirkan baik-baik sebelum tukang turun ke lapangan." Sambar Magani tak kalah sewot.

"Hei, gambarnya Virgo menurutku lebih bagus ketimbang taman belakang klinik. Aku sangat suka hasilnya. Baru 50% sudah kelihatan bagus kok." Gemma menyorot tajam.

"Ck, kalau memang sesuai dengan keinginanmu, kenapa kamu nyuruh anak buahmu ngontek aku?" Tembak Magani.

Sahut-sahutan yang tak terduga itu membuat Reni kaget dan bingung. "Hem, Mas Gani, maaf sebelumnya. Saya inisiatif sendiri, Mas. Dokter Gemma sama sekali nggak tahu menahu soal ini."

Magani menghela napas pendek, sebelum melangkah keluar lift dan mereka sampai di tempat tujuan. Diamati area tersebut sejenak, lalu mengambil duduk di kursi yang tersedia, dan mulai mengeluarkan iPad.

"Maunya dibuat seperti apa, Mbak?" Tanyanya pada Reni.

"Ren, aku maunya tetap kayak gini. Nggak usah diubah-ubah. Lagian, kamu ini, kenapa nggak bilang ke aku dulu sih sebelum nyuruh orang datang ke sini? Kebiasaaan banget deh, seenaknya sendiri." Gemma tidak akan bersikap demikian jika Magani tidak lebih dulu memulai perang. Hatinya sudah terlanjur panas, sekalian saja dibakar.

"Kan Mbak Gemma sendiri yang bilang terserah aku. Sudah percaya sama aku. Gimana sih? Sudahlah, ikut aja! Mas Gani ini terbaik kok."

"Nggak, Ren, aku suka yang begini. Nggak usah diubah-ubah lagi." Kekeuhnya.

"Ganti suasana, Mbak. Di bawah kan sudah ijo-ijo." Reni membujuk, berharap sifat keras kepala sang bos lekas melunak.

"Kamu tuh emang seenaknya sendiri, ya. Bikin kayak gini pakai duitnya siapa sih?! Kenapa jadi kamu yang ngatur-ngatur sekarang?!" Ekspresi Gemma pasti sudah seperti macan kelaparan karena daging yang diberikan tidak membuatnya kenyang.

Jendela Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang