Bagian - 15

745 107 5
                                    

"Nak, buka mulutnya dong! Cantik, aaaa ...." Magani terus membujuk anaknya agar mau membuka mulut. Tapi, bayi berusia enam bulan lebih satu minggu ini tetap kekeuh dengan pendiriannya. Menggeleng-gelengkan kepala, tanda penolakan. "Nak, ayo dong, buka mulutnya, cah ayu! Enak enak, yuk!"

Tidak berhasil, Magani sedikit frustasi. "Kenapa, Lau? Enak ini! Tuh, lihat, Papa makan nih." Magani coba mengajari anaknya makan bubur. "Enak loh, Cah Ayu. Papa nggak bohong."

"Biar saya saja, Pak." Serobot si baby sitter Laura yang sejak tadi berada di sampingnya. "Sambil diajak jalan-jalan ke depan rumah, adek seneng, makannya pasti lahap, Pak."

"O gitu?" Beo Magani bodoh, sembari menyerahkan mangkuk kecil pada pengasuh anaknya. "Ya sudah kalau gitu, kamu suapin. Padahal tadinya aku mau belajar nyuapin, mumpung lagi libur kerja. Ternyata susah ya, Lau, nyuapin kamu." Dikecupi kening Laura, sebelum diambil alih oleh baby sitternya.

"Makan yang banyak ya, Nduk. Biar cepat gedhe." Pesannya pada sang buah hati.

Magani pasti sudah gila. Pertemuannya yang terakhir dengan Gemma, membuatnya harus berulang kali mengecek ponsel. Pesan yang ia kirimkan dua hari lalu tidak kunjung mendapat balasan.

"Dipandangin aja terus foto Mbak Gemma. Sampai meleleh, sampai orangnya kegigit-gigit di rumahnya sana, karena ada yang lagi mikirin segitunya." Suara Arwinda membuat Magani buru-buru mematikan layar ponsel. "Sudah terlanjur ketahuan. Nggak ada gunanya ditutup-tutupi lagi."

"Chatku nggak dibalas-balas sama dia." Keluh Magani, kepalang tanggung. "Dari beberapa hari yang lalu."

"Hah? Sama Mbak Gemma nggak dibalas?" Sembur Arwinda. "Aku tadi pagi baru aja chat langsung dibalas tuh. Mau antar ibu kontrol."

"Dia nggak balas aku." Ulangnya lirih.

"Ketimpa mungkin. Secara yang ngechat dia pasti banyak banget. Mbak Gemma sesibuk apa pun nggak pernah nggak balas chatku sih. Sekarang ini aku cukup sering chat dia, konsultasi soal ibu. Pasti orangnya langsung balas. Memangnya Mas chat apaan? Penting banget? Soal proyek di kliniknya?"

Magani menggeleng. "Bukan."

"Terus?" Desak Arwinda penasaran.

"Kamu nggak perlu tahu lah. Yang pasti ini nggak dibalas sama dia." Gerutu Magani kesal. Mirip seperti remaja kasmaran yang merasa tidak dihargai karena pesannya tidak dibalas.

"Tapi Mbak Gemma nggak mungkin nggak balas kalau urusannya sama kerjaan, Mas. Paling juga balesnya lama, karena dia lagi sibuk. Mbak Gemma tuh ...."

"Aku ajak makan siang di luar." Potong Magani akhirnya memilih terus terang.

"Apa?!" Jerit Arwinda syok.

Sudah diduga adiknya ini aku merespon berlebihan. Seharusnya tadi ia tidak tertangkap basah sedang memandangi gambar Gemma di ponselnya. Kasus ini pasti akan jadi bulan-bulanan Arwinda sampai nanti.

"Astaga, aku ketinggalan info nih! Kalian, maksudku, kok Mas berani banget ngajak Mbak Gemma makan siang? Berarti, sebelum ini, kalian sudah jalan bareng? Wow, daebak!"

"Makan siang aja, Win. Apa salahnya?" Tegas Magani, agar adiknya yang cerewet ini berhenti membuatnya terpojok.

"Ya ya ya, bahasa halusnya memang gitu, tapi itu nggak jauh beda sama ngajakin cewek ngedate. Astaga." Arwinda benar-benar sangat berlebihan. Magani sudah salah memilih teman berbagi. "Bu, tahu nggak sih, Mas Gani loh, ngechatin Mbak Gemma. Sumpah, genit banget nggak sih?!" Dengan tidak tahu diri adiknya yang bodoh ini malah meneruskan informasi pada ibunya yang baru saja muncul di ruang keluarga.

"Maksudnya gimana?" Tanya ibunya.

"Win, diem!" Tegur Magani tegas.

Tapi bukan Arwinda jika menuruti perintah kakaknya. "Mas Gani, Bu, ngechatin Mbak Gemma? Ngajak makan siang cobak? Terus sama Mbak Gemma nggak dibalas. Galau muluk deh dari kemarin. Sampai Laura nggak diurus gara-gara pikirannya dipakai buat inget-inget cewek di ...."

"Hei hei hei, jangan ngawur!" Nada suara Magani meninggi. "Diam kamu! Nggak paham apa-apa kamu!" Sentaknya.

"Kalau menurut ibu, daripada Gemma ya mending Atiqah, Mas. Masih sehat. Bisa ngasih adek buat Laura." Ibunya langsung merespon serius. "Selain itu, kita ini yang realistis aja loh, Mas. Kehidupan kita, beda sama Gemma. Gaya hidupnya, keluarganya, jauh di atas kita. Apa kamu nggak takut diremehin sama keluarga besarnya kalau kamu ngotot masuk ke sana? Cari calon istri yang biasa-biasa aja lah. Yang setara sama keluarga kita. Biar kamu tetap jadi dirimu sendiri, dan ibu juga nggak kehilangan harga sebagai orang tua."

Magani memilih menulikan telinga. Ibunya tidak paham seberapa kuat pengendalian diri yang sudah ia kerahkan untuk tidak mendatangi klinik Gemma, dan menyeret perempuan itu agar selalu di sampingnya. Sebesar itu pengaruh Gemma bagi Magani.

"Jodoh nggak ada yang tahu ya, Bu. Tapi kalau Mas Gani emang jodohnya Mbak Gemma, nanti setelah nikah, gitu doang. Nggak ada momen kayak Mbak Dian, yang tiba-tiba ngasih tahu ibu kalau sudah isi, terus kita sibuk ngadain tasyakuran kehamilan. Soalnya Mbak Gemma sudah nggak punya rahim, Mas. Aku lihat sendiri kertas yang diposting dia di Instagram Story setelah dia operasi histerektomi."

Di mata Magani, sosok Gemma, dari dulu, hingga sekarang, tidak pernah berubah. Tetap yang paling sempurna. Dan yang berhasil membuat pengendalian diri Magani tidak bekerja normal. Gemma tidak memiliki bandingan, sekali pun itu dengan istrinya yang sudah tiada. Terdengar kejam, tapi Magani tidak ingin membohongi dirinya lagi.

"Ya, kalau aku sih suka-suka aja. Toh, Mas Gani juga sudah punya Laura. Misal nanti pengin anak cowok, kan bisa adopsi. Nggak kurang-kurang anak di panti asuhan yang butuh kasih sayang. Dan nggak munafik, siapa sih yang nggak seneng punya ipar kayak Mbak Gemma? Dia cantik, sukses, terkenal. Ibu juga pasti bangga nantinya."

"Nggak, Dek. Ibu malah nggak tenang. Takutnya ibu tertekan karena nggak bisa ngikutin gaya hidup keluarganya. Ibu ini wong ndeso. Nggak bisa ibu kalau disuruh macak kota. Keluarga kita ini jauh banget loh, Dek, kalau dibandingkan sama keluarga Gemma. Jauuuuh, dari sini sampai arab saudi. Pokoknya ibu nggak mau."

"Loh, Bu, nggak ada yang nyuruh ibu begitu. Kita cukup jadi diri sendiri saja. Jangan terlalu dipikirin, Bu. Santaaaai."

"Ibu nggak sanggup mbayangno. Kalau bisa cariin jodoh buat Masmu yang seperti Mamanya Laura. Yang biasa-biasa saja. Orang tuanya yang setara sama ibu. Hubungan ibu sama utinya Laura yang sana juga aman-aman saja sampai sekarang. Karena setara, Dek. Penting banget loh itu. Coba gih, cariin temanmu gitu, yang masih single, jangan yang sudah pernah nikah."

"Dih, Mas Gani sudah gedhe, bisa cari jodoh sendiri. Ngapain aku repot-repot nyariin? Belum tentu juga Mas Gani cocok sama yang aku pilihin. Selera Mas Gani sekelas Mbak Gemma, kalau mau nyariin harusnya yang di atas itu. Susah."

"Kamu ini kan adeknya. Sedikit ajalah peduli sama Masmu."

"Sus, siap-siap sekarang, ikut aku!" Ujar Magani saat melihat Laura dan baby sitternya kembali masuk rumah.

"Mau ke mana, Mas?" Tanya ibunya langsung.

"Ke makamnya Dian." Jawab Magani, waktu itu pernah berjanji akan mengajak Laura menjenguk ibunya.

"Kamu ngajak Laura ke makam? Nggak apa-apa? Nanti dia rewel gimana?" Berondong ibunya.

"Dia sudah baru saja makan, Bu. Pasti nanti anteng. Ada susternya juga. Aman, insyaAllah." Magani meyakinkan. Masuk ke dalam kamar untuk mengambil dompet dan kunci mobil.

"Nggak nunggu Laura genap umur setahun, Mas? Masa bayi diajak ke makam. Dia belum ngerti juga." Ujar ibunya sambil mengekori langkah Magani menuju ke garasi samping rumah.

"Biarin aja, Bu. Biar Laura juga terbiasa diajak ke makam. Lagian ada susternya. Misal nanti rewel, kan bisa dibawa ke mobil." Sahut Arwinda, yang mendadak bijaksana.

"Yawes, hati-hati ya, Sus. Nanti kamu ajak ke mobil aja kalau dia rewel. Dikasih susu. Eh, apa ibu ikut aja ya? Biar bisa bantu urus Laura? Takutnya nanti rewel."

"Nggak, Bu." Magani terpaksa mengeluarkan suara. "Sudah, ya, kami berangkat dulu. Assalamualaikum."

Jendela Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang