Intensitas pertemuan Gemma dengan arsitek pilihan Reni semakin sering terjadi. Meski hanya sebentar, keduanya sempat terlibat obrolan basa-basi yang berujung perdebatan. Entah mengapa, di masa yang sekarang, hubungan keduanya lebih seperti Tom and Jerry, keduanya sama-sama tidak mau mengalah dalam segala. Contohnya seperti kejadian siang hari ini. Awalnya, mereka berinteraksi seperti biasa, normal, membahas hal di depan mata, proyek taman rooftop, tapi lama-lama, mendengar gaya bicara Magani yang formal, membuat telinga Gemma risi, dan memutuskan protes.
"Cara ngomong saya memang begini. Ada yang salah?" Tanya Magani saat Gemma baru saja memintanya untuk tidak terus-menerus mengganti sebutkan "kamu" dengan nama dan gelarnya.
"Ya kamu bisa kan nggak ngomong formal banget?!" Sembur Gemma. "Kayak kesannya kita ini nggak saling kenal aja."
"Memangnya Dokter Gemma kenal saya?" Sahut lelaki itu, masih dengan gayanya yang santai. "Sebelum saya diminta Mbak Reni untuk datang ke klinik ini, Dokter Gemma sama sekali nggak kenal saya kan?"
Gemma menatap tajam. "Kamu sakit hati banget ya sama aku? Sempat punya istri selama setahun, nggak bikin kamu move on, ya?!"
"Ck, apa hubungannya sama istri saya? Kok dibawa-bawa segala. Percaya diri sekali Dokter Gemma ini."
Setelah itu, keduanya memilih mengunci bibir. Gemma sibuk memainkan ponsel, sedangkan Magani mengarahkan para tukang yang sedang memasang keramik.
"Aku balik ke ruanganku! Kalau butuh sesuatu, langsung ke ruanganku aja!" Teriak Gemma yang langsung diangguki oleh si arsitek.
Di dalam lift, Gemma menggerutu tak jelas. Merutuki sikap Magani yang menurutnya sangat menyebalkan. Seingat Gemma, saat dulu keduanya masih bersama, Magani selalu menyenangkan. Jarang sekali memantik rasa kesalnya. Tapi, rupanya, lima tahun mengubah diri seseorang begitu cepat. Magani, bukan lagi yang dikenalnya dulu.
"Cari makan siang di luar yuk?!" Tiba-tiba saja Magani menghadang langkah Gemma. Napas lelaki itu terlihat ngos-ngosan.
"Kamu lewat tangga darurat?!" Pekik Gemma kaget.
"Yuk?!" Ajaknya lagi.
Gemma menghela napas pendek. "Bentar, aku ambil tasku dulu di dalam." Lalu ia melangkah masuk ke ruangannya, untuk mengambil beberapa barang yang diperlukan.
"Naik mobilku aja." Ujar Magani.
Saat sudah duduk manis di dalam kursi penumpang samping kemudi, hal pertama yang langsung menarik perhatian Gemma yaitu foto pernikahan Magani dan istrinya yang digantung di kaca tengah.
"Fotonya lucu!" Tunjuk Gemma pada si objek. Magani hanya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada lalu lintas. "Dunia benar-benar sempit. Sempat kaget banget pas tahu kamu nikah sama temanku SMP. Hem, aku sama Diandra bisa dibilang teman sih, meskipun nggak dekat, tapi pernah satu kelas. Aku bukan pengingat yang baik, teman SMA aja sudah banyak yang aku lupain, apalagi SMP. Tapi Diandra gampang diingat, soalnya dia ceria dan ramai gitu anaknya. Dia selalu nyapa duluan."
Magani tidak merespon.
Gemma melanjutkan celotehnya. "Tuhan itu kalau ngasih ujian ke hambanya kadang memang sesulit itu. Tapi kita hanya perlu yakin aja bisa melaluinya. Eh, gimana si Baby? Namanya siapa? Kenapa nggak kamu foto dan cetak selain sih, terus digantung juga di sini?"
Kali ini Magani menatapnya sejenak lebih lama. "Sejak kapan kamu jadi cerewet begini?" Gumamnya, lalu kembali menekuri jalanan panjang di depan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Kedua (TAMAT)
Romance"Jodoh nggak akan salah tempat. Cukup percayai itu."