Bagian - 17

553 89 4
                                    

"Kalau menurutku apa yang dilakukan Magani wajar-wajar aja sih, Beb. Posisi dia kan sekarang sudah nggak punya istri." Tutur Siska, setelah Gemma mencoba menumpahkan kegalauan hatinya.

"Baru enam bulan ditinggal istrinya, Sis, apa nggak terlalu cepet tuh?" Gerutu Gemma, sampai sekarang masih tidak habis pikir dengan keputusan Magani yang berniat mengajaknya menikah.

"Eh, itu masih bagus, ada kok laki-laki yang baru sehari ditinggal istrinya sudah bingung cari pengganti." Sambar Siska. "Magani sih bukan tipikal gonta-ganti. Aku ngejamin itu. Kita cukup kenal dialah, ya. Karena dia dihadapkan sama kamu aja, makanya dia nggak bisa nahan diri."

Yang dikatakan Siska benar. Gemma tidak bisa membantah lagi.

"Selama ini dia sudah sekuat tenaga nahan diri loh. Pas istrinya masih hidup, dia nyuruh Virgo ambil alih proyek dia kan? Itu bentuk sikap lurus yang dimiliki Gani. Laki-laki nggak bener pasti sudah ambil kesempatan itu buat selingkuh, Beb. Tapi dia nggak melakukannya. Dia menghindarimu waktu itu. Dulu dan sekarang, Magani nggak berubah."

Gemma mengangguk dua kali. "Tapi aku nggak siap nikah lagi, Sis. Aku bahkan nggak berencana ngebangun rumah tangga setelah cerai. Untuk punya hubungan serius di luar pernikahan aja aku nggak kepikiran. Sekarang, fokusku hanya untuk kerja, dan membahagiakan diri, nggak tentang asmara."

"Belum, Buk." Lanjut Siska. "Kalau sekarang kamu masih nyaman dengan kesendirian ini, setidaknya kasih tahu Gani soal yang kamu rasakan. Laki-laki kayak Magani itu langka loh, Beb. Dia baik, setia, sabar. Dia pasti bisa ngertiin kamu. Dia pasti bisa nunggu kamu sampai kamu benar-benar siap."

"Aku nggak layak dapetin dia, Sis. Dia laki-laki sehat. Kamu nggak lupa sama kondisiku kan? Jika pun aku harus menikah kelak, jodohku harus yang senasib denganku. Agar kami nggak saling merendahkan, karena kami memiliki kekurangan yang sama."

"Gem, tolonglah, kamu jangan berpikir kondisi kamu adalah aib. Kamu harus percaya Tuhan ngasih cobaan ke hambanya berarti yang terbaik. Kamu harus mulai berdamai sama keadaanmu, Beb. Mungkin Tuhan memang ngasih cobaan seberat itu, tapi Tuhan juga nggak lupa dengan nikmatnya yang lain. Hei, sadar, kamu Gemma, seorang dokter spesialis kulit. Karir kamu bagus. Kamu memiliki klinik dengan pelanggan yang mengantre penuh sesak. Kamu kaya, dan populer di media sosial sebagai dokter berkompeten di bidangnya. Kamu cantik, badan kamu aduhai, kamu berhasil bikin semua wanita iri padamu."

Gemma mendengus. "Lebay! Nggak segitunya juga."

"Ck, malah ngatain lebay. Ini aku ngomong fakta. Nggak ada lebay-lebaynya sama sekali." Tegas Siska. "Aku hanya menyuarakan isi pikiran netizen tentangmu. Kamu yang sempurna, cantik, modis, langsing, kaya raya."

"Nggak semua nganggep gitu, Buk. Ada yang bilang cantik-cantik mandul. Gimana tuh?"

"Ini nih yang nggak aku suka dari kamu. Gampang insecure. Padahal sudah banyak kelebihan yang dipunya. Dahlah, capek." Siska menyendok puding yang sempat tertunda karena masih serius mengobrol.

Gemma juga melakukan hal yang sama. Sambil membayangkan pertemuannya yang terakhir dengan Magani, saat lelaki itu mengungkapkan keinginannya untuk menikahi Gemma, lalu dengan tanpa berpikir Gemma menolaknya.

"Jalani saja dulu. Nggak usah langsung nikah. Pacaran dulu." Lanjut Siska memberi saran. "Kalian kan sudah pernah melakukannya, sekarang tinggal pengulangan aja. Nggak susah pastinya. Mungkin akan ada perbedaan, wajar karena efek usia. Kita semua tahu orang dewasa cenderung punya kebutuhan berlebih, tapi, kalau kalian bisa mengendalikan diri, aku yakin hubungan kalian bakal berhasil."

"Gani ngajak nikah, Sis, bukan pacaran." Ujar Gemma mengingatkan. "Dia kelihatan cowok kebelet kawin. Padahal belum genap setahun ditinggal istrinya."

"Kamu bilang dong ke dia, kalau kamu belum siap, kita pacaran dulu. Gitu!" Siska mengajari.

Jendela Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang