Bagian - 6

633 128 8
                                    

Gemma :
Calon suami, Win?" Balasan Gemma pada WA story milik Arwinda.

Arwinda :
Hehehehe, iya. Doanya ya, Mbak. Semoga dilancarin acara minggu depan.

Gemma :
Oh, ngapain? Lamaran? Atau sudah mau akad?

Arwinda :
Akad dan resepsi, Mbak. Bismillah.

Gemma :
Waaaa, congrat! Amin-amin, semoga dilancarkan.

Arwinda :
Aku undang, Mbak Gemma harus datang loh yaaaa?!

Gemma :
Kapan? Jam? Kalau nggak bentrok sama jadwalku, pasti aku usahain datang.

Arwinda :
Akadnya hari jumat jam 9 pagi, resepsinya sore jam 3. Mbak Gemma boleh datang pas akad atau resepsi. Undangan besok dishare. Hehehe.

Gemma :
Insya Allah jumat pagi aku free sih. Kalau sore sering padat.
Cieeee, yang sebentar lagi ganti status menjadi istri. Aku ikut bahagia dengarnya. Semoga langgeng hingga jannah ya, Win.

Arwinda :
Thankyou, Mbak Gemma, atas support dan doanya. Dan sudah ngobatin jerawatku sampai wajahku balik mulus lagi. Takut banget sudah mendekati hari H malah breakout parah. Untung ada Mbak Gemma.

Gemma : You're welcome, Sayang. Kamu pantes mendapatkan pipi mulusmu lagi.

Posisi Gemma sedang duduk santai di sofa ruang keluarga kediaman orang tuanya. Akhir pekan kali ini akan Gemma habiskan di sini. Ibunya yang sudah menjadi single parent sering merengek kesepian jika Gemma lupa jalan pulang.

"Mbak Gem, rawonnya sudah mateng. Mau bibik bawain ke sini?" Sudah sangat cocok dengan masakan Bik Mar, sehingga Gemma selalu membawa wanita paruh baya ini ke mana ia pergi.

"Tumben kamu minta Bik Mar bikin rawon, biasanya hari-hari yang kamu makan salad terus. Sudah mirip kambing." Sadam, kakak Gemma yang duduk di sofa lain bersuara.

"Sekali-kali!" Sahut Gemma.

"Kalau gitu aku juga mau, Bik! Bawain ke sini sekalian!" Ujar Sadam.

Bik Mar mengangguk patuh. "Baik, Mas."

"Kalian ini kalau makan jangan kebiasaan dibawa ke tempat yang nggak seharusnya." Ibunya yang baru saja muncul langsung protes. Makhluk Tuhan yang paling cinta akan kebersihan rumahnya.

"Mama loh, kan aku jarang-jarang makan di sini. Sudahlah, mager aku mau jalan ke dapur." Keluh Gemma.

"Aku juga." Imbuh Sadam.

"Kalian jarang nengok Mama tapi sekalinya datang bikin rusuh." Ibunya terus mengomel.

"Pokoknya bawa ke sini, Bik! Aku sama Mas Sadam janji nggak bakal ngotorin sofa Mama yang mahal ini. Jangan khawatir."

Sadam adalah dokter spesialis jantung, menetap di Singapura sejak menikah dua tahun yang lalu dengan perempuan yang berprofesi sama. Minggu ini Sadam pulang kampung seorang sendiri, karena istrinya ada acara yang tidak bisa ditinggalkan.

"Gem, lihat deh itu jerawatnya Masmu! Risi Mama lihatnya."

"Biarinlah, Ma. Kan aku sudah laku." Jawab Sadam. "Cowok kalau terlalu mulus kayak cewek malah dikiranya cowok jadi-jadian."

"Hih, Valerie kok ya mau-maunya sama kamu." Celetuk ibunya.

"Dih, Mama ini seenaknya ngomong. Ya mau lah! Siapa cewek yang nggak mau sama laki-laki handsome begini?!"

Gemma bergidik. Melihat penampakan kakaknya yang kelebihan berat badan karena tidak bisa menjaga pola makan. "Diet napa, Mas! Kamu sudah mirip ikan paus tahu nggak sih?!"

Ibunya manggut-manggut setuju. "Dokter jantung kok gendut. Baru ini Mama nemu."

"Astaga, kenapa sih kalau nggak body shaming? Ada rawon enak nih. Sini, Bik! Makasih ya, Bik. Wah, mantap nih."

"Ini rawon aku!" Jerit Gemma, saat mangkuk miliknya diserobot sang kakak.

"Bik Mar, aku dua mangkuk loh. Kok cuma dibawain satu sih." Protes Sadam menampilkan raut pura-pura melas.

"Baik, Mas. Saya ambilkan lagi ke belakang."

"Dasar rakus!" Teriak Gemma.

.
.

Mengenakan terusan panjang putih yang pas di tubuhnya yang ramping, dengan potongan dada rendah, Gemma mengamati penampilannya yang sempurna di depan cermin rias. Sesuai tema menghadiri acara akad.

Gemma sudah sampai di alamat yang tercantum di undangan, rumah milik orang tua Arwinda yang sangat familier baginya. Beberapa tahun yang lalu, hampir setiap hari Gemma mengunjungi tempat ini. Ibunya Magani sering memintanya datang untuk mencicipi masakannya.

Kehadiran Gemma mencuri perhatian semua pasang mata. Bukan hal yang asing saat orang menatapnya dengan ekspresi kagum. Gemma lekas membalas tatapan para tamu undangan dengan senyum ramah.

Gemma melangkah masuk, ke dalam rumah. Acara sudah siap dimulai. Tampak Arwinda dengan calon suaminya sudah duduk saling bersisihan. Pandangan Gemma sempat bersirobok dengan sosok yang menjabat tangan calon adik iparnya. Lelaki itu terlihat kaget sejenak, sebelum kembali fokus pada acara. 

Gemma mengambil tempat duduk di pojok, dan saat suara maskulin Magani menyatu dengan mikrofon, Gemma merasakan jantungnya berdebar. Seketika itu juga Gemma sadar, bahwa bukan hanya Magani yang masih memiliki perasaan padanya. Hati yang ia anggap telah mati karena kesakitan yang diberikan Guntur berulang-ulang, tidak sepenuhnya padam. Buktinya nama Magani, masih tertanam jelas di dalamnya.

Gemma tertegun, keputusannya menghadiri acara ini salah. Pertemuannya dengan Magani bisa menjadi mala petaka.

"Hai! Aku kaget loh. Apa aku salah lihat, kok bisa ada kamu di sini." Tiba-tiba saja seorang perempuan hamil duduk menyebelahinya. "Ternyata beneran Gemma. Kamu kenal sama Winda? Atau kamu dari keluarga Dimas."

"Dari Winda." Jawab Gemma singkat. Otaknya mendadak blank. Gemma harus segera enyah dari tempat ini. "Aku balik dulu, ya. Maaf nggak ngikutin acara sampai kelar. Salamku buat Arwinda, semoga samawa dan langgeng."

"Kenapa buru-buru sih, Gem? Belum makan juga."

Gemma melangkah gegas, mengabaikan suara-suara di belakangnya.

Jendela Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang