Enam tahun yang lalu.
"Lah, keliru apa gimana sih?!" Gumam Magani, langsung menarik perhatian perempuan yang duduk di sampingnya. Keduanya sedang menekuri layar laptop masing-masing. Hari di mana nilai ujian akhir keluar. "Nilai sidang PKL bisa C begini."
"Hah, kok bisa?" Seru Gemma kaget. Tingkat kecerdasan kekasihnya ini di luar nalar. Selalu mendapat IPK cumlaude. Sangat aneh jika tiba-tiba nilai mata kuliah prakter kerja lapangan Magani tidak seperti nilai yang lain.
"Sebelum sidang aja aku sudah dikasih A sama yang punya PT. Wah, kacau ini." Sembur Magani. "Aturan penguji sidang ngikut nilai kepala PKL di instansi. Kalau pun pengin ngasih nilai sendiri bisa sih, tapi nggak sejeblok ini juga."
"Kamu harus ke jurusan sekarang, Babe. Ngasih tahu admin yang nginput nilai. Orangnya lagi ngantuk kali. Sampai salah nginput gitu." Gemma memberi saran.
"Aku call aja. Males harus ke kampus panas-panas, Sayang." Sejenak, Magani terlibat obrolan serius dengan seseorang yang ada di dalam sambungan teleponnya.
Gemma menatap kekasihnya, tekun menunggu jawaban dari orang yang dihubungi. "Gimana, Yang? Klir?"
Magani mengangguk sambil mencuri kecupan singkat di bibir Gemma. "Beres. Pak Hartoko minta maaf karena nggak teliti. Katanya, baru kali ini juga orangnya teledor. Malamnya habis begadang anaknya yang baru beberapa bulan diimunisasi jadi nggak tidur ngurus anaknya semalaman. Bertepatan istrinya lagi nggak enak badan berhari-hari. Katanya lengkap sudah repotnya di rumah."
"Hem, jadi gitu ceritanya?! Kok bisa nilai A jadi C. Dipikir gampang buat dapet nilai A." Gerutu Gemma.
"Kalau kamu gimana?" Magani mencondongkan diri ke arah sang kekasih, meneliti layar komputer Gemma yang masih menyuguhkan nilai mata kuliah. "Gastrointestinal dapat B. Apa deh ini, Sayang? Susah-susah amat nama matkul kamu. Pusing aku bacanya."
Gemma tergelak. "Masih sama seperti biasanya, kebanyakan B-nya ketimbang yang A. Beda banget ya sama kamu? Kamu A semua."
"Ya nggak bisa dibandingin dong, Sayang. Mungkin kalau aku ambil jurusan kedokteran nilaiku D semua malah. Ngebaca nama matkulnya aja bikin kepalaku mumet." Ujar Magani. "Ilmu Respiratori, apa deh itu?!" Magani kembali mengeja mata kuliah yang diambil kekasihnya.
"Aku juga nggak bisa ngebayangin apa tuh mata kuliah Psikologi Arsitektur. Ini dua jurusan bersatu jadi nama mata kuliah cobak?! Bingung deh."
Magani tergelak. "Ya sudahlah, kita punya disiplin ilmu sendiri-sendiri, Sayang. Nggak usah bingung."
Gemma mencubit lengan kekasihnya dengan sayang. "Gemes banget sih!"
"Kamu apalagi!" Dikembalikan cubitan itu padanya.
Sesaat keduanya saling cubit. Gemma minta ampun, karena Magani kalau sudah berulah, siapa pun tidak akan bisa melawan tenaganya.
"Sudah ih! Kita tadi sudah janji akan serius ngerjain sempro loh. Harus dapat minimal selembar. Setop, guyon!" Pekik Gemma, menghalau jari-jari Magani yang merajalela di tubuhnya.
"Kamu yang mulai cubit-cubit aku." Sahut Magani enteng. Namun tak urung menurut dengan yang dikatakan sang kekasih. "Oke deh, sekarang serius."
Gemma mengangguk setuju. "Aku pindah di sana deh. Nggak jadi nyicil sempronya kalau kita deket-dekatan."
"Kok jauh-jauh banget sih!" Magani melambai tak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Kedua (TAMAT)
Romance"Jodoh nggak akan salah tempat. Cukup percayai itu."