PANJI, demikian anak muda 13 kemarau itu disapa, tengah bergegas bersama kawan-kawan sebayanya menuju pantai. Sebagai anak-anak pesisir semenanjung Zaltan, mereka memang gemar menghabiskan waktu hingga batas senja di tepian pantai guna mencari udang-udang besar, kepompong, atau hewan-hewan sejenisnya yang lumrah ditemui di sepanjang pesisir laut selatan Zavana.
Sesungguhnya kegiatan semacam itu bukanlah mata pencaharian mereka. Bukan pula mata pencaharian para penduduk pesisir semenanjung Zaltan. Meski bermukim di kawasan pantai, masyarakat sekitar wilayah itu sama sekali tak tergoda untuk menjadi nelayan, atau bahkan sekadar mencari hewan laut di pinggir pantai sebagai pencaharian mereka sehari-hari.
Mereka menganggap laut Asghara, laut yang menjadi batas selatan negeri Haaras, terlampau buas untuk dijinakkan. Ombak-ombak ganas senantiasa datang tiba-tiba tanpa bisa mereka perkirakan. Oleh karenanya, mereka lebih memilih menyambung hidup dengan bercocok tanam di daratan.
Sore itu langit di kawasan teluk Zaltan terlihat gelap meskipun sang Sham masih jauh dari cakrawala. Tampak Panji yang menjadi pemimpin beraksi bak panglima perang dengan mengarahkan keempat kawannya di belakang untuk menyerbu pantai selatan. Dengan menggenggam batang ranting dan mengayun-ayunkannya, ia melaju paling depan.
"Bagaimana kalau hari ini kita bertaruh? Siapa yang dapat kepompong paling banyak, besok dia akan menggantikanku sebagai pemimpin selama sehari?"
"Boleh saja. Tapi aku tidak yakin kita akan dapat banyak kepompong hari ini, Ji. Kau lihat saja langit mendung sekali. Mungkin sesaat lagi akan turun badai," sahut Tamtam, si gemuk pendek yang berjalan paling belakang.
"Ah, mau hujan badai mau terang benderang, bukankah kau selalu dapat kepompong paling sedikit di antara kami?" balas Panji, diakhiri dengan tawa bernada merendahkan, yang kemudian diikuti oleh tawa senada dari kawan-kawannya yang lain.
"Benar juga, Tam. Masak kau tidak malu setiap hari cuma bisa dapat dua atau tiga biji kepompong? Jangankan udang, cari kepompong saja kau tidak becus," timpal Yana, si kurus berbadan paling tinggi di antara kelima sekawan itu.
"Tidak juga. Kemarin lusa aku bisa mengumpulkan lebih banyak dari Idhan," sergah Tamtam, membela diri seraya menunjuk muka kawan di sebelahnya.
"Hei, waktu itu aku harus pulang lebih awal karena ibuku memanggilku. Jadi, itu tidak masuk hitungan," Idhan tak mau kalah.
"Aah, ya sudah. Siapkan ranting masing-masing. Hari ini kau buktikan, Tamtam. Kalau masih belum bisa dapat kepompong lebih banyak juga, lebih baik besok kau main di dapur saja sama gadis-gadis," pungkas Panji sang pemimpin, yang lagi-lagi diakhiri oleh gelak tawa kawan-kawannya, kecuali si gemuk pendek Tamtam yang seketika bermuka masam.
Tak lama setelah tiba di kawasan pasir pantai, kelimanya serentak berlari menghambur menuju air laut. Mereka berpencar menekuri sepanjang pantai dengan batang ranting masing-masing.
Sementara itu, di depan anak-anak ingusan itu, sekira puluhan tombak dari wilayah terdangkal di tepian pantai, berjajar batu-batuan karang raksasa seukuran Enaki yang membentang dari barat ke timur. Bebatuan yang keras dan terjal itu berdiri kokoh laksana dinding pelindung bagi wilayah pesisir selatan kawasan semenanjung Zaltan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genderang Khatulistiwa
FantasyPemilihan Khalefa (raja) ke-22 bakal dihelat meriah di ibukota negeri Haaras, Lakhsatra, pasca wafatnya Baginda Khalefa ke-21, Gharda Othama. Seluruh Malek penguasa kedelapan wilayah Haaras diundang ke ibukota untuk mengirim kandidat masing-masing. ...