Niat Nuha

135 6 5
                                    

Pagi-pagi sekali Syaza mendapat pesan dari nomor baru yang isinya "Saya sedang sibuk jadi tidak bisa mengantarkan Nuha ke sekolah. Nuha maunya anda yang menjemputnya ke rumah." Tak lama kemudian nomor tersebut mengirimkan lokasi kediamannya.

"Oh, ini pasti nomor tuan Gibran," gumam Syaza. Menelisik lokasi yang baru dibagikan Gibran, Syaza menyadari ternyata kediaman mereka berdekatan. Namun, Syaza tinggal di daerah kumuh sedangkan Gibran tinggal di sebuah kompleks perumahan elit.

"Jalan kaki juga bisa, paling cuma 10 menit," gumam gadis ini lagi.

Akh, dia teringat dengan Nuha yang minta dijemput. Usai menyiapkan sarapannya yang akan di makan di sekolah, Syaza langsung berangkat menuju kediaman Nuha.

Bukan main, Syaza diinterogasi sebelum masuk ke perumahan elit itu, hingga dirinya harus menelepon Gibran untuk meyakinkan pak satpam.

"Masya Allah!" Spontan gadis ini berseru, kediaman Nuha membuatnya terperangah. Begitu besar dan mewah, juga ada beberapa pekerja di sana yang menyambut kedatangannya.

"Duduk dulu ya, Bu Syaza. Non Nuha sedang siap-siap. Saya akan mengabarinya tentang kedatangan anda." Syaza mengangguk dengan senyuman menanggapi ucapan seorang wanita tua itu, bibi Anis namanya.

Sejenak menatap ruang tamu kediaman mewah itu, Syaza terpaku pada sebuah foto keluarga.

"Cantik sekali, itu pasti Ibunda Nuha."

"Iya, itu memang ibunda Nuha"

Jawaban seseorang mengejutkan Syaza. Rambut orang itu nampak berantakan, juga pakaiannya. Dia datang dari arah pintu utama.

"Ah, tuan Gibran. Se ... selamat pagi."

"Selamat pagi. Maaf jadi merepotkan anda. Saya baru selesai syuting, jadi tidak bisa mengantar Nuha ke sekolah, rasanya lelah sekali. Jadi kali ini saya akan merepotkan anda, apa anda keberatan?"

Menggeleng cepat "Tidak. Rumah saya dekat sini, kalau hanya untuk menjemput Nuha rasanya tidak akan merepotkan. Tapi tuan ... saya mengendarai motor, apa anda tidak keberatan?"

Gibran mengambil duduk pada sofa lain, dia menutupi mulutnya yang menguap kemudian berkata "Justru karena anda memakai motor saat berangkat ke sekolah, Nuha jadi ingin dijemput oleh anda."

"Oh ya. Dan anda tidak keberatan?"

"Tidak. Asalkan anak saya aman."

"Insa Allah," sahut Syaza.

Usai mengobrol singkat Gibran pamit undur diri. Sikapnya kali ini berbeda sekali dengan saat berada di kantor kepala sekolah, saat Nuha terluka kemarin.

"Bunda ...!" Teriakan Nuha membuat Gibran urung melangkah meninggalkan ruang tamu.

Merentangkan kedua tangan putrinya berlarian menyongsong Syaza.

"Jangan lari-lari, kakinya masih sakit kan."

Hup! Meloncat seperti kodok, Nuha kini berada dalam pelukan Syaza, kemudian Syaza meletakan gadis kecil itu dalam pangkuannya. Dia memeriksa lutut Nuha yang baru kemarin terluka itu.

"Masih sakit, tapi karena ada Bunda sakitnya jadi berkurang banyak."

Syaza tertawa ... ada-ada saya ocehan bocah ini.

"Sudah diobati belum?"

"Sudah." Nuha turun dari pangkuan Syaza dan meloncat-loncat.

"Lihat ... Nuha sudah bisa loncat-loncat, Bunda."

Memperbaiki bedak yang nampak belepotan di wajah Nuha "Nuha sayang, lain kali kalau main hati-hati ya."

Mengangguk dengan polosnya "Iya, Bunda."

Begitu ceria, Gibran sangat jarang melihat Nuha seceria ini. Dia bersandar pada dinding tempatnya mengintip interaksi Nuha dan Syaza, andai setiap hari putrinya seceria itu.

Setelah izin pada sang Ayah, Nuha akhirnya beranjak ke sekolah bersama Syaza. Naik motor saja, keceriaan Nuha semakin menjadi saat sampai di lampu merah, tanpa sengaja dia bertemu teman sekelasnya, Nana.

"Bwek!" Nuha menjulurkan lidah.

"Bwek! Balas Nana.

Ibunda Nana menoleh pada Syaza yang meminta Nuha untuk diam, sedangkan Syaza menatap lembut pada Nana.

"Selamat pagi, Nana," sapa Syaza.

"Selamat pagi, Bunda Syaza," sahut Nana.

Ibunda Nana langsung melempar senyuman pada Syaza hingga mereka berbalas senyuman. Namun berbeda dengan Nuha, mendengar Nana menyebut Syaza bunda, hatinya jadi tak rela.

Bocah itu melengos kesal, dia membuang muka. Nana senang melihat Nuha kesal, maklum saja mereka berdua ini memang kerap bertengkar.

Nongkrong di warung kopi lampu merah, itu memang kebiasaan Adrian. Netranya menangkap Syaza sedang membawa seorang bocah, dia jadi kepo siapa gadis kecil itu.

Sempat memicingkan kedua mata, namun dalam sekejap Adrian yakin siapa bocah yang sedang bersama Syaza itu "Waw! Barang mahal!" Adrian berseru. Menyadari suaranya menyita perhatian orang lain di warung itu, dia langsung menutup mulut.

Tersenyum penuh arti Adrian menatap ke arah sang keponakan. Dia bahkan masih melihatnya meski lampu hijau telah menyala.

"itu anak artis terkenal, wah kesempatan nih," gumam Adrian usai menyeruput kopinya.

Membayar kopi tersebut dan meninggalkan warung kopi, Adrian berselancar ke dunia maya. Dia mencari informasi tentang jadwal pekerjaan Gibran, oh hal itu bukan mudah ditemukan di dunia maya sekalipun!.

Baiklah, demi masa depan cerah, Adrian rela bergabung dengan fans berat Gibran. Ada sebuah pertanyaan yang harus dia isi sebelum masuk dalam fanbase tersebut, akh! ternyata dia tak cukup persiapan dalam misinya kali ini.

Melangkah mundur untuk menggali informasi tentang Gibran lebih banyak, waktu yang terbuang rasanya tak mengapa, demi cita-cita menjadi orang kaya.

Kembali pada Syaza, dia menyetujui keputusan Gibran meminta pertanggungjawaban dirinya atas luka di lutut putrinya, tapi ternyata dalam waktu singkat luka pada lutut Nuha sudah membaik tanpa Syaza yang merawatnya. Awalnya keputusan itu hanyalah ancaman belaka, demi memberikan efek jera kepada Syaza. Tapi, saat mengetahui kisah sebenarnya dari Nuha, Gibran rasanya malu untuk bertemu dan meminta maaf kepada Syaza.

Sekali Syaza bertandang ke kediaman mereka untuk menjemput Nuha, ternyata gadis kecil itu juga berniat bertandang ke kediaman Syaza.

"Boleh ya, Bunda!" Pintanya tanpa memberikan celah untuk Syaza menolak keinginannya.

"Mau apa ke rumah Bunda?"

"Mau bertamu saja," jawab gadis itu menatap Syaza dengan kedua mata berkedip nakal.

Tersenyum kecil "Nuha ... katakan apa yang sebenarnya sedang Nuha rencanakan?" Mengusap pelan pipi gadis kecil ini, yang sedang menikmati bekalnya di jam istirahat saat ini.

"Hem." Menyodorkan satu suapan kepada Syaza "Aaaa ...." Nuha membuka mulutnya seperti orang dewasa saat Syaza berusaha menolak suapannya.

Mau tidak mau, Syaza menerima suapan itu. "Ayo Nuha, katakan."

"Nuha cuma ingin bertamu," begitu lagi jawaban Nuha.

Sejenak Syaza berpikir, entah ada maksud apapun itu, menolak tamu bukanlah hal yang baik. Maka dia pun akhirnya menerima niat baik Nuha yang ingin bertandang ke kediamannya.

"Hihihi ... nanti sore, ya Bunda. Nuha akan datang tepat di jam 4."

Mengangkat kedua alisnya, Syaza sedikit terkejut dengan sikap Nuha yang mendadak berlagak seperti orang dewasa. "Oh ... oke. Bunda tunggu ... kalau begitu," ujarnya sempat tergagap. Lagi dan lagi rasa penasaran singgah padanya, sebenarnya ada apa dengan Nuha?.

Mengusap lagi pipinya yang belepotan saat makan "Makannya pelan-pelan saja."

"Em! sahut Nuha penuh semangat.

To be continued ...

Salam anak Borneo.

Istri Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang