Syaza part 19

96 2 0
                                    

"Kalau memang merasa cocok, nikahi saja. Biar Nuha ada mamanya." Adila, mama Gibran berbicara bagai tak punya beban. Padahal ...

"Bukannya dulu mama tidak menyukai Bella? Kenapa sekarang malah balik mendukungnya menjadi istri Gibran?" tanya Gibran.

Tanpa Nuha, disela jadwalnya yang padat, Gibran bertandang ke kediaman orang tuanya. Saran dari kakaknya tempo hari sungguh mengganggu pikiran. Meski tak memiliki rasa cinta terhadap Bella, setidaknya Bella terlihat sayang terhadap Nuha, karena itulah Gibran berniat menikahinya meski tanpa cinta. Yah ... cinta akan hadir karena terbiasa, begitu pikir Gibran.

Meletakkan pisau buah, dan menyuguhkan sepiring kecil buah pir yang telah dia kupas pada sang putra "Dari sekian banyak wanita yang tergila-gila padamu, hanya dia yang terlihat serius menyukaimu. Kita semua dapat melihat bahwa Nuha tak begitu menyukainya, tapi dia pantang menyerah, terus mendekati Nuha untuk mengambil hatinya. Dan sekarang, Nuha sudah mulai bisa menerimanya, bukan?"

"Sebelum Gibran bilang akan menikahi Bella, Nuha sudah menerima Bella sebagai rekan bermainnya di rumah. Tapi sekarang, setelah dia mendengar Gibran memiliki niat menikahi Bella, cucu kesayangan mama itu menjelma menjadi kucing betina yang sangat galak!" ujar Gibran. Dia menikmati suguhan sang mama, sembari bercerita panjang lebar padanya.

"Hehehe ... jadi cucu mama sudah mulai galak?" Adila terkekeh, Nuha yang menggemaskan itu pasti terlihat lebih lucu ketika merajuk, cemberut apalagi sampai mengamuk. Adila juga tertawa mendengar Nuha yang marah hingga rasanya ingin membakar bumi. Sepertinya gen pemarah yang dia miliki dan Jena juga dimiliki sang cucu.

"Mama senang?"

"Ya, dia pasti lucu ketika sedang marah. Iya kan?"

"Lucu dari mana! Dia menyebalkan. Dan satu lagi, ma. Dia selalu menyebut bunda Syaza, bunda Syaza. Hais! seperti tidak ada wanita lain saja di dunia ini!" Teringat Syaza, wanita yang membuat kambuh alergi sang putri, sungguh Gibran tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Buah pir itu sangat manis, tapi mengingat Syaza, mendadak rasanya hambar.

"Syaza ... guru TK itu?" tanya Adila.

"Nuha pernah menceritakan dia pada mama lewat telepon. Dari suaranya saja mama tau, dia sangat menyukai Syaza," lanjut Adila.

Gibran memberengut. Begitulah, mood nya mendadak merosot ke bumi jika mengingat Syaza. Padahal, rasa ketertarikan hatinya pada Syaza pernah membuat jantungnya berdebar ketika berjumpa. Namun, semua itu sirna karena insiden alergi kacang tempo hari.

Melihat dari sikap Gibran, Adila jadi penasaran dengan sosok Syaza. Dia menanyakan apakah Gibran memiliki fotonya, dia ingin melihat seperti apa rupa wanita idaman sang cucu untuk dijadikan ibu.

Gibran langsung menunjukan foto Nuha dan Syaza, ketika Syaza masih mengajar di taman kanak-kanak dulu. Waktu itu Nuha yang memintanya untuk berfoto dengannya, dan memintanya untuk mengirimkan pada ayahnya. Dan kini foto itu menjadi kenang-kenangan untuk Nuha dan Syaza.

Seulas senyuman terbit di wajah Adila, ketika memandang foto tersebut.

"Masya Allah, dia cantik sekali."

"Ya, dia memang cantik. Keturunan kita semuanya cantik dan tampan." Begitu percaya diri Gibran ini.

Lekas Adila meralat perkataan Gibran."Maksud mama Syaza. Kalau Nuha, cucuku itu memang cantik tidak terbantahkan."

Memalingkan wajah, dan mengerling jengah, Gibran berucap."Cantik tapi teledor."

"Hus! Tidak baik menghina sesama manusia. Dia ciptakan Allah!" tegur Adila.

Kemudian dia kembali menatap foto Syaza dan Nuha. "Gibran ... mereka mirip lho."

Awalnya Gibran duduk sedikit merosot di sofa, tapi ketika mendengar ucapan Adila, dia langsung menegakkan badan "Dih! Mirip dari mana, ma?"

Adila menyerahkan ponsel itu pada sang empu, dia meminta Gibran untuk memandangi wajah dua wanita berbeda generasi itu.

"Masa, sih?"

Deg!

Deg!

Deg!

Terlalu lama memandangi wajah Syaza, membuat sang hati berdebar hebat. Gibran mengusap wajahnya kasar, demi mengusir debaran aneh itu.

"Itu cuma perasaan mama saja!" ujarnya lagi. 

"Dasar keras kepala! Pandangi lebih lama lagi, mereka benar-benar terlihat mirip!" seru Adila.

"Akh! Itu hanya perasaan mama. Sudahlah, aku harus pergi. Sudah waktunya bekerja lagi." Tanpa menunggu lama, Gibran langsung melarikan diri dari hadapan Adila.

"Bocah tengil. Dikasih tau malah kabur." Adila meletakan potongan buah yang separuh telah dia gigit. Dia menyandarkan diri di sofa dan membayangkan wajah Syaza dan Nuha "Mereka memang mirip. Mata bocah itu pasti sudah rabun! Hal sejelas itu tak dia sadari. Dasar Gibran!" gerutu Adila lagi.

***

Memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya di kediaman Geraldo, kini Syaza kembali menyandang status sebagai seorang pengangguran.

Hatinya terasa lelah, menghadapi gejolak cinta Hans yang seharusnya dia hindari sejak awal.

Tadi malam dia mendapat banyak dugaan dan pertanyaan dari Adrian, tentang dirinya yang akhirnya menemui keluarga jauh mereka. Akh! lebih tepatnya dipertemukan dengan keluarga jauh mereka. Jauh hanyalah sebuah jarak, pada kenyataannya hubungan mereka sangat kental, mesti tak sedekat nadi.

Mati-matian Syaza menjelaskan bahwa Zein yang membawanya ke kediaman mewah itu, hingga terjadilah perjumpaannya dengan Claudia. Namun, penjelasan Syaza selalu disanggah Adrian. Dia bersikeras menuduh Syaza yang datang pada mereka.

Kesabaran seorang Syaza ada batasnya. Setelah Adrian mengomel panjang lebar, berkomentar sesuka hatinya atas tindakan Syaza, Gibran mendapat jitakan dari jemari lentik sang keponakan tepat di keningnya.

"Awshh! Syaza! Kamu tidak sopan!" Terpekik Adrian dibuatnya. Keningnya terasa pedas dan panas. Sementara Syaza langsung masuk ke dalam kamarnya membanting pintu.

Begitulah awal mula paman dan keponakan ini berseteru. Pagi yang indah, yang biasanya telah tersedia sarapan di atas meja makan, kini meja itu sepi tak berpenghuni. Syaza enggan menyiapkan sarapan untuk Adrian.

"Syaza ...." Panggilan Adrian diabaikan. Terdengar musik yang semula mendayu dari dalam kamar Syaza, kini bertambah volumenya.

Adrian menarik napas kesal, dia bersandar pada daun pintu kamar Syaza. Dia berjalan menuju kulkas, teringat tadi malam Syaza pulang banyak membawa belanjaan. Dia melihat banyak cemilan dan roti di dalam kantong belanjaan itu.

Sayang sungguh sayang, sepertinya Syaza telah mengamankan makanan tersebut dari jangkauannya.

"Ya sudah. Aku bisa makan di mana saja. Dasar perempuan. Urusan merajuk, pasti nomor satu!" gerutunya.

Dengan perut kosong Adrian berangkat bekerja. Sementara Syaza setelah memastikan sang paman pergi, ia keluar dari kamar. Mulai membersihkan rumah, mencuci dan memasak.

"Huh! Rasakan Adrian. Berani mengataiku seenak jidatnya. Hari ini aku akan masak yang enak-enak, aku akan memakan semuanya sebelum kamu pulang." Syaza sungguh berniat memberikan pelajaran pada Adrian.

Dan memang benar, hari ini dia masak besar. Teringat semua hidangan itu begitu banyak, dia langsung menghubungi Melia, meminta sang sahabat untuk bertandang ke kediamannya.

Sama seperti Syaza, kini Melia juga telah menjadi pengangguran. Sungguh, Melia ini sangat setia kepada Syaza, karena Syaza tak lagi menjadi tenang pengajar di taman kanak-kanak itu, maka dia pun mengajukan pengunduran diri.

Tepat di jam 8, Melia datang ke kediaman Syaza. Dia datang tentu tanpa tangan kosong. Dia membeli buah-buahan untuk mereka nikmati setelah menikmati hidangan berat yang dimasak Syaza.

Andai Adrian tau dua wanita ini sedang berpesta di kediamannya, berangkat dengan perut kosong sungguh sebuah kesialan baginya.

To be continued ...

Salam anak Borneo.

Istri Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang