Tak ada angin, tak ada hujan, Gibran tiba-tiba merasa kesal teramat dalam. Selama syuting emosinya sungguh sulit untuk dikendalikan, alhasil pria ini meminta maaf berkali-kali pada para staf dan juga sutradara.
"Perbaiki dulu mood mu. Jika ada masalah, luapkan. Jangan dipendam seperti ini hingga mengacaukan konsentrasimu." Beruntunglah Gibran, bekerja dengan sutradara yang sabar.
Demi memberikan ketenangan untuk Gibran, sutradara itu menyarankan untuk beristirahat saja hari ini. Ya, hatinya memang sedang lelah, tapi tak tau karena apa. Hingga detik ini Gibran masih enggan mengakui bahwa dirinya sedang terbakar api cemburu.
"Seorang pengusaha ..., cih! Apa hebatnya!" decih Gibran. Kini ia telah berada di kediamannya. Meski kakinya terasa gatal ingin mendatangi Syaza dan bertanya tentang hubungannya dengan Hans, mati-matian pria ini menahan diri.
"Ingat! Kamu bukan siapa-siapa dia, Gibran!" ujarnya bicara pada diri sendiri.
Beranjak dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju beranda kamarnya, perhatian pria ini tersita pada sebuah panggilan dari ponselnya. Dengan malas dia berjalan menuju nakas, untuk mengambil sang gawai.
"Kak Jena?" Sudah sangat lama, sang kakak tidak menghubungi dirinya terlebih dahulu. Kali ini ada perihal penting apakah yang membuat penulis dingin ini menghubunginya.
"Assalamualaikum ...."
Debur ombak lebih dulu menyambut salam Gibran, alih-alih suara sang kakak.
"Kak Jena ...?"
"Ah, waalaikumsalam. Hei bocah, kamu apakan keponakanku? Dasar ayah tak becus, mengurus satu anak saja tidak benar!"
Ya salam, saking kerasnya suara sang kakak, Gibran sampai menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Nuha baik-baik saja ..."
"Baik gundulmu! Kamu pikir aku tidak tau, Nuha masuk rumah sakit, kan?" Sangat terasa emosi sang kakak, membuat Gibran kesulitan menelan saliva.
"Sudah berkali-kali ku katakan, cari pengasuh yang bisa merawat dan menjaganya siang dan malam. Kamu sudah tidak bisa memberikan dia ibu, setidaknya carikan orang yang bisa merawatnya dengan baik!"
Ocehan sang kakak kembali membuatnya tertekan. Menikah lagi ... menikah lagi.
"Kak, aku bukan tidak bisa memberikan dia ibu. Tapi, ini perihal menikah ...."
"Memangnya kenapa dengan menikah? Jangan katakan kamu enggan menjalin hubungan serius dengan wanita. Kamu ... normal, kan?"
Wah, berat! Ke-lelakiannya dipertanyakan. Gibran mengacak rambut dan mengusap dada, menahan diri agar tidak berkata kasar pada Jena.
"Aku normal. Sangat normal!"
"Kalau begitu cepatlah menikah!" Sambar Jena.
"Eh! Halo? ..., Halo?."
Terdengar desah jengah Jena di ujung telepon. Beginilah Gibran, saat diajak bicara tentang pernikahan maka dia akan mencari cara untuk menyudai obrolan mereka.
"Ck! sudahlah. Nanti malam aku akan ke kediaman kalian!"
"Hem, baiklah." Dengan terpaksa Gibran berkata begitu, daripada Jena mengadu pada mamanya dan sang mama yang akan datang menggantikan sang kakak, oh! Gibran justru sangat tidak menginginkan hal itu.
* * *
Menjadi pengangguran, sungguh membosankan. Syaza yang biasanya sibuk sedari subuh, kini hanya ongkang-ongkang kaki menunggu Adrian pulang bekerja. Setidaknya sang paman kerap membawakan makanan ketika pulang bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Untuk Ayah
RomanceSyaza, seorang guru TK yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Sejak kehilangan kedua orang tuanya, dia hanya memiliki seorang paman saja sebagai tempat bersandar. Keinginan hati menganggap sang paman adalah orang yang dapat diandalkan, namun say...