Syaza part 45

93 1 0
                                    

Hari-hari Gibran tanpa Syaza sungguh membuat hidupnya menderita. Ia telah terbiasa memakan masakan Syaza, namun sekarang mencium aroma masakannya saja Gibran tak bisa. Mengawali pagi dengan senyuman sang istri, sungguh keindahan itu tak lagi Gibran dapatkan.

Sejak subuh Gibran kerap melamun, memikirkan cara agar dirinya bisa berkomunikasi langsung dengan Syaza. Sayang sungguh sayang, Syaza benar-benar menghindari dirinya.

Mentari begitu cerah pagi ini, namun wajah tampan Gibran bagaikan langit mendung tanpa hujan. Sorot matanya tertuju pada nomor ponsel sang istri, yang sudah berapa kali ia hubungi namun tak jua mendapat respon.

Mencoba keberuntungan kembali, Gibran menghubungi nomor tersebut namun hasilnya nihil. Dalam rasa resah ia mengirim pesan pada Syaza. Mengatakan alasannya sempat menyita ponselnya karena tak ingin dirinya terluka, setelah membaca komentar negatif para netizen.

Begitu banyak pesan yang Gibran kirimkan, tanya tentang kabar sang istri, tanya tentang kesehatannya, juga tentang rindunya yang kini seolah tak bertuan. Memandangi pesan itu beberapa saat, tak ada gambaran bahwa pesan tersebut telah dibaca sang istri.

Gibran membawa diri kembali masuk ke dalam selimut, ia seperti kehabisan energi sejak kepergian Syaza. Kalau tidak mengingat jadwal syuting, ia akan memilih membenamkan diri lebih lama dalam selimut tersebut.

Hari perlahan meninggalkan pagi, Gibran meletakan ponselnya di atas nakas, sedangkan dirinya melangkah ke kamar mandi.

Sikap Syaza yang menghindari Gibran ternyata sebab adanya campur tangan Jung. Pria berdarah korea ini membicarakan konsekuensi yang harus Gibran tanggung jika hubungan mereka terkonfirmasi benar adanya. Meskipun Gibran membayar penalti, hal itu tak menjadi suatu jalan untuk menyelesaikan masalah mereka.

Jika Gibran berkata rindu, Syaza pun merasakan hal yang sama. Air matanya jatuh menetes membaca pesan dari Gibran.

"Saran tuan Jung patut kita pertimbangkan, bang. Kupikir, akan lebih baik jika aku tinggal bersama nenek saja dahulu. Kita masih bisa bertemu sesekali, anggap saja kita sedang menjalani masa-masa berpacaran saat ini."

Satu balasan dari Syaza membuat Gibran bersemangat kembali. Wanita tercinta akhirnya membalas pesannya. Yah, walaupun tak bisa bertemu dan memeluknya, setidaknya Syaza sudah tak lagi memanggilnya dengan sebutan Gibran saja, hal ini menunjukkan bahwa Syaza sudah mulai memaafkan dirinya.

Di sela-sela kegiatan, Gibran tak henti berkirim pesan dengan Syaza. Sedikit waktu istirahat ia gunakan untuk menghubungi sang istri. Anton sampai menggelengkan kepala melihat tingkah Gibran, ia benar-benar terlihat seperti orang yang sedang mabuk cinta.

"Bos, makan dulu. Setelah ini bos masih ada kegiatan."

"Hem," sahut Gibran singkat. Atensinya masih tersita pada layar ponsel.

"Bos, kegiatan selanjutnya akan menguras tenaga. Makan dulu!" ujar Anton lagi.

Meletakan ponselnya di samping hidangan yang telah disiapkan Anton, Gibran tersenyum lebar "Aku sudah kenyang."

Berkerut kening Anton mendengar perkataan Gibran.

"Hah?"

"Syaza sudah melunak. Ia juga sudah kembali perhatian padaku. Tanpa makan siang pun rasanya aku sangat berenergi, Anton."

"Syukurlah, kalau nona sudah tak lagi marah. Tapi bos, sore ini bos harus syuting acara hiburan. Bos dan rekan-rekan di sana akan bermain dan berlomba. Ayolah, bos, makan dulu!"

Anton cerewet sekali, Gibran meliriknya dengan bibir bawah manyun. Setelah dipikir-pikir, pekerjaan selanjutnya memang akan menguras tenaga, maka dari itu meksipun merasa kenyang ia tetap harus mengisi energi.

"Sayang, aku akan makan siang dulu. Setelah waktu istirahat aku akan menghubungimu lagi." Begitu isi pesan Gibran pada Syaza.

Jemari lentik Syaza begitu lincah menari di atas layar ponsel "Iya." Singkat saja balasan Syaza, namun satu kata itu menambah energi Gibran hingga mengukir senyuman di wajahnya.

***

Sekian lama berada di luar negeri, tiba waktunya untuk Hans pulang ke tanah air. Sebenarnya, tak ada urusan penting dalam jadwal kepulangannya kali ini, namun ia tetap memilih untuk pulang.

pelukan Mariana begitu erat sebelum melepaskan sang kekasih pulang. Manik indahnya nampak menitiskan air mata mengiringi langkah kepergian Hans. Sungguh, segala dugaan itu sangat menggangu pikiran Mariana. Teringat kepulangan Hans bisa membuka peluang untuknya bertemu langsung dengan Syaza, sungguh ulu hati Mariana terasa ngilu.

Dia bagai berdiri di tepi jurang ketika menyetujui kepulangan Hans. Rasa tahu diri itu sangat tertanam dalam diri Mariana, siapalah dirinya yang hanya berstatus seorang kekasih. Meski sebenarnya tak rela, ia tak bisa menahan Hans untuk kembali berkumpul bersama keluarga.

Lagipula, hanya 1 minggu, setelah itu Hans akan kembali padanya.

Sebagai seorang model, berjalan dengan anggun seolah telah melekat dalam diri Mariana. Ditambah postur tubuhnya yang sangat indah, ada banyak pasang mata yang tertuju kepadanya. Mendapat atensi seperti itu sudah menjadi hal biasa bagi Mariana, ia tak terlihat canggung sama sekali.

"Jaga hati, aku akan cepat pulang."

Baru saja ia masuk ke dalam mobil, pesan dari Hans mengusir sedikit kesedihan dalam hatinya.

"Ya, kamu juga. Kabari aku jika sudah sampai," balas Mariana.

***

Selain rindu pada sang suami, Syaza juga merindukan putrinya. Tanpa membuang waktu, siang itu ia berniat menemui Nuha. Sayang sungguh sayang, ada banyak wartawan yang berjaga di depan kediaman Gibran. Beruntung Syaza datang diantar supir, jadi kedatangannya tak disadari para pemburu berita.

Syaza semakin menyadari, bahwa saran tuan Jung ada benarnya. Satu tahun lebih akan terasa singkat jika dilalui dengan lapang dada. Semoga jalan yang dia ambil akan berbuah manis untuk rumah tangga mereka.

"Tidak jadi mampir, non?"

"Tidak. Kita putar balik," pinta Syaza.

Dalam perjalanan ia melakukan panggilan video pada Nuha. Gadis kecil itu merengek ingin bertemu, beruntung Syaza masih bisa menenangkan Nuha. Ia berjanji akan mencari cara agar mereka bisa bertemu tanpa gangguan para wartawan.

Seperti Gibran yang merasa kesepian, Syaza pun sama. Kesehariannya di kediaman Claudia hanyalah bersantai. Terlalu lama menikmati waktu luang juga bisa membuat bosan.

"Ambil alih panti asuhan nenek saja, kamu mau," tanya Claudia. Ia menawarkan pekerjaan itu setelah mendengar keinginan Syaza untuk bekerja menjadi tenaga pengajar lagi.

"Maksud nenek, Syaza jadi pemimpin di panti asuhan menggantikan nenek?"

"Ya," ujar Claudia.

Syaza langsung menggelengkan kepala. Ia tak punya pengalaman dalam bidang itu, sebab sejauh ini ia hanyalah seorang guru TK saja. Jika harus menjadi pemimpin dari sebuah panti asuhan, ia takut akan mengecewakan sang nenek.

"Bagaimana kalau bergabung dengan perusahaan saja, siapa tahu dengan bergabungnya kamu bisa menarik Adrian untuk ikut bergabung juga. Nenek akan senang jika kamu, Adrian, dan Zein yang memimpin perusahaan keluarga kita."

"Oh, tidak! Syaza sangat tidak bisa menerima tawaran itu, nek. Cukup Zein saja."

Claudia menarik napas kemudian berkata "Ya sudah. Kamu temani nenek di rumah saja."

Mendekati sang nenek dan memegang jemarinya "Maaf, nek. Syaza bukan tidak mau menemani nenek, berdiam diri di rumah terlalu lama sangat tidak menyenangkan. Sedangkan nenek tahu, sejak lulus sekolah Syaza sudah terbiasa bekerja.

"Kalau begitu buka bisnis saja. Masalah biaya, itu urusan nenek."

Hem, boleh juga saran sang nenek. Syaza menopang dagu, memikirkan kira-kira bisnis apa yang cocok untuk dia geluti.

To be continued ...

Salam anak Borneo.

Istri Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang