Kecolongan

889 12 2
                                    

"Paman, berhenti!"

Teriakan seorang wanita di tepi jalan, seolah tak terdengar oleh pria yang sedang berlari di depan sana. Hiruk pikuk manusia yang memadati jalanan pun menjadi kendala untuk mengejar langkah seribu sang paman.s

Gadis itu kembali berteriak memanggil sang paman namun usahnya sia-sia saja. Sekuat apapun dia berteriak, pria itu seolah tuli. Akh! lagi-lagi dia kecolongan. Nasibnya sungguh malang, hari ini adalah akhir dari penantian panjangnya.

Berprofesi sebagai guru TK, gadis dengan kerudung besar ini harus menunggu waktu setiap tiga bulan sekali untuk mendapatkan gaji. Dan sialnya, sang paman yang seharusnya menjadi pelindung bagi dirinya justru mencuri semua uang hasil jerih payahnya itu.

Syaza, nama panjangnya Nur Syaza. Singkat tapi penuh makna, tentu karena itu adalah nama yang diberikan kedua orang tuanya yang telah diada.

Ya, sejak duduk di bangku SMP Syaza telah kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan lalulintas. Sejak saat itu dia diasuh sang nenek bersama pamannya.

Sang nenek berprofesi sebagai seorang guru SD, hari tuanya dibiayai dari uang pensiun. Dengan uang tak seberapa itulah sang nenek menyekolahkan Syaza dan juga sang putra bungsu, Adrian.

Kini, sang nenek telah tiada, dan tinggalah Syaza dan Adrian saja. Sifat jelek Adrian memang sudah lama, bahkan sejak sang ibu masih ada. Perihal mencuri uang orang rumah, itu hal biasa. Tak jarang sikapnya membuat sang ibu menangis saat itu.

Klontang!

Sembari menyusuri jalan kecil menuju kediaman mereka, Syaza menendang kaleng minuman demi meluapkan kesal di dada.

"Dasar berandal itu! Dia seperti orang sakti, selalu tau di mana tempatku menyimpan uang. Akh! kalau sudah di tangannya pasti uang itu akan habis di meja judi." Syaza menggerutu.

Mengambil duduk pada kursi lusuh di depan rumah, Syaza melepas pandangan ke langit luas "Ya Allah, berikan hamba kesabaran seluar langit ciptaanmu," lirihnya. Sembari menghela napas Syaza mengusap dada.

Hari semakin petang, daripada mengeluh karena uang itu telah dibawa Adrian, Syaza masuk ke dalam rumah dan mengintip ke bawah ranjang. Di ujung sana dia melihat kendi berukuran kecil, di sanalah uang tabungannya yang tak seberapa. Daripada ketahuan Adrian lagi, lebih baik tabungan itu dia pecahkan sekarang saja.

"Maaf, mau tidak mau kamu harus kupecahkan. Adrian gila itu mencuri uangku lagi," ujarnya berbicara dengan kendi itu.

Saat memecahkannya, Syaza memang tak berharap banyak. Uang itu tabungan yang sudah lama dia sembunyikan dari Adrian, dan saat mengisinya pun memang tak pernah memasukan uang berwarna merah. Jadi, yah ... wajar kalau isinya tak seberapa.

"Semoga cukup untuk biaya hidupku ke depan," ujarnya. Syaza mengusap wajah berhadapan dengan kenyataan saat ini. Sebuah harapan yang sangat kecil, mengingat biaya hidup di jaman sekarang sangat besar.

Kembali Syaza mengambil duduk, dia bersandar pada tepian ranjang. Ini bukan kali pertama Adrian mengecewakan dirinya, dan rasanya dia sudah lelah. Keinginan untuk pergi itu sangat besar. Karena mereka sudah sama-sama dewasa, alangkah baiknya jika mereka hidup tak bersama saja. Tapi ... hanya rumah ini yang mereka punya, lantas Syaza harus bagaimana?

Lagi-lagi gadis ini menghela napas, jiwanya benar-benar lelah.

Di saat seperti ini, Syaza teringat dengan sang sahabat, Melia. Dia rekan se-profesi Syaza dari taman kanak-kanak yang sama. Namun di antara kesamaan itu ada banyak hal berbeda dari mereka berdua, tentu saja. Misalnya, Melia adalah putri dari keluarga kaya raya, sedangkan dirinya ....

"Kenapa nada bicaramu terdengar lemas? Bukannya kamu baru terima uang?" Tanya Melia saat menelepon Syaza malam harinya.

"Uangku ...."

Belum usai Syaza bicara, Melia sudah menghela napas kasar.

"Uangnya dikepet babi ngepet lagi?" terka Melia kesal.

"Hem...." Syaza meng-iya kan.

"Argh!, Adrian sialan!. Andai mengguna-guna orang tak membuat dosa, sudah lama aku menyantetnya!"

"Melia ... berhenti memakinya. Itu hanya membuatmu berdosa. Lagipula, buang jauh-jauh pikiran untuk mencelakainya." Meski mengesalkan, rasanya tak reka mendengar Melia memaki Adrian.

"Kenapa? Kamu sayang sama dia?"

Lekas Syaza menjawab "Tentu saja, aku hanya punya dia di dunia ini!"

Melia nampak bersedih "Oh Syaza, lantas aku kamu anggap apa?"

"Kamu sahabat terbaikku," sahut Syaza.

"Tapi kenapa Adrian seolah sangat berharga bagimu?"

"Ya itu tadi, karena dia satu-satunya keluargaku di dunia ini." Gadis ini menjawab seraya mengusap dada.

Jawaban Syaza membuat Melia membuang napas lagi "Aduh Syaza, rasanya mustahil kalian hanya berdua saja di dunia ini. Aku yakin pasti ada keluarga jauh ...."

"Iya memang ada!" Sambar Syaza memutus kata-kata Melia. "Tapi rasanya tak mungkin kami datang mengadu kepada mereka, mereka orang-orang ber-uang. Aku tak yakin mereka menganggap kami keluarga."

Melia memutar bola mata, dia jengah. "Ya sudahlah, aku akan mengirimkan sejumlah uang ke rekeningmu."

"Melia...." nada bicara Syaza terdengar sendu.

"Ayolah Syaza, aku akan memberimu uang. Kenapa kamu terdengar sedih?"

"Sudah terlalu sering kamu membantuku. Aku tak tau harus membalas kebaikanmu dengan cara apa," tuturnya penuh penyesalan.

"Jadilah kakak iparku!"

Permintaan Melia ini, kerap membuat Syaza kehabisan kata-kata. Dia selalu menjodohkan dirinya dengan sang abang, Hans Geraldo.

Tentang Melia, gadis ini bernama panjang Melia Clara Geraldo. Dia putri dari keluarga Geraldo yang terkenal dengan bisnis propertinya. Katakanlah dia anak orang kaya gabut, bosan hidup dimanja dia memutuskan untuk melamar pekerjaan menjadi seorang guru TK mengikuti Syaza, teman yang sudah dikaguminya sejak SMA.

Melia ini seperti fans garis keras Syaza, apapun akan dia lakukan demi kebahagiaan Syaza, termasuk memberikan Syaza uang jika Adrian kembali mencuri uangnya.

"Maaf, Melia. Kalau semua kebaikanmu harus dibayar dengan menjadi kaka iparmu, aku sungguh tak punya keberanian. Abangmu seperti kulkas 8 pintu, aku mana berani mendekatinya."

"Apalagi ... aku perempuan, dan ... keyakinan kita berbeda."

Melia mengembungkan pipi mendengar perbedaan keyakinan mereka ini. Rasanya tembok penghalang Syaza dan sang abang memang sangat tinggi, sangat tidak masuk akal mereka akan bersatu.

"Ya sudah, tetaplah menjadi sahabatku. Selamanya!" Melia menekankan.

"Iya, tentu saja. Kamu sudah seperti saudara bagiku. Dan mengenai semua uang yang kamu pinjamkan, suatu saat aku akan menggantinya."

"Tidak perlu!" Sanggah Melia. Jujur saja, dia tulus memberikan uang itu pada Syaza. Lagipula uang itu nominalnya tak seberapa baginya, seperti uang jajan masuk ke supermarket saja.

Tapi Syaza bukanlah orang yang suka mengambil kesempatan pada orang lain, dia tentu menolak uang itu jika cuma-cuma "Melia ..., aku tak bisa menerima uang itu begitu saja."

Melepaskan masker wajah yang sejak tadi dia kenakan. Kalau sudah Syaza yang menelepon, dia bahkan tak peduli sedang memakai masker sambil mengobrol panjang "Nanti, aku akan mencari cara."

"Cara apa?" Tanya Syaza masih belum tak mengerti.

"Caramu mengganti uangku."

Mulut Syaza membulat, namun langsung dia berucap "Jangan bilang ...."

Langsung saja Melia berujar "Tidak akan!. Aku janji tidak akan memintamu menjadi iparku lagi."

Syaza tersenyum di ujung telepon "Nah ... kalau begitu kan enak. Pikirkan cara yang bagus, oke!"

"Apa sih yang tidak oke untukmu," tutur Melia hingga membuat Syaza tertawa.

To be continued....

Salam anak Borneo.

Istri Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang