Syaza part 42

191 5 0
                                    

Kepulangan Gibran dan rombongan yang mendadak, menimbulkan kebencian terhadap Syaza. Memang, secara langsung Gibran sudah menjelaskan bahwa Syaza hanyalah pengasuh Nuha, namun tetap saja banyak dari penggemar yang menyalahkan Syaza.

Seharusnya, Syaza sadar betul akan posisinya yang hanya pengasuh Nuha. Dan tak seharusnya dia duduk tepat di sebelah Gibran dalam mobil itu, karena derajat mereka yang berbeda.

Dalam beberapa artikel, komentar para netizen sungguh membuat panas hati Adrian dan Zein. Demi meluapkan rasa kesal itu, Zein mengajak Adrian untuk menyambangi kediaman Gibran.

Sebelumnya, nenek Claudia sudah mendapat kabar dari Syaza bahwa mereka telah berada di tanah air. Karena itulah Zein yang sudah kepalang emosi, ingin lekas-lekas meminta pertanggungjawaban dari Gibran, sebab Syaza banyak menuai hujatan.

"Persetan dengan kontrak! Kalau dia tidak mampu membayar denda itu, aku bisa membayarnya!" Menginjak sepucuk rokok hingga hancur lebur, Zein sungguh kesal setengah mati.

"Ayolah, bang! Kita langsung ke rumah mereka!" ujar Zein lain.

Mereka sedang berada di taman belakang kediaman Zein dan nenek Claudia. Sejak hubungan mereka sudah mulai membaik, Adrian kerap mengunjungi kediaman itu untuk menemui ibu tirinya.

"Sabar, mereka pasti lelah. Berikan waktu untuk mereka beristirahat dulu."

"Abang tidak sayang Syaza?!" hardik Zein seperti ikan yang menyambar umpan pada kail.

"Jangan membahas masalah sayang! Bahkan mati untuk Syaza pun aku rela."

"Oh ya? Lantas, kenapa abang masih di sini? Alih-alih langsung melabrak tuan artis yang sayang uangnya itu?!"

"Kamu ... kenapa di sini? Bukannya kekantor," sahut Adrian dengan santainya.

"Kenapa membahas masalah itu? Abang sendiri kenapa tidak berangkat bekerja?" Agak songong Zein ini. Setelah berhasil meluluhkan hati Adrian untuk menerima hubungan mereka, ia yang sebenarnya galak kerap bersikap seperti ini pada Adrian.

Menumpukan kedua kakinya, Adrian menatap sinis pada Zein "Sok sekali kamu ini. Aku kan resmi jadi pengangguran sejak bos Hans pergi keluar negeri."

Sadar akan sikapnya yang mulai lepas kendali, Zein mendekati Adrian untuk menukar hatinya "Bukan begitu, bang. Kita sedang membahas Syaza, kenapa sekarang membas masalah bekerja? Fokus, bang! Fokus! Syaza kita sedang dirundung derita! Kalau bukan kita, siapa yang bisa menyelamatkan dia!"

Gibran berdecih "Dia sudah punya suami. Ada masalah dalam rumah tangga itu hal biasa, kita berikan kesempatan pada mereka untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Gibran kan baru pulang, dia pasti sudah memikirkan cara untuk meredakan amarah penggemarnya pada Syaza. Kita beri dia waktu beberapa hari. Kalau masalahnya tak jua reda, baru kita turun tangan."

Panjang lebar Adrian mencoba memberi penjelasan kepada Zein, pria dewasa yang sebenarnya masih bocah di mata Andrian. Bocah? Yah, usianya belum 30 tahun, tapi sudah lama menjadi pemimpin perusahaan. Dalam menyikapi segala masalah dalam perusahaan, Zein sangat patut diacungi jempol. Namun untuk masalah Syaza, emosi lebih besar dari pada akal sehatnya.

"Tapi, bang ..."

Segera Adrian berdiri, ia melihat nenek Claudia sedang menatap ke arah mereka dari jendela lantai dua. Ia memberi kode pada Adrian untuk datang padanya.

"Sudah! Kamu segera ke kantor sana! Aku ada urusan sama Ibu."

"Terus, masalah Syaza, bagaimana?"

"Aku bilang nanti! Kamu memintaku untuk fokus, nyatanya kamu sendiri yang tidak fokus pada apa yang aku katakan." Tatapan Adrian tajam sekali, memangkas emosi Zein hingga pria ini mengurungkan niat untuk melabrak Gibran.

Di tempat lain, ada hati yang terbakar api cemburu. Bella sungguh menyesal tak menyusul Gibran ke luar negeri, sebab jadwalnya yang padat. Ia melempar segala benda yang ada di meja rias, kemudian memandangi wajahnya yang merah karena emosi yang meledak. Sekian detik memandangi diri, anakan sungai mulai terbentuk pada kedua pipi, Bella menangis.

"Kurang apa aku, Gibran? Aku cantik, aku artis terkenal, aku juga sudah berusaha menjadi teman yang baik untuk Nuha. Tapi kenapa wanita rendah itu yang kamu pilih menjadi pengasuh Nuha. Kenapa ..." lirih Bella.

"Kenapa, Gibran?" Suaranya mulai meninggi.

"Kenapaaa!!" Bella berteriak, bersamaan dengan pecahnya cermin yang tadi memantulkan bayangan dirinya.

Terlihat darah segar menetes dari jari-jemari Bella, ia melukai dirinya karena amarah terhadap Syaza.

Kediaman Gibran dan Syaza.

Usai mengabarkan kepulangan mereka pada nenek Claudia, Gibran tak membiarkan Syaza memegang ponsel lagi.

"Kenapa, bang? Aku perlu ponsel itu, aku mau menelepon Melia."

"Kamu mau mengabarkan pada Melia bahwa kita sudah pulang, ia kan? Aku yang akan mengabarinya."

Sikap Gibran sungguh membuat Syaza resah, ia yakin pasti ada masalah baru yang menerpa mereka.

"Bang ... berikan ponselku. Aku mohon?" Pintanya penuh harap.

"Bagaimana kalau aku yang memohon untuk tidak bermain dengan ponsel dulu untuk sementara? Tidak membuka laptop, juga tidak menonton televisi."

Apakah itu sebuah permintaan? Akh! Syaza tak habis pikir dengan permintaan aneh itu. Hal ini semakin menguatnya dugaannya akan masalah baru.

"Gibran ... katakan apa yang telah terjadi?" Syaza menatap dalam pada sepasang manik bulat Gibran, ia benar-benar serius saat ini.

Tak memanggilnya dengan sebutan abang, Gibran tahu sang istri sedang menahan amarah. Tapi, sungguh Gibran tak ingin Syaza tersakiti dengan melihat komentar pedas para netizen. Dunia maya sungguh indah, namun tak ayal, juga bisa membuat banyak orang menderita.

"Tuan Gibran, tolong katakan yang sejujurnya!" Syaza kembali menekankan.

"Tolong, berikan ponselku!" Sebelah tangannya menadah di hadapan Gibran, meminta barangnya untuk dikembalikan.

"Sayang ..." lirih Gibran.

"Jangan bersembunyi di balik kata sayang, jika sebuah kejujuran tak bisa kamu ungkapkan di depanku. Atau ... karena pernikahan rahasia kita, membuatmu lupa bahwa sebuah kejujuran sangat diperlukan dalam membina rumah tangga?"

Nuha tiba-tiba datang hendak mengajak Syaza ikut bersamanya.

"Sayang ... ayah sedang ada perlu dengan bunda. Kamu main sama mbak Eli dulu, ya," ujar Gibran.

"Jika tidak ada yang mau kamu katakan, untuk apa aku berada di sini? Akan lebih baik jika aku bermain bersama Nuha."

Saat itu juga Syaza melangkah bersama Nuha, namun cekalan pada lengannya membuat langkah mereka terhenti. Gibran menatap penuh harap pada Nuha "Nuha, ayah mohon. Tolong ayah."

Nuha gadis yang cerdas, ia dapat merasakan ada yang tidak beres dengan kedua orang tuanya. Maka, dengan segera ia melepaskan pegangan tangan Syaza dan dia.

"Nuha main sama mbak Eli saja." Ia segera pergi meninggalkan Syaza dan Gibran.

Kamar yang menjadi saksi mereka memadu kasih, kini kembali menjadi saksi ketegangan yang sedang terjadi. Syaza hendak mengambil paksa ponselnya, namun, sayang tubuh mungil itu menjadi penghalang atas aksinya. Gibran yang tinggi menjulang menjunjung tinggi ponsel tersebut.

Gagal mendapatkan ponselnya, Syaza menghentakkan kaki kemudian menuju kamar mandi. Ia mengunci diri di sana.

"Syaza ..."

Tak ada jawaban. Sekarang sang istri telah merajuk. Ia bahkan tak sudi menjawab panggilannya.

"Syaza, sayang ... ayo kita bicara," ujar Gibran. Ia mengetuk pintu berkali-kali.

Sayang sungguh sayang, Syaza tak berniat membuka pintu. Bahkan untuk menjawab panggilan Gibran pun, Syaza tak sudi.

To be continued ...

Salam anak Borneo.

Istri Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang