Syaza part 33

214 6 0
                                    

Tek!

Gibran mematikan kompor, menarik pelan pundak Syaza untuk berbalik menghadap dirinya. Getaran hati membuat tubuh Syaza menegang, dengan pandangan bergetar ia menatap dada Gibran, sebab tinggi badannya yang kalah jauh.

Glek!

Bersusah payah menelan saliva, sentuhan lembut jemari Gibran di dagunya kembali membuat kering kerongkongan Syaza. Apa yang akan terjadi? Untuk berpikir sejenakpun Syaza tak bisa.

"Lihat aku," pinta Gibran.

Memberanikan diri untuk menatap lurus ke dalam manik bulat sang suami, Syaza merasakan ketulusan hingga menghangatkan hati.

"Maaf, awal pertemuan kita tak manis. Aku menutupi rasa tertarik padamu dengan cara yang salah."

Blush!

Wajah yang menghangat, pipi yang merona. Tatapan wanita ini bergetar dan tak kuasa untuk terus beradu padang. Ia menggigit bibir dalam demi menetralkan sang hati, ia bagai kembang api di malam tahun baru, letupan indahnya memenuhi dinding hati Syaza yang penuh dengan prasangka.

Sungguh dungu, seharusnya Syaza menyadari, bagaimana bisa seorang pria mengajak untuk menikah tanpa adanya rasa cinta sedikit saja padanya. Mungkin karena terlalu polos, tak sedikitpun ia menduga bahwa Gibran menyukai dirinya sejak awal perjumpaan mereka.

Sentuhan jemari besar Gibran pada pipi merona sang istri, menariknya untuk tersadar dari lamunan tak berarti. Wajah yang kecil, sebelah tangan yang menangkup pipinya hampir menutupi seluruh wajah kecil itu.

"Meski aku belum bisa membuatmu jatuh cinta padaku, bolehkah aku menyentuhmu untuk sekali ini saja? Seharian tanpa bertemu membuatku sangat rindu."

Syaza mengangguk.

Oh! Bahlul! Syaza mengumpat pada diri sendiri, mengapa langsung mengangguk memberikan izin kepada Gibran! Bagaimana kalau ia meminta haknya? Kembali manik indah Syaza mengerjap bak kerlip bintang di langit, ia gugup sekali.

Pegangannya pada tepi meja kompor semakin erat, saat Gibran semakin mendekati wajahnya.

Sedikit mundur, Syaza tak bisa terus menghindar sebab jemari besar Gibran memegangi tengkuknya.

Cup!

Bukan di pipi seperti hari kemarin, kali ini ciuman singkat itu mendarat pada bibir merah jambu Syaza. Oh ya Allah, desiran aneh di dalam hati kembali mencipta letupan kembang api dalam hati Syaza. Tubuhnya terasa melemas, ia yang tak biasa bersentuhan dengan pria, sungguh berdegup hebat jantungnya saat ini.

Menyatukan keningnya dan kening Syaza, desau napas berat Gibran sangat terasa di wajah Syaza. Wanita ini menelan saliva, dalam rasa gugup yang enggan untuk pergi.

"Terima kasih, satu ciuman ini sudah cukup melepaskanku dari dekapan rindu berat padamu."

Pegangan pada leher Syaza melemah dan perlahan terlepas, begitu juga pelukan erat pada pinggang rampingnya, Gibran akhirnya menarik diri dari sang istri.

Masih menatap Syaza dengan hangat, ia menarik mie instan sembari mendudukan diri di meja makan.

"Ah, ba ... baiklah. Tu ... tunggu sebentar ...." Dalam kepanikan Syaza menyentuh pancil yang tadi sempat diletakan di atas kompor menyala. Tak begitu panas, namun membuatnya terkejut sebab suhu air di dalamnya masih hangat.

"Syaza!" Lekas Gibran menarik lengan Syaza dan membawanya ke depan wastafel, mengguyur tangan kecil Syaza di bawah air keran.

Ia hanya sebatas dada bidang Gibran, sangat pas sekali ketika Gibran meletakan wajahnya di atas kepala Syaza, ketika memeluknya lagi dari belakang.

"Gi ... Gibran, aku baik-baik saja. Airnya tidak panas." Sebisa mungkin menenangkan diri, ia mematikan air keran yang masih mengaliri tangannya.

"Syukurlah, maaf jika tindakanku membuatmu tak nyaman."

Dapat ia rasakan, pelukan Gibran semakin erat, ia hanya bisa pasrah. Sejatinya ia senang mendapat perlakuan hangat seperti ini.

"Jadi ... inikah indahnya dicintai?" bisik hati kecil Syaza.

Mengkhawatirkan sang istri, Gibran mengajak Syaza untuk duduk di meja makan. Sedangkan dirinya melanjutkan pekerjaan Syaza.

Apa-apaan ini, diperlakukan seperti itu saja ia sudah tak bisa fokus, kembali Syaza memaki dirinya dalam hati "Dasar bahlul!"

Ia mendapatkan segelas air minum dari Gibran, untuk menenangkan diri.

Sembari merebus air Gibran tersenyum miring "Ternyata ia sangat lemah kalau digoda. Aroma tubuhnya sangat nyaman, kalau lebih sering memeluknya apa jantungnya akan baik-baik saja?" Ia berujar dalam hati.

Sementara Syaza, baru kali ini lebih memerhatikan sang suami. Dia merasa, meski hanya menatap punggungnya Gibran terlihat tampan.

"Ya Allah, Syaza sadarkan dirimu!" Memukul kepalanya pelan, ia sungguh tenggelam dalam pesona suami sendiri.

Usai menemani Gibran makan, Syaza bingung hendak melakukan apa lagi. Berkali dia menguap namun tertahan.

Gibran memang terlihat galak, namun sejatinya ia adalah pria yang peka.

"Tidurlah," ujarnya. Ia mematikan lampu dapur, menarik pelan jemari Syaza menuju lantai atas.

"Ti ... tidur?"

"Iya tidur. Memangnya mau kemana lagi? Ini sudah tengah malam, sayang."

Ya salam! Mendapat panggilan baru rasanya Syaza akan mimisan. Lekas ia memeriksa keadaan hidungnya, beruntung tak terjadi apa-apa.

Saat mereka telah sampai di kamar, Syaza berucap pelan "Anu ... bukannya kamu baru selesai makan. Apa tidak begah jika langsung tidur?" Mereka bukan tak tidur bersama satu ranjang, tapi mengingat kejadian di dapur tadi, Syaza jadi waspada. Entahlah! Ia merasa seperti daging segar yang sedang diincar seekor singa besar. Tapi, jika daging segar itu dimakan singa, bukankah itu memang makanan sang raja hutan? Lantas, apa yang membuat Syaza resah?

Gibran tertawa, ia tak bisa menahan rasa geli yang mengocok perut.

"Kamu terlihat waspada padaku, Syaza."

Sumpah! Gibran memang begitu tampan ketika tersenyum, tapi senyumnya kali ini membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Jantung Syaza rasanya bergetar berkali-kali, usai pernyataan cinta sang suami.

Yah, dirinya tak bisa menyembunyikan rasa gugup itu, ia mengangguk pasrah menjawab pertanyaan Gibran.

"Kamu lucu."

Lucu? Sontak Syaza menoleh pada Gibran.

"Kamu lucu dan menggemaskan. Aku akan menikmati udara malam dulu di beranda. Kamu tidurlah lebih dulu. Aku janji tidak akan menerkam kamu."

Ada rasa lega ketika Gibran mengatakan hal itu.

"Walaupun aku sangat ingin menerkam dirimu."

Lagi-lagi Syaza menatap Gibran tegang. Gibran terus tertawa, lebar sekali hingga pundaknya bergetar.

"Tidak. Aku hanya bercanda. Sudahlah, cepat tidur, ini sudah sangat malam."

Akhirnya Syaza merebahkan diri setelah memastikan Gibran berada di beranda kamar. Ia melihat pria itu mengisap rokok, menerbangkan asapnya ke atas langit malam.

"Ternyata ia bisa merokok. Tapi ...." Wajah Syaza kembali merona. Ia ingat betul aroma mint tubuh tegap sang suami.

"Dia wangi," gumamnya.

"Dan hangat," ujarnya lagi.

Ck! Syaza sempat kesulitan untuk tidur. Perlu waktu beberapa menit hingga akhirnya sang mimpi memeluk dirinya.

Kecupan singkat di kening saat Syaza tertidur pulas, Gibran senang sebab rasa di hati telah ia ungkapkan. Jika sang istri tak bisa membalas cintanya, itu bukan masalah berat baginya.

"Aku tidak akan menyerah untuk membuatmu tergila-gila padaku, Syaza."

Menarik pelan tubuh lelah sang istri, malam itu Gibran tak lagi tidur memeluk guling, sebab Syaza yang manis terlihat nyaman berada dalam pelukannya.

To be continued ....

Salam anak Borneo.

Istri Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang