Kegelapan mulai menyapa sang bumi. Semilir angin pun terasa menusuk tulang. Jadwal syuting seharusnya selesai esok hari, tapi demi cepat pulang ke rumah, Gibran bekerja dengan sangat baik hari ini. Pekerjaannya begitu lancar, hingga setelah scene-nya selesai, ia dapat langsung kembali ke kediaman mereka.
Masalahnya, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam saat itu. Anton sebagai asisten pribadi sekaligus supir, Windi sebagai penata busana yang telah teken kontrak dengannya sejak lama, mereka menganjurkan untuk pulang esok hari saja. Tapi Gibran masihlah Gibran yang dahulu, keras kepala. Ia ingin pulang malam ini juga.
"Ya sudah, kita pulang malam ini tapi. Tapi Windi, kita gantian bawa mobil, oke?" ujar Anton.
"Aku? Aku memang mempunyai SIM, tapi aku sudah lama tidak membawa mobil, bagaimana kalau kita berakhir di rumah sakit?"
Gibran mengetuk kepalanya kemudian mengetuk kaca mobil "Amit-amit, ya Allah. Win, kalau bicara jangan sembarangan!" Kemudian ia beralih pada Anton,"Aku bisa menggantikan kamu, pokoknya malam ini kita pulang!"
"Oh Allah, hamba perlu kopi." Rupanya gumaman Anton ini terdengar jelas oleh Gibran.
"Kalau mau kopi, katakan saja! Jangan beralasan tidak sanggup menyetir hingga menunda waktu pulang."
Dalam nada bicaranya saja, sudah ketahuan bahwa Gibran sedang marah. Windi diam seribu bahasa, sungguh ia tak berani macam-macam kalau bos besar sedang marah.
"Hehehe ... kalau begitu saya mau dua gelas kopi, bos." Tangannya membentuk huruf V, dia juga tersenyum semringah pada Gibran.
Alih-alih takut seperti Windi, menghadapi Gibran yang marah adalah hal biasa bagi Anton. Apalagi kalau mood nya sedang kacau, Gibran yang cool ini bisa mendadak seperti bocah, banyak maunya.
Membelah jalanan dalam dinginnya malam, hal ini bukan apa-apa bagi Gibran. Rasa rindu begitu menguasai diri, baik itu kepada sang istri atau pada sang putri. Seketika senyumnya merekah, mengingat dua wanita berharga miliknya. Terlebih saat membayangkan Syaza dalam balutan busana pengantin beberapa hari yang lalu, wanita itu benar-benar membuatnya jatuh cinta.
Membuka akun media sosialnya, tanpa ragu Gibran mengetik beberapa kalimat "Allah mengisi langit dengan gemerlap bintang, seperti engkau mengisi hatiku yang sepi." Tak lupa ia menyematkan foto Nuha bersama kata indah itu.
Andai kontrak itu telah usai, ingin rasanya memamerkan kepada dunia, bahwa kata itu sebenarnya bukan untuk Nuha.
"Akh!" Melenguh kesal. Andai ia tahu akan menikahi wanita itu, tentu ia akan menolak tawaran kerja yang mengharuskan dia tanpa pasangan.
Karena dua gelas kopi, Anton dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Menghabiskan waktu 4 jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di kediaman Gibran setelah sebelumnya mengantarkan Windi pulang.
Berjalan sempoyongan, Anton mulai merasa lelah. Meski begitu, ia tak lupa membantu membuka pintu mobil untuk Gibran.
"Kamu menginap saja di sini, sudah dini hari," ujar Gibran.
"Tidak perlu, bos. Badan saya rasanya lengket semua, saya mau cepat mandi dan tidur sepuasnya hari ini. Kita akan kembali sibuk lusa, ada janji temu dengan bos besar majalah KRENZ." Berjalan menuju keran air di samping kediaman Gibran, rupanya Anton mencuci wajahnya demi menyegarkan kembali dirinya.
"Oh, oke. Kalau begitu hati-hati di jalan."
Mengacungkan jempol ke arah Gibran "Siap, bos!" tukas Anton. Ia segera pamit undur diri.
Kediaman itu kembali sepi setelah kepergian Anton. Dengan kunci yang dia miliki, Gibran masuk ke dalam rumah.
Membiarkan kopernya di ruang tamu, ia segera melangkahkan kaki menuju lantai atas, kamarnya dan Syaza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Untuk Ayah
RomanceSyaza, seorang guru TK yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Sejak kehilangan kedua orang tuanya, dia hanya memiliki seorang paman saja sebagai tempat bersandar. Keinginan hati menganggap sang paman adalah orang yang dapat diandalkan, namun say...