Ayah jangan marah

157 5 0
                                    

Dugh!

"Kyaaaaa!" Teriakan seorang bocah menarik atensi para guru. Syaza sedang menikmati makan siangnya kala itu, namun dia langsung meninggalkan makanannya dan bergegas mencari tahu apa yang sedang terjadi.

"Syakittt ...!" Rintih seorang anak kecil.

"Di mana yang sakit, Sayang?" Tanya Melia. Bocah yang sedang menangis itu adalah Nuha.

Nuha terisak. Jari kecil bocah itu menunjuk lututnya, terlihat nampak baik-baik saja, namun saat diteliti celana bagian lututnya nampak berlobang kecil-kecil.

"Permisi ya, Sayang. Bunda Syaza lihat lututnya, ya?" Pinta Syaza berusaha menenangkan isak tangis Nuha.

Dalam rasa sakit bocah kecil itu mengangguk. Ternyata dugaan Syaza benar, lutut bocah itu terluka.

"Nuha jatuh sendiri atau bagaimana ini?" Tanya Melia pelan, dia tak mau membuat Nuha terancam.

Manik indah bocah itu menatap ke arah papan perosotan. Dia menunjuk tepian pegangan itu, yang terlihat kopek sedikit. Mungkin hal itu yang membuat Nuha lepas kendali dan akhirnya jatuh dari sana.

"Lekas bawa dia ke ruang kesehatan!" Perintah Bunda kepala.

Syaza mengambil aba-aba untuk menggendong Nuha.

Grab!

Bunda Yura menahan tangan Syaza"Bunda yakin bisa menggendongnya?"

"Insa Allah, kenapa Bund?" tanya Syaza pula.

Seraya berbisik. "Yakin bisa? Lihat deh, dia gendut."

Ya! Nuha memang sedikit lebih berisi dari teman sebayanya. Dia memiliki tubuh sedikit lebih tinggi dan pipinya seperti bakpao, tak jarang dirinya dipanggil dengan sebutan kue Nuha. Kenapa? Sebab pipinya yang gembul seperti kue bakpao.

Bisikan itu terdengar oleh Nuha, langsung saja bocah ini berkata "Nuha tidak gendut!, Nuha cuma gemoy kata Ayah!"

"Gemoy itu gendut, Nuha. Ayah kamu cuma mencari kata lain aja. Gendut ya gendut aja!" Seperti bocah, Yura meladeni ocehan Nuha. Dia tak ingin kalah walaupun sedang berhadapan dengan anak kecil.

"Yura, kamu bahkan ingin berdebat dengan anak kecil! Ayolah ...." Menarik Nuha agar lebih dekat dengannya, kemudian Syaza menggendong gadis kecil itu di punggungnya. Dan benar, dia bisa menggendong Nuha.

"Bukan begitu. Aku hanya ingin melatihnya agar terbiasa menerima kenyataan dalam hidup ini. Itu saja, Bunda Syaza," ucapan Yura ini tak lagi dihiraukan Syaza. Dia langsung beranjak pergi.

Selang beberapa menit Nuha akhirnya bicara "Bunda Yura jahat!" ujarnya setelah sejak tadi diam saja meski Yura terus mengoceh.

kini mereka sudah berada di ruang kesehatan. Syaza menurunkan gadis kecil itu di atas ranjang.

"Bunda Yura nakal. Nanti akan Nuha adukan pada Ayah," gerutu Nuha.

"Boleh tidak kalau Nuha memaafkan Bunda Yura? Ia cuma asal bicara," ujar Syaza membetulkan kerudung Nuha yang miring. Dirapikannya helai rambut Nuha yang berantakan di pipi, juga kening.

Nuha memainkan bibirnya, dengan pipi seperti bakpao tingkahnya terlihat lucu bagi siapa saja yang melihat.

"Nuha ... bagaimana? Bisa tidak memaafkan bunda Yura? Kalau Nuha bisa pahalanya banyak lho." Seraya bersiap membalut luka Nuha, Syaza masih berusaha mengajarinya tentang maafkan.

"Pahala itu apa?"

"Balasan saat berbuat kebaikan," jawab Syaza "maaf ya sayang, mungkin ini sedikit sakit." Sembari memperlihatkan kapas yang sudah diberi obat merah.

Istri Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang