Kisah di masa lalu

217 4 0
                                    

Beberapa tahun silam.

Sebuah pertengkaran membuat keluarga yang aman damai terancam hancur. Hal ini disebabkan oleh kasih yang terbagi, lebih tepatnya dipaksa berbagi.

Saat itu Amed Gauvar diharuskan menikahi Claudia Zulvar, demi kokohnya kerajaan bisnis dua keluarga. Yang menjadi masalah, saat itu Amed sudah memiliki seorang kekasih, Medina namanya.

Sangat tau akan keadaan dirinya yang hanyalah seorang rakyat jelata, Medina dengan ikhlas merelakan Amed untuk Claudia.

Tidak! Hal ini jelas tak disetujui oleh Amed. Jika para orang tua bisa mengancam dirinya, dengan pilihan bertahan dalam keluarga atau pergi bersama Medina, maka Amed pun memberikan sebuah penawaran pada keluarganya.

"Aku akan menikahi Claudia, sebagai istri kedua."

Hah!

Seluruh keluarga yang hadir dalam pertemuan itu terpengah. Jika Claudia akan menjadi yang kedua, apakah itu artinya Medina akan menjadi yang pertama?

"Maksud kamu apa, nak Amed?" tanya tuan Zulvar.

Ternyata, Amed bersedia menikahi Claudia asalkan sebelumnya dia diperbolehkan menikahi Medina.

Ketika para orang tua sempat menolak, maka Amed pun tanpa ragu akan menolak pernikahan bisnis itu terjadi.

Demi keuntungan bersama, maka pernikahan Amed dan Medina terjadi, begitu juga dengan pernikahan Amed dan Claudia. Sungguh, para orang tua tak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Berlandaskan cinta buta, Medina meyakinkan kedua orangtuanya untuk mendukung jalan yang dia pilih.

Dari pernikahan itu Medina dikaruniai dua putra, yang pertama bernama Galih, ayah Syaza. Dan tentu saja si bungsu adalah Adrian. Sedangkan Claudia, dia hanya memiliki satu keturunan saja, dialah Zein, usianya tak jauh dari Adrian.

Bertahun hidup dalam dua cinta, Amed tetap tak bisa membagi hatinya dengan adil pada Claudia dan Medina. Dan dengan terpaksa Claudia membiarkan Amed untuk tinggal bersama Medina saja.

Dikucilkan keluarga, itulah yang terjadi pada Amed dan Medina. Kekayaan dan kekuasaan seketika direnggut dari mereka, setelah Amed memutuskan untuk meninggalkan Claudia. Sementara Claudia, dia yang baik hati tentu sangat disayangi keluarga Gauvar. Hingga saat ini dia hidup bergelimang kekayaan, dan berstatus sebagai satu-satunya nyonya besar dari keluarga Gauvar.

* * *

Syaza rasanya ingin kabur dari dalam mobil Zein. Bisa-bisanya paman yang satu ini membawanya ke kediaman mewah mereka tanpa persetujuan darinya dahulu.

"Diawal pertemuan kita, kamu malah ingin melarikan diri? Kamu tidak rindu padaku?" tanya Zein. Tak seperti Adrian yang serampangan, Zein begitu tenang tapi sama menyebalkannya bagi Syaza.

"Rindu? Aku bahkan hampir lupa dengan wajahmu."

Jawaban model apa itu? Zein mendengus mendengarnya.

"Syaza ... kamu tetap judes, ya. Biasanya yang judes seperti ini menarik untuk dijadikan istri."

Plak!

Begitu ringan tangan Syaza memukul belakang kepala Zein. Sang asisten sekaligus supir sontak menoleh ke belakang. Dengan segera tangan Zein terangkat padanya, sebagai tanda bahwa dirinya tidak apa-apa.

Bersedekap, alih-alih meminta maaf, Syaza pun enggan menatap wajah Zein. Bagaimana dia tidak membuat kening pria ini luka sewaktu mereka kecil, Zein dengan lantang mengakui bahwa dirinya menyukai Syaza dan kelak akan menikahinya.

Yah ... seperti pepatah arab yang mengatakan "Jarang bertemu menambah kerinduan." Seperti itulah rasa manis tercipta dari hati Zein untuk Syaza. Karena jarak dan waktu yang kerap memisahkan mereka, sungguh tak bisa dipungkiri Zein jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat Syaza. Namun sayang ... rasa itu harus segera dikubur dalam-dalam, sebab mereka bukan sepupu, melainkan paman dan keponakan.

Zein nyaris ditendang dari kartu keluarga karena obsesi cinta monyet itu. Daripada harus terusir, dengan terpaksa dia memilih untuk berdamai dengan keadaan. Jika tak bisa memiliki, setidaknya dia akan menjaga Syaza dari kejauhan. Seiring berjalannya waktu, letupan cinta manis itu berubah menjadi kasih seorang orang tua pada sang anak. Ya, akhirnya Zein tersadar bahwa rasanya pada Syaza adalah salah besar.

Kali ini dia melontarkan canda itu demi melihat ekspresi gusar sang keponakan, karena Syaza terlihat lucu ketika sedang menekuk wajah.

"Hais! Keras sekali pukulanmu, Syaza. Lembutlah jadi perempuan. Kalau kasar seperti ini kamu akan jadi bujangan tua." Ck! Seringan bulu pula, ucapan Zein semakin menambah kesal hati Syaza.

Saat itu mobil berhenti melaju, mereka tepat berada di halaman besar kediaman keluarga Gauvar.

"Maaf, aku hanya bercanda. Ayo turun, kita temui mamiku." Jemari besar sang paman meminta sambutan dari Syaza.

Glek!

Seketika Syaza kesulitan menelan air ludah. Sudah bertahun lamanya dia tak bertandang ke kediaman ini. Suasananya masih sama, juga ketakutan yang Syaza rasakan ... masih sama seperti dahulu.

"Syaza ...." panggil Zein.

Mengantup bibir, Syaza berusaha mencari alasan agar tak turun dari mobil. Tanpa dia duga, Zein telah berada di balik pintu mobil dan membukanya. Dia langsung meraih tangan Syaza dan membawanya masuk ke kediaman itu.

Terasa hawa dingin ... juga sepi. Kediaman besar itu menimbulkan gema ketika kaki mereka melangkah.

"Zein ... ini sudah larut. Seharusnya aku sudah pulang. Adrian pasti sedang mencariku sekarang," ujarnya berkilah.

Alasan tipis, Zein menatapnya dengan ujung matanya saja. Ucapan Syaza tak dihiraukan.

Genggaman tangan yag Syaza rasakan semakin erat, dia gagal melepaskan diri dari Zein.

Mulai berhenti melangkah, namun sialnya lantai ubin di sana tak bersedia bekerja sama, dia terseret seperti sedang berjalan di atas sepatu roda.

"Zein ..., paman Zein!"

Zein seolah tuli. Dia terus membawa Syaza hingga sampailah mereka di ruang makan. Di sana sudah ada Claudia. Sendirian saja ia duduk di sana, sedangkan para pelayan berdiri berjejer rapi di dekatnya.

"Mami! Lihat siapa yang datang?" seru Zein begitu senang.

Saat Claudia menoleh ke arah mereka, keningnya semakin berkeriput, ya ... Claudia yang cantik kini telah menua.

Mengambil kacamata di samping piring makannya, betapa terkejutnya Claudia saat mendapati Syaza yang datang bersama Zein.

Tubuh tua itu tergopoh menyongsong Syaza, gadis kecilnya kini telah dewasa.

Tak tega membiarkan Claudia yang mendatanginya, Syaza langsung menghampiri wanita tua itu.

Jemarinya yang dahulu lentik dan cantik, kini kendur dan penuh keriput. Tangan itu bergetar, menyusuri wajah cantik Syaza ...

"Cucuku ... bagaimana kabarmu, sayang."

"Alhamdulillah, Syaza baik, nek."

Setitik air bening membasahi salah sepasang mata redup Claudia. "Alhamdulillah. Bagaimana kabar Adrian?"

Syaza tak kuasa memberikan jawaban. Hatinya seketika kesal jika mengingat kelakuan Adrian.

"Syaza ...."

"Nenek tidak perlu peduli pada orang gila itu."

"Syut! Dia putraku, jangan panggil dia dengan sebutan itu."

Syaza sudah berusaha menahan diri agar tak menangis, namun pada akhirnya anakan sungai di matanya tumpah membasahi kedua pipi.

Medina pergi membawa Amed dari kehidupan Claudia, dengan berbekal rasa bersalah yang teramat dalam kepada Claudia. Dengan derai air mata, di hari kematian Amed, Medina menceritakan kisah cinta mereka kepada Adrian dan Syaza yang kala itu menganggap semuanya baik-baik saja.

Setelah mengetahui segalanya, Adrian dan Syaza tak berani sekedar melintas di kediaman Gauvar, karena rasa bersalah itu juga membelenggu hati mereka. Oleh karena itulah, seberapa sulit kehidupan mereka setelah kepergian Medina, Syaza dan Adrian tak pernah berniat meminta pertolongan pada Claudia.

To be continued ...

Salam anak Borneo.

Istri Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang