Menempati hotel bintang 5, Gibran dan para rekan kini telah berada di dalam kamar masing-masing. Masih ada waktu beberapa jam hingga Gibran diharuskan untuk bekerja.
Melalui kacamata minus yang bertengger di hidung mancung itu, Gibran memerhatikan prilaku sang istri dan sang putri. Mungkin karena lelah, dua wanita berbeda generasi ini langsung merebahkan diri di atas ranjang nan empuk. Bukan untuk melanjutkan tidur, mereka hanya rebahan mengistirahatkan diri.
Baru saja meletakan kacamata di atas nakas dengan maksud bergabung bersama Nuha dan Syaza, sebuah ketukan pintu menarik atensi mereka semua, hingga secara bersamaan menoleh ke arah yang sama pula.
Nuha hendak membuka pintu, namun ditahan oleh Gibran. Posisinya sekarang tepat berada di hadapan Syaza, yang sedang rebahan. Mengingat pernikahan rahasia mereka, akan sangat berbahaya jika yang datang bukanlah Anton.
"Permisi, bos. Saya mau menawarkan es krim untuk Nuha dan nona Syaza." Ternyata Windi yang datang.
"Nuha mau!" Langsung saja bocah kecil itu berseru.
"Ak ...."
"Windi, kamu ajak Nuha makan es krim. Syaza, kamu bongkar koper saya dan Nuha." Gibran memotong kalimat Syaza.
Syaza memberengut, dia juga mau es krim!
"Ayo, Nuha. Kita saja yang ke restoran."
"Windi!" Sebelum Windi pergi bersama Nuha, Gibran menarik koper milik Syaza dan menyerahkannya kepada Windi.
"Tolong bawa koper Syaza, ia akan satu kamar denganmu."
"Oh, iya. Baik, bos," sahut Windi.
Saat Windi hendak menutup pintu Gibran menolak "Biarkan pintunya terbuka."
Sikap Gibran membuat Windi beranggapan bahwa sang artis tak ingin ada skandal di antara dirinya dan Syaza, apalagi kepergok sedang berduaan di dalam kamar. Yang itu artinya kesempatan untuk Alpa semakin besar.
Setelah Windi dan Nuha benar-benar pergi, Gibran merebahkan diri di tempat tidur. Syaza merasa ada yang salah dengan sikap sang suami. Ia juga tak banyak bicara padanya sejak tadi. Apakah dirinya telah melakukan kesalahan?
Ia melirik Gibran "Apa dia begitu kelelahan, hingga langsung tertidur?" gumam Syaza.
Tak ingin mengganggu, ia membongkar koper Nuha dan Gibran kemudian memindahkan segala isinya ke dalam lemari yang telah tersedia.
Beberapa waktu Syaza sibuk dengan aktivitasnya, Gibran mendadak bangun dan berjalan menuju kulkas. Di sana telah tersedia minuman bersoda non alkohol. Ia menenggak minuman itu seperti orang yang tak pernah minum, habis dalam satu kali tenggakan. Lagi-lagi sikap Gibran membuat kening Syaza berkerut.
Usai membuang kaleng minuman ke dalam tong sampah, Gibran menuju pintu dan menutupnya. Ah! Ia juga menguncinya dari dalam.
"Abang ... kamu kenapa?"
Syaza sangat terkejut ketika Gibran menggendongnya ala bridal dan menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur. Gibran mengajaknya bermain panas, melepas pakaian mereka dan melemparnya ke sembarang arah.
"Abang ... ada apa?" Syaza berusaha sadar ditengah serangan Gibran yang bertubi-tubi pada bibir dan area sensitifnya.
Seolah tuli, Gibran tak menghiraukan perkataan Syaza. Ia hanya fokus pada tubuh sang istri hingga akhirnya apa yang seharusnya terjadi pun terjadi.
Di tengah pergulatan panas itu Gibran mengirim pesan pada Anton untuk mengajak Nuha bermain lebih lama. Tentu saja Anton sangat mengerti akan maksud dari pesan tersebut. Meski lelah, ia tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh bos besar.
Permainan kali ini sangat berbeda dari yang sebelumnya, terkesan kasar. Ada banyak tanda kepemilikan di tubuh Syaza yang Gibran cetak. Setelah permainan usai, Syaza sungguh nampak tak berdaya.
Gibran memakai handuk kimono usai keluar dari dalam kamar mandi, sedangkan Syaza masih berada di dalam selimut.
Manik kecoklatan itu menatap sang suami, yang kini sedang duduk di tepi ranjang. "Abang ...."
Barulah Gibran tersadar akan tindakannya "Maaf, Syaza. Abang tidak bisa menahan diri karena Alpa terlihat tertarik padamu." Sejak tadi barulah Gibran meladeni ucapan Syaza.
Rupanya pria ini sedang terbakar api cemburu. Bagaimana tidak, saat keluar dari bandara Alpa membantu Syaza membawa kopernya. Alpa juga membantu membukakan pintu mobil ketika Syaza hendak masuk ke dalam mobil. Tangannya nampak melindungi kepala Syaza ketika wanita miliknya hendak masuk ke dalam mobil, takut kepala Syaza mengenai bagian dari atap mobil. Sikap Alpa bagaikan scene dalam drama yang baru saja selesai Gibran bintangi. Alpa sebagai pemeran utama pria dan Syaza pemeran utama wanita.
Memikirkan hal itu membuat hati Gibran terbakar. Sangat ingin rasanya mengatakan kepada dunia bahwa wanita itu adalah miliknya! Istrinya! Dan ia tak boleh didekati pria lain!
Dengan tatapan lembut namun jelas terlihat sangat lelah, Syaza meletakan kepalanya di paha Gibran. "Jadi kamu bersikap seperti tadi karena cemburu. kamu bermain tak seperti sebelumnya, bang."
Menyadari ada bekas gigitan di bawah leher Syaza, Gibran langsung mengelusnya dengan sangat pelan "Maaf, sayang. Maaf."
Ia memegangi kepala Syaza dan ikut bergabung bersamanya kembali di atas tempat tidur. Berkali-kali Gibran meminta maaf, ia sungguh sangat menyesal lepas kendali kali ini. Tanpa sadar ia menyakiti wanita yang sangat ia sayangi. Meski tak berdarah, bekas gigitan itu terlihat cukup dalam.
Syaza memiliki rambut indah dengan aroma wangi, sebab ia rutin merawat rambutnya. Gibran mengusap rambut wanitanya dan kembali meminta maaf.
Tersenyum simpul, Syaza memegangi jemari Gibran pada pipinya saat ini "Aku juga minta maaf. Aku tidak peka, seharusnya aku menjaga jarak dengan pria lain."
Pelukan hangat kembali mengikat dua insan jatuh cinta ini, kecupan lembut Gibran mendarat pada kening sang istri "Setelah kupikir-pikir, aku yang terlalu pencemburu. Padahal Alpa hanya menunjukkan perhatian padamu, sedangkan kamu tidak tau apa-apa."
Begitu nyaman kehangatan yang tengah meliputi mereka, tubuh yang lelah sungguh butuh istirahat hingga tak lama kemudian Syaza dan Gibran tertidur saling berpelukan.
Sementara Nuha dan yang lainnya kembali ke restoran setelah berkeliling sekitar. Perut mereka mulai meronta, meminta untuk diisi.
Alpa menawarkan diri untuk menemui Gibran ke kamar, namun Anton lekas menyela. "Aku saja. Kebetulan dompetku tertinggal di kamar," ujarnya. Ia lekas melangkah meninggalkan mereka.
"Bagaimana dengan Syaza?" tanya Alpa menatap Windi. Begitu menarik wanita itu, rasanya Alpa ingin segera menyatakan cinta padanya. Tapi, apa itu tidak terlalu cepat? Mereka baru berkenalan beberapa jam yang lalu.
"Ah, mungkin ia sudah selesai membongkar koper. Aku akan meneleponnya." Windi segera menghubungi nomor ponsel Syaza, dan itu bertepatan dengan Anton yang juga tengah menghubungi nomor Gibran.
Dering ponsel yang menyala bersamaan mengejutkan Syaza dan Gibran. Mengetahui mereka tengah ditunggu untuk makan bersama, dua insan ini bergegas mandi.
Datang bersamaan namun dari arah yang berlawanan, Syaza membawa es krim yang sebelumnya dipesan oleh Gibran. Pria itu tau Syaza sangat ingin ikut bersama Nuha dan Windi tadinya.
To be continued ....
Salam anak Borneo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Untuk Ayah
RomanceSyaza, seorang guru TK yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Sejak kehilangan kedua orang tuanya, dia hanya memiliki seorang paman saja sebagai tempat bersandar. Keinginan hati menganggap sang paman adalah orang yang dapat diandalkan, namun say...