Chapter 11

1 0 0
                                    

Hiro bangkit menuju ruang tengah dan membuka laci televisi, mencari sebuah obat lantas kembali ke ruang makan. Tanpa mengucapkan sepatah kata ia mengambil piring kecil, membuka satu tablet obat yang diletakkan di piring itu kemudian mengisi kembali gelas Sara.

"Kau seorang dokter tapi tak pernah menjaga diri sendiri apalagi saat sakit. Wajah pucatmu tadi tak bisa tertutupi oleh make up," katanya merujuk pada penampilan Sara saat baru datang. Perempuan itu tampak memakai pewarna bibir untuk menutupi wajah pucatnya namun tak berhasil tertutupi.

"Ayah? Ayah..."

Keduanya menoleh mendengar panggilan itu. Baru saja Sara ingin bangkit, Hiro menghentikan dan menahannya. "Minum obatmu dulu." Ia menghampiri sang anak lebih dulu.

Di kamar, Sunghan melepas selimut yang membungkus tubuhnya dan mengucek mata, tampak hampir akan menangis jika saja Hiro terlambat unjuk diri. Dia sudah duduk membuktikan kesehatannya yang berangsur pulih bahkan hanya karena dekat dengan ibunya.

"Bagaimana keadaanmu, Jagoan Ayah? Masih terasa sakit atau pusing?" Ia duduk di tepi kasur, memeriksa suhu tubuh Sunghan untuk kesekian kali lalu merapikan rambutnya yang melengket di wajah.

"Masih sedikit sakit. Ayah, aku mimpi ibu datang dan memelukku."

"Oya? Apa Sunghan bisa melihat wajah ibu di mimpi itu?" Sunghan menggeleng.

"Tidak, tapi aku tahu kalau ibu sangat cantik dan penyayang. Aku rindu ibu, Ayah." Hiro membisu, tak tahu harus menanggapi seperti apa pernyataan sang anak. Hingga Sara datang di balik pintu mengalihkan atensi Sunghan. "Bibi Sara datang? Bibi! Aku rindu sekali pada Bibi!"

Hiro beranjak, memberikan ruang lebih luas pada keduanya untuk saling berpelukan yang entah keberapa kalinya. Ia beralih mengambil baju ganti untuk sang anak lalu menyodorkannya pada Sara.

"Ganti bajumu dulu, sayang."

Hiro mengulas senyum pada Sunghan. "Setelah itu makan dan minum obat, Sunghan mau melakukannya, 'kan?" Ekspresi Sunghan yang semula senang berubah begitu mendengar kata obat. Seraya membantu melepas baju sang buah hati, Sara pun ikut andil membujuk.

"Kau harus makan dan minum obat agar cepat sembuh, sayang. Apa Sunghan tak ingin menemani Bibi Sara di rumah sakit lagi?"

"Tapi aku hanya ingin bersama Bibi."

"Tentu saja, kita usir saja ayahmu jauh-jauh," kata Sara setengah bercanda. Hiro tak membalas apa-apa, meninggalkan dua orang itu dengan menyiapkan makanan untuk Sunghan, membiarkan Sara menghabiskan banyak waktu bersama sang anak. Suara tawa keduanya bahkan terdengar sampai dapur, ia yakin besok pagi Sunghan akan kembali enerjik. Kehadiran Sara sendiri telah menjadi obat bagi Sunghan.

Jika memikirkan itu semua ia tak bisa melupakan rasa sesalnya. Pada akhirnya ia menyesal dan menyalahkan diri sendiri karena tidak berhasil menjaga keluarganya. Dirinya tidak bisa menjaga istri dan anaknya sendiri sehingga Sara memilih pergi dan Sunghan kehilangan figur ibu.

Salahnya tidak berhasil membujuk Ayah untuk menerima Sara. Salahnya telah memaksakan Sara menjadi bagian paling penting dalam hidupnya hingga perempuan itu tersakiti. Salahnya tidak berhasil meredakan semua cemoohan tidak benar dan tidak berdasar orang-orang di luar sana tentang Sara. Salahnya terlalu memikirkan kebahagiaan diri sendiri dan melupakan seberapa terluka Sara.

Pada dasarnya ia adalah orang yang bersalah atas semua ini tapi Sara yang harus menerima rasa sakit itu.

Lagi-lagi Hiro kabur, tidak sanggup menyaksikan interaksi bahagia seorang ibu yang memberi makan anaknya yang begitu menyejukkan hati. Saking sejuk hati saat melihatnya sampai-sampai Hiro ingin kembali menjadi egois dan menahan perempuan itu di sisinya. Tapi tidak bisa, Sara hanya akan tersakiti jika berada di sisinya.

Nap of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang