"Ra, bangun. Kita sudah sampai."
Sara mengerjap perlahan, menemukan Hiro yang memandangnya dalam diam. Ia lantas mengikuti pria itu untuk turun dari mobil, meregangkan ototnya yang sedikit kaku, sembari menyapu pandangan.
Maniknya menemukan rumah makan. Nama rumah makan di depan membuatnya teringat kembali pada masa lalu. Meski dengan sedikit perubahan, ia kenal tempat ini. Pelayan yang datang untuk mencatat pesanan pun terlihat familiar, seperti versi lebih muda dari orang yang dulu membawa makanan. Pasti dia adalah anak dari orang itu.
"Ingin makan apa, Ra?"
"Samakan saja denganmu."
Setelah pelayan itu pergi, Sara menautkan jari-jari tangannya di atas meja, menyapu seisi rumah makan. "Sudah banyak yang berubah di sini," gumamnya membuat Hiro mengikuti arah pandangnya. "Kenapa kau bisa kepikiran untuk ke sini lagi?"
"Entahlah, ingin saja." Ada jeda beberapa detik. "Mungkin karena memori yang kumiliki tentang tempat ini indah, dan aku ingin merasakannya lagi," lanjutnya. Netra keduanya bertemu, Hiro tersenyum, namun Sara termenung.
Kendati telah berdoa agar tidak dibangunkan setidaknya untuk malam ini, kenyataan tetap menyerang. Dirinya seperti tidak diberikan kesempatan untuk mengulang keindahan kenangan yang terpatri jelas dalam ingatan. Kenyataan serta ketakutan kembali merasuk menghantui.
Pada akhirnya, keheninganlah yang setia mengisi. Kebisuan yang hanya terdistraksi akibat pelayan yang datang membawa makanan. Meski begitu, Hiro tetap melakukan hal yang sama. Secepat kilat memberi sumpit sebelum tangan Sara benar-benar meraih sumpit di tempat peralatan makan yang tersedia di atas meja. Lalu memberikan gelas yang telah diisi air.
Berbeda dari masa dulu di mana makanan tak menghentikan mereka berbicara, sekarang makanan pun tak mampu memberi keduanya kesempatan untuk bersua, melempar canda, dan berdebat kecil. Bahkan basa-basi sudah terlalu basi, hal yang dikira penting sudah habis untuk dibahas.
Jauh di dalam benaknya, Hiro menyesal mengungkapkan apa yang selama ini dirasakannya selama kepergian Sara. Karena apa yang diungkapkannya tempo lalu, perempuan ini jadi lebih banyak diam jika hanya berdua. Nyatanya sikap mereka yang biasa saja di hadapan Sandy dan Inho tidak berhasil dilakukan jika hanya berdua.
Satu hal yang Hiro sadari, kalimat Sara "tak ingin masalah itu membuat kalian berdua ikut tidak nyaman dan lebih berhati-hati" benar-benar hanya berlaku jika bersama Sandy dan Inho. Ia malah gagal mendekatkan Sara yang sudah sedikit mencair.
"Kau tidak punya sesuatu untuk dibahas?" tanya Sara tiba-tiba, membuat Hiro sedikit terkesiap. "Jika hanya diam kita namanya tidak mengulang memori masa lalu, tapi meratapinya."
Sepertinya dugaan Hiro salah.
"Aku sedikit bingung harus membahas apa," ungkapnya sembari menggaruk tengkuk.
Sara menyimpan sumpit, memangku dagu, memberikan tatapan curiga pada Hiro. "Jujur saja, kau tadi sempat pulang agar bisa berpenampilan lebih rapi, 'kan?"
"Ah itu..." Perempuan itu tersenyum melihat Hiro yang salah tingkah. "Aku bahkan memberitahu Dokter Song Yerim dan Perawat Byun Baekho agar tidak memanggil kita untuk panggilan darurat malam ini."
"Kerja bagus. Aku jadi bisa bersantai dan lebih bersenang-senang malam ini," kata dokter ahli bedah saraf itu lantas kembali mengambil sumpit. "Aku tidak suka keheningan di antara kita," ucapnya dengan pandangan yang kini telah berfokus pada makanan. "Tapi kenyataan dan ketakutan membuatku tak bisa melakukan apa-apa."
Ia terdiam mendengar lirihan itu. Ekspresi yang berusaha disembunyikan Sara membuatnya tersadar, perempuan itu sedang berdebat dengan dua suara yang saling berlawanan di kepalanya. Dua suara yang membuatnya terlihat tidak konsisten pada sikap dan tindakannya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nap of Love
RomancePada hakikatnya semesta mempunyai skenario yang paling baik untuk manusia dan selalu mempunyai caranya sendiri untuk menunjukkan bahwa manusia tidak direstui. Pada hakikatnya, cinta tidak pernah salah dalam bekerja dan menjanjikan pengganti bagi ya...