Bab 1 :: Pindah

91 11 0
                                    

Suasana malam di rumah itu sedikit tegang. Semenjak Handojo, sang kepala keluarga meminta seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang keluarga sehabis makan malam, mereka tahu, ada yang ingin ia bicarakan. Maka dari itu, sang istri, dua anak mereka serta sang adik bungsu berada di ruang keluarga sekarang.

Namun hingga lima menit kemudian, Handojo belum juga mengangkat suara. Ia terlihat bingung. Wajahnya penuh kecemasan dan keresahan. Oleh karenanya, sang istri hendak membantu. Sambil tersenyum kecil, istrinya, Hana, memancing Handojo untuk segera bicara.

"Kenapa, Mas? Pasti ada yang mau diomongin, kan? Bilang aja, nggak apa-apa. Kami sudah siap." Mata Hana melihat ke arah Renata, adik iparnya, sekilas. Renata juga mengangguk.

Sembari menghela napas panjang, akhirnya Handojo angkat suara.

"Jadi gini, kayaknya keluarga kita harus pindah secepat mungkin. Keadaan sudah tidak memungkinkan kita buat tinggal di sini lagi. Kalian sudah pasti paham, usaha kita lagi turun, pegawai banyak yang terpaksa di-phk. Omset sebulan pun nggak seberapa." Handojo diam lagi.

Dan di tengah keterdiamannya, Hana berusaha untuk menguatkan dengan mengusap lengan suaminya. Mereka sudah siap akan hal ini setelah Handojo mengatakan bisnis mereka sedang goyah satu tahun yang lalu. Mungkin sekarang adalah saatnya. Hana pun tidak masalah, selama mereka masih bisa hidup meskipun sederhana, ia tetap akan menerima. Ia paham, mereka sedang diuji sekarang.

Handojo mulai tenang. Pria berusia hampir 40 tahun itu segera melanjutkan pembicaraannya.

"Mas sudah jual rumah ini ke developer rumah beberapa hari yang lalu. Maaf Mas baru bisa bilang, keadaannya nggak memungkinkan buat Mas bilang saat itu. Hutang juga harus segera dibayar selepas rumah ini laku terjual. Jadi, mas memutuskan buat kita pindah ke rumah nenek dulu sambil berusaha buat cari usaha lain. Nggak papa, ya? Mas minta maaf."

Dengan kondisi seperti ini, tidak ada yang bisa menolak. Baik Hana, maupun Renata harus mengikuti apa yang Handojo bilang. Pun meski Handojo terpaksa, ini bukan sepenuhnya salah mereka. Usaha meubel kayu dan rotan yang sudah bertahun-tahun dijalani oleh keluarga mereka harus bangkrut dengan cara seperti ini. Persaingan bisnis yang ketat dan harga bahan pokok yang menjulang tinggi, membuat persaingan bisnis di bidang ini begitu riskan. Hingga akhirnya terjadinya seperti ini. Handojo merasa bersalah, tentu saja, tapi mereka harus tetap kuat dan berjuang di bidang lain, meskipun sulit.

"Mas, bukannya rumah nenek udah laku terjual, ya? Terus gimana kita pindahnya? Kita beli lagi rumahnya?"

Pertanyaan dari Renata membuat Handojo teringat kalau ia belum memberitahukan hal ini kepada keluarganya, khususnya Renata dan Hana yang memang tidak tahu sama sekali mengenai rumah yang akan mereka tempati itu.

"Bukan yang itu. Nenek ada rumah lagi, letaknya agak jauh. Di pedesaan. Mas juga baru tahu kalau rumah itu juga salah satu warisan nenek. Ibu bilangnya sebelum Ibu meninggal."

"Jadi yang tahu rumahnya cuma Ibu, Mas? Renata bahkan nggak tahu?" Hana yang notabene orang luar cukup terkejut mengetahui mendiang Ibu mertuanya memiliki harta warisan lain, selain yang ia ketahui.

Handojo menegakkan badan. Ia juga sebenarnya tidak yakin akan menempati rumah itu. Mengingat ia juga baru tahu kalau neneknya memiliki rumah lain yang bahkan tidak banyak dari keluarga mereka mengetahui keberadaan rumah itu. Tapi ia juga tidak memiliki pilihan lain. Jika membeli rumah lagi dari hasil menjual rumah ini, ia tidak yakin sisa uangnya bisa digunakan untuk membangun bisnis kembali. Sedangkan jika ia menempati rumah itu, sisa dari uang yang ia miliki masih bisa ia gunakan untuk membangun usaha lagi.

"Sebenarnya ini bukan warisan rumah nenek, dulu sekali, rumah ini diwariskan ke saudara tertua nenek. Karena beliau tidak memiliki keturunan, dan akhirnya rumah ini jatuh ke nenek. Nenek yang memang memutuskan untuk ikut Kakek, alhasil rumahnya digunakan sebagai vila penginapan, yang nerusin kemudian Pak De. Saat Pak De wafat, anak-anaknya nggak ada yang mau nerusin, alhasil Ibu yang pegang. Ibu cuma pegang selama dua tahun, makanya ketika sakit, Ibu baru bilang ke Mas."

Respon Hana mengangguk saja. Ia hanya ikut keputusan sang suami, mana yang terbaik, sebagai istri ia akan mengikutinya. Pandangan Hana dan Handojo lalu teralih pada Renata yang masih diam saja. Gadis itu terlihat memikirkan sesuatu.

"Vilanya Pak De, Mas?"

Handojo mengangguk. Sepertinya Hana juga tahu tentang Vila ini.

"Vila yang bentuknya rumah Belanda itu?"

Handojo mengangguk lagi. Giliran Hana yang terkejut.

"Rumah Belanda, Mas?"

"Iya. Vilanya memang bentuknya rumah Belanda. Memang tiga tahun terakhir sudah tidak ada yang menempati karena Mas juga sibuk sama bisnis kita yang waktu itu lagi naik turun, kan. Makanya Mas pengen pindah ke sana, setidaknya sisa uang dari hasil jual rumah ini dan bayar hutang, bisa mas jadikan sebagai modal untuk usaha baru. Dibanding jika beli rumah lagi, Mas pikir lebih baik begitu. Renata juga masih SMA, kan? Anak-anak masih kecil. Jadi nggak sulit buat pindah ke sana. Suasana sekitar aman, kok. Banyak tetangga juga jadi kalian nggak usah takut."

Akhirnya, Renata dan Hana setuju saja. Memang apa yang dibilang Handojo ada benarnya. Sisa uang mereka lebih baik dibuat modal usaha supaya mereka masih bisa bertahan hidup di sana.

"Kita mau pindah, Ayah?" Mata bulat menyala penuh akan pertanyaan milik sang buah hati membuat Handojo tersenyum.

"Iya, kita mau pindah ke desa. Di sana enak, banyak kebun, sawah, sungai. Kakak bisa main sepuasnya di sana."

"Hore!"

Suasana tegang dan cemas malam itu berakhir sudah. Keputusan mereka untuk pindah telah mencapai final. Baik Handojo, Hana, Retana serta anak-anak mereka mulai mempersiapkan diri untuk pindah.

***

Hingga akhirnya, mereka betulan pindah. Empat bulan kemudian, sejak percakapan awal mereka mengenai kepindahan ke rumah Belanda ini. Rumah mewah milik mereka laku terjual dua bulan kemudian. Sisanya Handojo sibuk mengurus sesuatu, mengecek rumah ini dan segala macamnya, hingga akhirnya mereka pindah hari ini.

Satu bulan yang lalu, Handojo dan keluarganya sempat ke sini untuk melihat-lihat dan mengecek bagian mana yang perlu direnovasi. Hari kepindahan mereka, masih banyak tukang yang bekerja. Renovasi belum sepenuhnya rampung tapi mereka sudah bisa menempati rumahnya. Hanya sisa belakang dan depan rumah yang belum selesai direnovasi.

Handojo tengah sibuk memperhatikan dan bertanya-tanya pada tukang terkait renovasi rumah mereka. Sedangkan Hana sibuk menyuapi anak-anaknya, Renata memutuskan untuk lihat-lihat ke dalam rumah.

Suasana sekitar betulan asri. Sejauh mata memandang hijau semua. Banyak perkebunan dan sawah. Tetangga mereka juga banyak, jarak antar tetangga tidak begitu jauh. Betul kata Handojo, tidak perlu takut. Mereka tidak sendirian di sini.

Rumah ini cukup luas kalau boleh Renata bilang. Di dalamnya ada empat kamar, dua kamar mandi, dapur yang nyaman, ruang tamu dan juga ruang keluarga yang besar. Halaman depan dan belakang yang juga luas. Tidak kalah dari rumah mereka sebelumnya. Suasananya juga nyaman. Benar-benar tidak menyeramkan seperti yang pernah ia bayangkan.

Sekarang, Renata berada di kamarnya. Setelah renovasi sederhana, yang berubah dari rumah ini hanyalah bentuk dapur dan juga perabotan rumah yang diubah dengan gaya modern. Selain bangunan luar yang memang berbentuk rumah Belanda, di dalamnya benar-benar terlihat seperti rumah modern. Kakaknya memutuskan untuk menggunakan sebagian perabotan lama dan membawa perabotan baru dari rumah lama, ada beberapa juga yang beli baru.

Ah, nyamannya. Renata harap ia betah dengan rumah ini. Dan juga kehidupan barunya di sini. Saking nyamannya, ia bahkan hampir terlelap. Namun sebuah suara keras membuatnya terbangun.

"BANGUN!"

***To be Continued***

1.173 kata.

19 Mei 2024

Abandoned House: Rumah Belanda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang