Bab 17 :: Langkah Awal

22 7 0
                                    

"Cari apa, Mas, Mbak?"

Seorang pria yang usianya tidak jauh dari mereka berdua menatap mereka dengan tatapan aneh. Seakan-akan Handojo dan Saras ingin berbuat sesuatu di sini. Namun Saras segera menepis pemikiran pria itu.

"Saya cari orang yang sekiranya bisa membuka gerbang benteng ini, apa ada di desa ini, Pak?"

Pria itu masih menatap Saras dan Handojo dengan tatapan penuh curiga. "Buat apa?"

Handojo merasa pria itu pasti salah paham. Saras dan Handojo, berdua saja sejak tadi berusaha mengelilingi benteng, mencoba masuk. Pria di depan ini pasti melihat gerak-gerik mereka sejak tadi.

"Kita berdua lagi cari sesuatu, Pak. Boleh minta informasinya? Kita ke sini bukan untuk tujuan yang tidak-tidak."

Handojo tidak bisa jujur begitu saja, yang ada malah membuat gempar seluruh isi desa ini jika ia mengatakan langsung kalau mereka berdua sedang mencari jasad manusia pada masa penjajahan.

"Ikut saya kalau begitu," sahut pria itu dengan wajah datar.

Benar-benar terlihat seperti mereka berdua telah kepergok melakukan sesuatu. Pria itu berjalan mendahului mereka, namun Handojo segera menahannya.

"Pak, naik mobil kita saja."

"Baju dan badan saya kotor."

"Nggak masalah, ayo, Pak. Biar kita lebih cepat sampai."

Akhirnya pria itu mengangguk. Sepertinya mereka berdua tidak keberatan dengan badannya yang kotor sehabis dari sawah tadi. Mereka akhirnya berangkat menuju tempat orang yang tahu informasi itu, diantar oleh pria tadi.

"Saya dari kabupaten sebelah, Pak. Ke sini mau mencari sesuatu. Kami betulan tidak sedang melakukan hal yang aneh-aneh." Handojo membuka suara. Ia tidak ingin mendapatkan persepsi yang salah.

"Benar, Pak. Ada sesuatu yang harus kami lakukan di benteng itu." Saras menimpali.

"Masnya seperti bukan orang pribumi, Masnya campuran, ya?" Si pria malah membahas hal lain.

"Nenek buyut saya orang Belanda, Pak." Pria itu menganggukkan kepala lalu diam.

Mereka akhirnya hanya diam saja sampai tiba di suatu rumah. Rumah itu ternyata tidak jauh dari letak benteng itu berada.

"Sudah sampai, Mas, Mbak. Saya kabari Bapak dulu." Pria itu kemudian masuk ke rumah itu.

Handojo dan Saras menunggu di depan mobil. Rumah ini, mirip seperti rumah-rumah yang mereka lihat sejak masuk ke desa. Rumahnya sangat mirip dengan rumah-rumah dulu, dengan jendela dan pintu khas. Bukan seperti rumah Belanda yang terkesan mewah, rumah ini biasa saja. Namun kesan tradisional dan kesan lamanya terasa sekali.

Pun bagi Saras. Di matanya, rumah ini tidak hanya rumah. Ada banyak sekali penunggu yang menatap mereka dengan tatapan merasa terganggu. Seakan waspada tingkat tinggi dengan apa yang mereka bawa, yaitu Anne.

Padahal kebanyakan dari mereka adalah hantu-hantu Belanda. Keadaannya tidak jauh dari kondisi Anne awal. Dan juga, banyak sekali tentara-tentara Belanda yang menjaga daerah ini di jalan-jalan. Saras melihat itu semua, namun karena ia membawa Anne yang notabene adalah sebangsa dengan mereka bukan berarti mereka akan bersikap ramah begitu saja. Keberadaan Anne justru membuat mereka-mereka ini lebih waspada. Seakan seperti pancingan, banyak sekali entitas-entitas yang datang, hampir membentuk lingkaran mengelilingi mereka.

Tidak lama, pria tadi kembali ke luar. Lalu mempersilakan mereka masuk.

"Ini rumah saya, yang kalian cari tadi adalah Bapak saya. Silakan masuk, kalian beruntung karena Bapak mau menyambut tamu dari luar yang tertarik pada benteng itu. Biasanya Bapak langsung menolak."

Saras dan Handojo paham. Memang tidak mudah menerima tamu asing yang tanpa tujuan jelas seperti mereka ini datang tiba-tiba. Mereka berdua melangkah masuk.

Saras cukup terkejut ketika memasuki rumah ini, seakan-akan memiliki batas yang tidak boleh dilangkahi oleh entitas-entitas di luar. Saat masuk ke dalam, hal yang pertama kali Saras lihat adalah seorang penjaga yang sudah tua, berpakaian seperti orang Jawa dengan memakai blangkon, tersenyum padanya, seolah mempersilakan Saras masuk ke rumah itu. Saras juga baru sadar, kalau Anne masih berada di luar. Dari tatapannya Saras sadar, Anne tidak diperkenankan masuk ke sini. Jadi ia menunggu di luar bersama dengan makhluk-makluk serupa.

"Ada apa kalian ke sini?" Yang pria tadi sebut sebagai Bapak akhirnya keluar.

Mereka segera bangkit berdiri dan menyalami bapak itu. Seperti gambaran di benak Handojo, Bapak ini sudah tua, mungkin umurnya sekitar tujuh puluh tahun ke atas. Namun beliau terlihat sangat sehat, badannya bugar, jalannya masih tegak dan lancar. Mungkin jika kakeknya masih hidup, beliau akan tampak seperti Bapak ini.

"Saya Handojo, Pak, dan ini rekan saya, Saras." Saras menyalami Bapak itu.

"Saya Joko." Bapak Joko mempersilakan mereka duduk. Saras dan Handojo akhirnya juga duduk.

"Sudah lama sekali saya tidak kedatangan tamu seperti ini. Apalagi yang mencari kunci pintu benteng itu. Jadi, saya tanya lagi, untuk apa kalian ke sini dan mencari cara untuk masuk ke benteng itu?"

Saras dan Handojo saling berpandangan, seolah paham, akhirnya mereka mengangguk bersamaan. Saatnya untuk jujur dan menjelaskan niat serta tujuan mereka ke sini.

"Nenek buyut saya adalah orang Belanda yang turut dihabisi tentara Jepang di benteng itu, Pak. Saya dan juga Saras, mohon ijin untuk masuk ke benteng itu demi mencari jasad nenek buyut saya yang sampai sekarang belum bisa dimakamkan dengan layak. Nenek saya ingin jasadnya dimakamkan secara layak secepat mungkin."

Bapak Joko itu terdiam, matanya termenung ke arah pintu yang sedikit terbuka. Bagi Saras, mungkin bapak itu bisa melihat yang tidak bisa terlihat oleh mata biasa. Mata bapak itu tepat mengarah ke Anne yang berada di samping mobil, dikelilingi oleh hantu-hantu yang serupa olehnya.

"Maksud kamu, wanita itu?" Pak Joko langsung menunjuk ke arah Anne.

Benar dugaan Saras, Pak Joko pasti tahu siapa yang mereka bawa. Terlihat dari penjaga yang beliau punya, Saras sudah menduga kalau beliau juga sama seperti dirinya. Sedangkan Handojo termenung, ia bingung apakah yang Pak Joko sebut adalah Anne? Jelas ia tidak bisa melihat seperti Saras, jadi ia tak tahu siapa yang beliau tunjuk saat ini. Maka dari itu, Handojo menyenggol lengan Saras, memintanya segera berbicara karena sejak tadi Saras terlihat tidak fokus.

"Benar, Pak. Wanita itu adalah sosok nenek buyut Mas Han yang sebelumnya mengganggu keluarga Mas Handojo untuk mengatakan permintaannya."

Pak Joko menurunkan tangan, sebelah tangannya teralih memegang janggut yang telah memutih itu. "Agak tidak mungkin masih ada jasad yang tertinggal, berpuluh-puluh tahun lalu saya dan kepolisian sudah mengangkut semua jasad yang tersisa di benteng itu. Tidak mungkin ada yang tertinggal."

"Saya juga tidak tahu bagaimana pastinya, maka dari itu saya dan Mas Han ingin masuk ke benteng dan segera mencari tahu kebenarannya."

Pak Joko lagi-lagi terdiam. Beliau terlihat menghela napas berkali-kali, matanya menatap lurus ke arah Anne. Sepertinya ada yang ingin beliau cari tahu melalui tatapan Anne.

"Oke, saya ijinkan kalian masuk. Tapi ada satu syarat yang harus kalian lakukan untuk masuk ke benteng itu."

~To be Continued~

1.074

4 Juni 2024

Abandoned House: Rumah Belanda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang