Bab 16 :: Mulai Bergerak

21 7 0
                                    

Keesokan paginya Handojo dan Saras sudah siap berangkat. Barang-barang yang mereka bawa hanya berupa barang-barang pribadi. Sebelum berangkat, Handojo melihat Bu Romlah terlihat melangkah ke rumahnya, maka dari itu Handojo segera menghampirinya.

"Bu, saya sudah tahu semuanya. Ada orang baik yang mau bantu saya menemukan solusi dari masalah ini." Bu Romlah mengangguk dan mengusap-usah bahu Handojo.

Bu Romlah tahu, Handojo dan keluarganya membawa seseorang ke rumah ini. Beberapa hari yang lalu, beliau sempat melihat kehadiran Saras. Bu Romlah bersyukur, rupanya ada orang yang membantu Handojo untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di rumahnya.

Saras yang melihat Handojo tergopoh-gopoh menghampiri wanita tua itu segera menghampirinya juga. Berniat memperkenalkan diri bahwa ia bukan orang yang macam-macam pada keluarga Handojo. Saras lalu meraih tangan Bu Romlah dan menciumnya. Bu Romlah pun mengusap kepala Saras. Mengucapkan terima kasih melalui elusan tangannya.

"Sosok yang menghantui saya adalah nenek saya sendiri, Bu." Handojo bercerita sedikit. Ia menceritakan secara sekilas mengenai Anne dan bagaimana latar belakang keluarganya.

Bu Romlah terkejut dan bersyukur di saat yang bersamaan. Terkejut karena rupanya Anne adalah orang terdekat Handojo sendiri yang berusaha meminta tolong keturunannya dengan caranya yaitu mengganggu keluarga Handojo. Dan bersyukur karena Saras datang menjelaskan itu semua hingga sekarang, mereka akan berangkat menuju tempat yang disinyalir merupakan keberadaan jasad Anne yang belum terkubur.

Pantas saja sosok Noni itu menghantui selama ini, karena memang tubuhnya tidak dimakamkan dengan cara yang baik. Bu Romlah akhirnya paham bagaimana cerita dari awal dan ia mulai bisa menyambungkan benang merah yang selama ini belum tersambung antara Anne si Noni Belanda dengan keluarga Handojo.

"Ya sudah, kalian hati-hati. Akan ada banyak kejadian yang mungkin akan terjadi. Jangan lupa banyak berdoa dan meminta petunjuk serta kemudahan dari yang atas. Doa kami pasti menyertai dari sini. Berangkatlah kalian."

Setelah menyalami Bu Romlah lagi, Handojo kembali masuk ke dalam rumah. Dan Bu Romlah pun kembali ke rumahnya. Handojo belum sempat berpamitan dengan istri dan anak-anaknya, sementara Saras menunggu di luar. Ia tidak ingin mengusik keintiman keluarga itu.

Beberapa saat kemudian, Hana dan anak-anaknya keluar, turut mengantar kepergian Handojo dari rumah mereka. Saras juga menyalami Hana dan anak-anaknya.

"Berangkat ya, Mbak."

"Hati-hati, Saras. Jaga diri. Tolong kembali dengan selamat." Saras mengangguk.

Handojo kembali memeluk istri dan anak-anaknya. Sayang sekali Renata sudah berangkat sekolah. Namun pagi tadi sebelum ia berangkat, baik Saras maupun Handojo sudah berpamitan dan meminta Renata untuk ikut menjaga kakak ipar dan keponakannya. Saras tentu saja menanggapi, ia tidak punya pilihan lain untuk menolak dan mendoakan keberhasilan kakaknya mengabulkan permintaan Anne.

Dan akhirnya, mereka berangkat juga.

***

Handojo yang menyetir. Ia tidak bisa membiarkan Saras mengambil alih kendaraan seperti sekarang. Fokus Saras hanya untuk menemukan lokasi benteng itu.

"Anne juga ikut, Mas."

Handojo mengangguk. Itu sudah pasti, Handojo yakin Anne ikut untuk mengetahui secara langsung bagaimana proses mereka mencari makamnya.

Jarak antara benteng itu dengan rumah tidak begitu jauh, tapi Handojo tak tahu kendala apa yang akan menanti mereka di depan. Ia pun paham, membantu Anne tidak akan semudah kelihatannya, pasti akan banyak sekali rintangan yang terjadi di depan. Semoga ia dan Saras bisa mengatasi itu semua.

Dan mengingat kalau ini adalah misi menemukan jasad nenek buyutnya sendiri membuat Handojo merasa sedih. Mengapa kejadian seperti ini harus terjadi pada keluarganya. Seperti memang takdir, Anne pergi dari rumah itu namun keturunannya tetap memiliki rumah yang memang seharusnya menjadi milik mereka sejak awal. Permainan takdir antara mereka memang tragis sekali.

"Saya nggak tahu akan terjadi apa beberapa jam ke depan, tapi saya harap kamu dan saya tetap kuat menjalaninya, Saras." Handojo berpesan.

"Pasti, Mas. Sudah jadi pilihan saya sejak awal membantu keluarga Mas Han dan juga membantu Anne. Ini bagian dari pekerjaan saya juga, jadi saya nggak akan menyerah begitu saja."

Namun bayangan-bayangan kisah hidup Anne masih menghantui Saras. Akan jadi seperti apa benteng yang telah merenggut ribuan nyawa itu? Akan sekelam dan semenyesakkan apa ketika Saras datang ke sana? Belum sampai saja Saras sudah ingin menangis. Ia masih mengingat setiap detail kejadian, bagaimana perempuan-perempuan tidak bersalah dijadikan sebagai objek pemuas nafsu. Tidak berdaya, tidak kuasa melawan, hingga akhirnya tewas begitu saja seolah nyawa bukanlah apa-apa bagi mereka. Termasuk yang terjadi pada Anne.

Dan akhirnya, Saras kembali menangis. Ia tidak bisa membendung air matanya mengingat kepedihan itu. Kisah yang tidak semua orang tahu bagaimana kelamnya.

Melihat Saras yang menangis, Handojo menyodorkan tisu, yang segera diambil olehnya. "Kenapa, Ras?"

"Nggak papa, Mas. Saya masih ngerasa emosional. Tapi tenang aja, saya akan berusaha sebisa mungkin menahan emosi saya ketika sampai di sana."

Handojo tidak bisa melakukan apapun untuk menghibur wanita itu. Ia tidak bisa melewati batas.

***

Hingga dua jam kemudian, mereka sampai di desa tempat di mana benteng itu berada. Jalanan tidak macet dan bisa dikatakan lancar. Kini saatnya mencari keberadaan benteng itu.

Desa ini cukup asri. Kalau boleh Saras deskripsikan, desa ini masih asri. Ada banyak pepohonan sepanjang jalan, rumah-rumah yang terlihat jarang dan memiliki halaman yang luas. Ada beberapa rumah Belanda yang terbengkalai namun masih banyak juga rumah Belanda yang berpenghuni. Ada banyak persawahan dan juga perkebunan yang mengelilingi desa. Hampir mirip dengan desa rumah Handojo tapi yang ini bisa dibilang dulunya adalah perumahan orang Belanda. Saras bisa melihat ada banyak sekali orang Belanda yang tinggal di sini pada masanya. Maka dari itu banyak sekali rumah-rumah Belanda yang kosong, ada juga yang berpenghuni.

"Di depan belok kiri, Mas." Handojo mengiyakan.

"Lurus aja sampe mentok, kayaknya Bentengnya ada di gang buntu. Di sini ngga ada keterangan ada rumah lagi." Handojo mengangguk.

Dan sampailah mereka di tempat ini. Benteng Belanda itu sangat besar, pantas saja tidak ada rumah di sekelilingnya, sepertinya banyak sekali orang-orang sini yang lebih menghindari tempat ini. Setelah masuk ke desa, benteng ini terlihat seperti berdiri sendiri. Tidak ada satu pun rumah di sekelilingnya, ada sih, tapi rumah itu berjarak sekitar 500 meter dari benteng ini berada. Di belakang benteng, terhampar sawah yang luas.

Handojo dan Saras segera keluar dari mobil dan memperhatikan sekeliling benteng. Benteng ini sangat besar, di luarnya terdapat pagar yang menjulang tinggi, disertai kawat-kawat berduri di bagian atasnya. Handojo dan Saras pergi ke depan gerbang, gerbang itu terkunci. Lalu mereka berpisah, berusaha mengelilingi benteng, mencari celah supaya mereka bisa masuk. Namun, setelah berkeliling baik Handojo maupun Saras tidak menemukan celah satu pun. Pagar benteng ini cukup tinggi dan tidak ada satupun celah dari pagar. Malah di bagian belakang, tumbuh semak belukar yang tingginya hampir mencapai tinggi benteng.

Tidak bisa, mereka tidak bisa masuk sekarang. Mereka perlu orang yang bisa masuk ke tempat ini. Dilihat dari bangunannya yang cukup terawat, baik Handojo maupun Saras yakin, pasti ada orang yang bertugas untuk menjaga, merawat dan membersihkan benteng ini.

"Cari apa, Mas, Mbak?"

~To be Continued~

1.110 kata

3 Juni 2024

Abandoned House: Rumah Belanda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang