Bab 24 :: Pergi Dengan Tenang

28 6 0
                                    

"Kamu masih bisa lihat mereka?"

Melihat respon Renata yang terlihat terkejut, Saras sudah menduga hal ini. Apalagi Renata yang memang sejak awal Anne perlihatkan wujudnya, Renata juga sempat mengalami kesurupan, Saras pernah mendengar cerita ini dari Handojo. Dan meskipun  semuanya telah berlalu, masih ada hal-hal yang tertinggal, termasuk yang terjadi pada Renata. Kalau Bintang, bisa dibilang karena ia masih kecil. Anak kecil memang rentan sekali melihat hal-hal yang demikian dan bisa tertutup sendiri seiring bertambahnya usia.

Nah, pada Renata sedikit berbeda. Hal-hal yang tertinggal dari semua kejadian ini adalah Renata yang menjadi lebih sensitif seperti biasa. Oleh karenanya, Saras mengajak Renata untuk membicarakan ini lebih dalam. Maka dari itu, tinggallah mereka berdua sekarang, di kamar yang Saras tempati.

"Selama saya dan Mas Han tinggal, kamu lihat apa saja?" Saras bertanya dengan nada lembut, ia ingin membuat Renata nyaman berbicara dengannya.

"Yang di ruang tamu, kadang di halaman, kadang di sekolah juga." Renata menjawab pelan.

"Nggak papa, habis ini saya coba tutup, ya, pengelihatan kamu. Pasti dua hari belakangan ini kamu tersiksa melihat hal-hal yang aneh." Renata mengangguk. Memang benar, ia tersiksa saat melihatnya. Renata takut, tapi jika ia menunjukkan rasa takutnya, mereka semakin berani mendekat. Renata tidak sanggup rasanya jika harus terus menerus melihat hal-hal seperti ini ke depannya.

Maka dari itu, Saras mencoba untuk membantu menutup mata sensitif Renata. Dengan cara yang pernah ia pelajari dari mendiang sang kakek, Saras melakukannya pada Renata. Lalu menyuruh gadis itu untuk memejamkan matanya, sementara ia merapalkan cara-caranya. Cara ini memang tidak akan langsung bekerja begitu saja, bertahap tapi pasti hasilnya.

Semoga seterusnya, Renata tidak lagi bisa melihat mereka-mereka. Karena Saras paham betul bagaimana tersiksanya ketika harus melihat hal-hal seram yang tidak diinginkan. Namun bagi Saras sekarang, semua yang dimilikinya, termasuk kelebihan ini adalah berkat dari Tuhan yang wajib ia syukuri.

***

Tiba di hari Anne akhirnya dimakamkan. Tiga hari belakangan, Handojo cukup sibuk. Ia bolak-balik ke sana kemari mengurus berkas-berkas dan administrasi kematian Anne, dan juga sibuk menyiapkan pemakaman Anne. Sesuai kesepakatan awal, Anne dimakamkan di desa ini. Seolah seperti takdir, meski sempat terpisah sekian puluh tahun, Anne akhirnya kembali ke tanah kelahirannya, ke tanah di mana ia dibesarkan dengan penuh kasih sayang, meskipun mereka keluarganya berada di sini sebagai pihak yang tidak diinginkan oleh pribumi pada masanya.

Pemakaman sudah siap, lubang makam sudah digali, ambulans datang tepat waktu. Karena agama yang Handojo dan Anne anut berbeda, Handojo akhirnya memutuskan untuk memakamkan Anne sesuai dengan kepercayaannya. Akhirnya, peti mati itu diturunkan ke liang lahat.

Ada beberapa orang yang hadir di pemakaman Anne. Handojo sekeluarga, tentu saja. Ada Saras, Bu Romlah dan anaknya Bu Siti, tetangga-tetangga mereka dan juga aparat desa setempat. Seolah anggota keluarga mereka sendiri yang wafat, semua yang hadir menunduk dengan khidmat. Mengantarkan Anne untuk kali terakhirnya, berharap semoga setelahnya Anne bisa pergi dengan tenang. Meski bedanya tidak ada air mata yang tumpah ruah di tanah itu, semuanya menunduk merasakan kesedihan.

Terutama bagi Handojo dan keluarga, juga Saras yang memang mendampingi mereka dari awal hingga Anne benar-benar ditemukan. Rasa sedih, penyesalan, rasa bersalah, rasa kasihan bercampur menjadi satu. Andai kata juga masih berada dalam benak, andai saja Anne ditemukan lebih cepat, dan tubuhnya dikubur dengan layak sebagaimana mestinya, ia mungkin tidak akan pernah menjadi sosok menyeramkan yang pernah meneror keluarganya sendiri demi bisa dimakamkan dengan layak.

Bagi Saras yang melihat semua kejadian tragis itu, dadanya sesak. Apalagi ketika melihat peti mati itu masuk ke dalam liang lahat dan perlahan tertutupi oleh tanah. Butuh banyak perjuangan bagi Anne untuk sampai pada tahap ini, padahal harusnya ia sudah lama pergi. Sementara, sosoknya masih ada di saja, menatap dengan tatapan yang entah apa artinya pada peti matinya sendiri. Sosok yang tidak Saras lihat selama tiga hari belakangan, muncul di pemakamannya sendiri. Sungguh, miris rasanya.

Mata Saras dan Anne bertemu beberapa detik, sebelum akhirnya sosoknya hilang begitu saja tanpa Saras paham apa arti tatapannya.

***
Saatnya untuk Saras kembali. Berada kurang lebih satu minggu di rumah ini membuat Saras mendapatkan banyak sekali pelajaran hidup. Kisah Anne akan selamanya berada dalam ingatan. Saras tidak ingin menghapus pengelihatan tragis itu, ia ingin tetap ingat betapa kejam dan menyeramkannya pada masa itu.

Selain pada Anne, Saras juga berterima kasih pada Lizbeth, gadis itu sangat membantu Saras pada saat-saat terakhir. Semoga ia dapat pergi dengan tenang setelah selesai dimakamkan.

Kini saatnya Saras benar-benar pamit pulang.

"Saras, saya terima kasih banyak. Berkat kamu, saya bisa memakamkan Anne, nenek buyut saya dengan tepat."

Saras memeluk satu per satu anggota keluarga itu sebelum masuk ke mobilnya.

"Saya juga makasih banyak, Mas, Mbak, atas pengalamannya, pelajaran hidupnya dan juga bayarannya." Semua yang ada di sana tertawa lebar. Saras bisa melihat seolah ada beban yang terlepas di antara tawa itu.

"Makasih banyak, ya. Kapan-kapan kita ketemu lagi, nanti saya dan keluarga yang akan ke tempat kamu." Giliran Hana yang kini memeluk Saras erat.

Pelukan terakhir akhirnya selesai, Saras masuk ke dalam mobil, melambaikan tangan sekali lagi sebelum akhirnya melajukan mobilnya. Saras masih tersenyum lebar sampai spion mobilnya tidak lagi bisa melihat keberadaan keluarga Handojo.

Lalu senyumnya luntur, digantikan decakan kesal. Selalu seperti ini dalam perjalanan pulang, pasti ada saja yang ikut dalam mobilnya di belakang sana. Yup, benar. Penghuni ruang tamu rumah Handojo. Salah Saras malah menawarinya untuk pindah tempat.

Jangan jauh-jauh nanti saya nggak bisa pulang.

***

Bagi Handojo, selesai pemakaman Anne adalah hal yang paling melegakan dalam hidup. Seolah ia telah selesai mengangkat beban berat yang selama ini berada di pundak. Sudah tidak ada lagi hal-hal yang menyeramkan terjadi pada keluarganya, sebelum pulang juga kemarin Saras telah melakukan pembersihan pada rumah ini sekali lagi dan memberitahu keluarganya beberapa cara untuk memagari rumah dari hal-hal negatif seperti itu.

Handojo sekarang tengah bersantai di ruang keluarga bersama istri, anak-anak dan adiknya. Mereka memutuskan untuk tidak mengadakan pengajian, mengingat keyakinan antara Anne dan dirinya berbeda. Namun Handojo tetap mendoakan Anne kapanpun ia mengingatnya, sama seperti yang ia lakukan pada mendiang orang tua dan juga keluarga lainnya.

Saat sedang lelah-lelahnya Handojo tidak sengaja tertidur dan saat membuka mata, ia melihat sosok wanita Belanda dengan rambut blonde panjang sepinggang, menggunakan dres bermotif bunga berwarna kuning. Wanita itu tersenyum lebar padanya dan meminta Handojo untuk duduk di sebelahnya. Wanita yang Handojo yakini sebagai Anne itu mengusap wajahnya, lalu menepuk-nepuk kepalanya dengan lembut, penuh kasih sayang. Hampir sama seperti yang selalu ia rasakan saat ibunya masih ada.

"Saya berterima kasih banyak sudah mau menguburkan saya dengan layak." Wanita itu berbicara dengan lembut.

"Saya juga minta maaf, kalau cara yang saya lakukan untuk meminta kalian melakukan hal itu buat kamu dan keluargamu takut. Itu satu-satunya cara supaya kamu tahu saya ada di sana, minta tolong supaya saya bisa pergi dengan tenang." Elusan pada kepalanya masih berlangsung, namun wanita itu tiba-tiba memegang tangannya dan mengelusnya dengan lembut.

"Sekarang, saya bisa pergi dengan tenang. Keluarga saya sudah menjemput." Anne kemudian menunjuk tiga orang yang berada tidak jauh dari tempat mereka duduk.

"Yang tinggi, kakak saya, dua orang lainnya orang tua saya. Mereka juga keluargamu, Hans. Saya lebih suka panggil kamu Hans, mirip seperti nama Ayah saya." Anne lalu bangkit dari duduknya, dan melangkah perlahan dari hadapan Handojo.

"Hans, saya pergi dulu. Terima kasih banyak, semoga kalian selalu bahagia dan mendapat perlindungan Tuhan."

Lambaian tangan Anne bersama keluarganya adalah hal yang terakhir ia lihat sebelum Handojo benar-benar membuka matanya.

~To be Continued~

1.225 kata

11 Juni 2024

Abandoned House: Rumah Belanda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang