Bab 5 :: Bertemu Dia

26 9 0
                                    

Kejadian semalam sungguh luar biasa. Kendati tidak mengalami langsung apa yang dialami Hana sang istri dan adiknya, Handojo tidak bisa untuk tidak percaya. Jika sebelumnya mungkin Handojo akan berdalih dengan mengatakan itu hanya perasaan mereka atau imajinasi mereka saja, namun kali ini berbeda. Melihat Hana yang jatuh terduduk dengan wajah pucat dan derai air mata, juga melihat Renata dan anak-anaknya menangis keras seperti semalam, Handojo percaya kalau yang mereka lihat sungguh nyata.

Memang ada yang tidak beres dari rumah ini.

Maka dari itu pagi sekali baik Hana dan Handojo sibuk menyiapkan barang-barang yang akan digunakan untuk pengajian. Ia bahkan mengundang Ibu Romlah dan anaknya, Ibu Siti untuk turut serta membantu-bantu demi kelancaran acara pengajiannya.

Ibu Romlah yang memang sudah lama sekali membantu keluarga Handojo menjaga dan membersihkan ini paham apa yang sedang terjadi pada keluarga Handojo.

"Kedatangan tamu ya, Mas, semalam?" Handojo yang sedang menyapu halaman rumah seketika terdiam.

Darimana Bu Romlah tahu hal itu?

"Nggak usah takut, Mas. Memang dari dulu sudah ada di sini, kok. Maklum karena rumahnya udah lama nggak ditempati, jadi mereka merasa terganggu ada manusia datang dan menempati rumah ini." Bu Romlah berlalu begitu saja tanpa sempat menunggu Handojo membalas ucapannya.

Apa iya seperti itu? Rasa-rasanya mereka tidak hanya menganggu. Apalagi baik Hana maupun Renata kompak memberitahu kalau sosok itu memang menunggu kedatangannya. Ada yang aneh dari situ. Jika memang hantu itu terganggu dengan kehadirannya dan keluarga, harusnya ia marah karena mereka menganggu kediamannya. Tapi hantu ini malah mengatakan kalau mereka menunggu kedatangannya.

Handojo menggelengkan kepalanya lagi. Tidak boleh percaya pada omongan makhluk seperti itu. Mereka adalah makhluk pembohong dan pembangkang yang tidak patut dipercayai omongannya. Kemudian Handojo melanjutkan pekerjaannya.

Semoga setelah pengajian nanti, rumahnya kembali aman dan tentram. Karena mereka tidak bisa pergi ke mana pun lagi selain ke rumah ini. Uang sisa menjual rumah sudah ia jadikan sebagai modal membangun bisnis perkebunan tidak jauh dari sini. Menujual rumah ini rasanya tidak mungkin mengingat almarhum Pakdenya pernah mencoba menjual namun tidak pernah laku hingga mendiang sang ibu yang mengambil alih.

***

Akhirnya pengajian dimulai. Begitu lantunan ayat suci menggema ke seluruh penjuru rumah, ibu-ibu dan para tetangga sibuk mempersiapkan makanan yang akan disajikan. Beberapa di antaranya seperti biasa, sibuk membicarakan manusia lainnya.

"Tapi emang aneh sih, Bu. Salut sama Pak Handojo sekeluarga yang masih mau nempatin rumah yang hampir terbengkalai ini. Ya, pantas saja banyak setannya. Kan sudah nggak pernah ditempati."

"Ya, namanya juga lagi kepepet kali, Bu. Ini kan satu-satunya warisan dari Ibuknya, daripada beli rumah lagi kan mending nempatin rumah ini. Tapi berarti rumornya bener ya, Bu, kalau rumah ini banyak hantunya. Hi, serem."

"Loh, ya, jelas, Bu. Masa nggak ditempati sekian tahun bersih dari gituan. Nggak mungkinlah, Bu. Rumah Ibu-Ibu sekalian juga pasti ada itunya, kan? Cuma ya nggak keliatan aja."

"Bisa aja Ibu ini bercandanya."

Renata yang berada tidak jauh dari mereka mendengar semua yang mereka katakan. Namun beberapa saat kemudian, canda tawa yang terlontar dari ibu-ibu itu berubah menjadi teriakan.

"Kalian ngomongin saya, ya? Hihihihi." Suara yang entah berasal dari mana itu menggema. Membuat serempak ibu-ibu yang tadinya tertawa berubah menjadi teriakan keras.

Sebagian dari mereka bahkan lari terbirit-birit begitu mendengar suara lengkingan tawa yang entah berasal dari mana itu.

"Astaghfirullah, Ya Allah. Allahu Akbar." Ibu-ibu yang masih bertahan tidak henti-hentinya mengucap istighfar.

Handojo, Hana dan Renata menghampiri ibu-ibu tadi. Sebagian masih menutup mata mereka sembari mengucapkan istighfar.

"Kenapa, Bu? Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa, fokus sama pengajian aja sana." Bu Romlah yang saat itu juga ada di sana berusaha menenangkan Handojo dan keluarga.

Hana dan Handojo kembali lagi ke depan. Sisa Renata yang masih ada di sana. Berhubung beberapa ibu-ibu tadi pergi meninggalkan rumah mereka. Renata berniat ikut membantu menyiapkan makanan.

"Kalian ini kebiasaan! Di rumah orang bukannya menjaga sopan santun, malah bersikap sembarangan. Sudah tahu keluarga ini mengalami hal yang nggak mengenakkan kalian malah mengolok-olok. Itulah balasannya!" Bu Romlah mengomel.

Berhubung Bu Romlah adalah salah satu orang yang dihormati di kampung ini, Ibu-Ibu yang tersisa diam tak berkutik. Jelas di sini mereka yang salah. Wajar saja jika penghuni rumah ini juga tersinggung karenanya.

"Sudah, sudah. Cepat selesaikan! Jangan bikin malu warga sini di hadapan tetangga baru. Memalukan!"

Dengan segera, mereka melaksanakan apa yang Bu Romlah perintahkan.

***

Selepas pengajian, Handojo bisa sedikit bersantai. Dari apa yang Bu Romlah sampaikan sesaat setelah pengajian selesai membuatnya sedikit kepikiran. Bisa-bisanya ibu-ibu yang ikut membantu pengajian ini juga kena ganggu hantu sialan itu.

Handojo sedikit tidak habis pikir. Ia kira dengan terdengarnya lantunan ayat suci ke seluruh penjuru rumah ini membuat mereka takut dan segera pergi. Tapi apa tadi, makhluk-makhluk itu masih saja menganggu.

Bikin nambah kerjaan saja.

Handojo masih belum bisa istirahat dengan tenang. Setelah pengajian selesai dan rumah mereka juga sudah kembali bersih seperti semula, Handojo masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan terkait bisnis barunya dengan masyarakat sekitar. Ia perlu membahas usaha barunya ini dengan petani atau perkebunan sekitar agar mereka mau ikut kerja sama.

Hana dan Renata sepertinya sudah masuk kamar masing-masing. Anak bungsunya juga tadi sedikit rewel. Mungkin lelah karena sejak tadi berlarian ke sana kemari. Anak sulungnya juga sudah terlelap sejak satu jam yang lalu, Handojo bisa sedikit lega mengerjakan pekerjaannya dengan tenang.

Di tengah ketenangan dan keheningan. Hanya ada suara ketikan tangan Handojo di laptop lama miliknya. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara lain selain suara keyboard. Demi menajamkan pendengarannya, Handojo menghentikan tangannya. Suara itu semakin jelas, seperti suara gaun berat yang terseret.

Dengan pelan ia menoleh ke arah ruang tamu. Suaranya berasal dari sana. Belum sempat Handojo memperhatikan suara dan apa gerangan yang ada dibaliknya. Tiba-tiba ia dihadapkan dengan sesosok wanita berambut panjang, dengan gaun putih dan bercak darah di mana-mana. Handojo berkeringat, ia merinding sekujur badan. Tapi bukan berarti ia harus takut dan takluk menghadapi makhluk seperti ini.

"Siapa kamu?! Untuk apa kamu ke sini?!" Sosok wanita itu melangkah mendekati Handojo.

"Saya menunggu kamu." Suaranya lirih. Seperti tercekat dan hendak menangis.

"Untuk apa kamu menunggu saya?!" Suara Handojo meninggi. Ia takut, tapi ia tidak boleh kalah menghadapinya. Ia laki-laki dan Handojo-lah yang harus melindungi keluarganya dari makhluk seperti ini.

"Karena hanya kamu yang bisa."

"Bisa apa? Saya bisa apa?!"

Wanita itu tiba-tiba mendongak. Matanya menatap tepat ke mata Handojo. Senyumnya menyeringai sampai-sampai Handojo bisa melihat betapa buruknya wajah itu.

Handojo benar-benar merinding. Ia tak bisa bergerak, namun wanita itu semakin berjalan ke arahnya. Hingga akhirnya, wajah wanita itu tepat berada di depannya.

"KUBURKAN SAYA!"

Lalu setelahnya, sosok itu menghilang.

~To be Continued~

1.090 kata

23 Mei 2024

Abandoned House: Rumah Belanda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang