Bab 20 :: Pintu Terbuka

18 7 0
                                    

Mengetahui Saras yang tiba-tiba ambruk di belakangnya, Handojo panik seketika. Ia memapah setengah tubuh Saras agar bersandar padanya, sembari menepuk-nepuk pipi Saras berulang kali, berharap wanita itu segera sadar. Pak Joko dan juga Andik ikut panik, mereka membantu Handojo memegangi Saras agar seluruh tubuhnya tidak menyentuh lantai benteng yang kotor.

"Ada yang masuk. Sepertinya Saras lengah tadi." Pak Joko menghentikan Handojo yang masih berusaha menyadarkan Saras.

"Kalau seperti ini, kita tidak bisa melakukan apa pun selain menunggu Saras sadar dengan sendirinya." Ucapan Pak Joko selanjutnya membuat Handojo berhenti menepuk pipi Saras.

Mereka akhirnya memutuskan untuk menunggu Saras bangun dengan masih menyangga tubuh Saras agar tidak sepenuhnya menyentuh lantai yang kotor ini.

***

Berbeda dengan mereka, Saras di alam bawah sadarnya tersadar kalau ia tiba-tiba mendapatkan pengelihatan masa lalu. Kali ini Saras sadar, bukan Anne yang membawanya ke sini. Sudut pandang kali ini berbeda dengan biasanya. Saras pun berada di tempat yang berbeda dari sebelumnya.

Di tengah kebingungannya, Saras tiba-tiba melihat sesuatu. Di matanya sekarang, ia melihat banyak sekali mayat yang bergelimpangan dalam satu ruangan. Benar-benar tidak ada satu pun manusia yang hidup di sana. Dan mayat-mayat itu dibiarkan begitu saja, meskipun tentara-tentara keji itu berkali-kali melewatinya. Namun, ada satu hal yang janggal. Saras melihat ada satu gadis yang masih hidup di antara mayat-mayat itu.

Gadis itu, hampir sama kondisinya dengan Anne saat baru tiba di sini. Tangan dan kakinya terikat, tapi matanya tidak tertutup. Rambutnya diikat namun sudah acak-acakan. Dilihat dari baju yang ia pakai, sepertinya gadis itu tidak lama dibawa ke sini.

Saras melihat gadis itu bangkit dari posisi tidur, meski dengan tangan dan kaki teringat. Ia terduduk di antara mayat-mayat gadis lain yang bergelimpangan. Melihatnya membuat dada Saras sesak. Kekerasan dalam penjajahan seperti ini membuatnya sangat bersyukur keadaan sekarang jauh lebih baik.

Gadis yang tidak Saras ketahui namanya itu memperlihatkan wajah datarnya yang menatap lurus ke depan. Tidak ada emosi yang ia perlihatkan, namun jauh dilubuk hatinya, ia merasa benci dan dendam pada tentara-tentara itu. Saras sendiri tidak tahu berapa lama ia melihat gadis itu hanya terpaku ke depan, sebelum akhirnya ia melihat rombongan tentara Jepang itu datang, membawa satu per satu mayat dari ruangan itu tanpa peduli pada sang gadis yang masih hidup. Seakan gadis itu tidak terlihat di sana.

Dan pengelihatannya beralih fokus pada tentara-tentara yang sedang membawa satu per satu jenazah korban kekerasan mereka. Hingga akhirnya, mata Saras menangkap satu pemandangan yang tidak asing. Di antara banyaknya tentara yang ada, Saras melihat tubuh Anne di sana. Mereka membawa  mayat-mayat itu ke arah yang berbeda. Seolah sengaja agar tidak diketahui banyak orang.

Saras ingin berlari menghampiri tubuh Anne yang sudah kaku itu dibawa ke mana, namun tubuhnya tidak bisa bergerak. Saras hanya bisa terdiam melihat semuanya terjadi, namun ada satu hal yang pasti, tentara itu membawa Anne ke sebuah ruangan dengan pintu berwarna merah, pintu itu terkunci sebelumnya, mereka membuka pintu menggunakan kunci sebelum akhirnya masuk dan hilang dari pandangan Saras.

Setelahnya, Saras kembali fokus pada gadis yang masih terdiam itu. Namun tepat di saat mayat terakhir yang ada di ruangan itu dibawa, sang gadis beringsut maju dengan gerakan pelan, ia berada di dekat pintu yang masih terbuka, lalu setelahnya gadis tanpa nama itu berteriak.

"BAJINGAN GILA! MANUSIA BIADAB! MATILAH KALIAN DI NERAKA!"

Suara gadis itu menggelegar ke seluruh penjuru ruangan. Membuat tentara-tentara yang entah berjumlah berapa orang itu berbondong-bondong masuk dan mengangkat senapan. Beberapa detik kemudian, gadis itu jatuh terduduk bersimbah darah.

Gadis itu kehilangan nyawa, dalam sekejap.

"Saya hanya bisa membantu itu, tubuh saya ada bersama gadis yang kamu cari." Suara itu yang terakhir Saras dengar sebelum membuka mata.

***

Akhirnya Saras membuka mata juga, terhitung 15 menit Saras pingsan. Di detik ia membuka mata, wajah-wajah khawatir Handojo, Pak Joko dan juga Andik berubah menjadi raut wajah lega. Saras segera bangkit terduduk, sedikit menjauh dari Handojo yang tadi memegangi tubuhnya. Agak tidak enak karena Saras tiba-tiba merepotkan.

"Saras, ngga papa?" Handojo menatapnya khawatir. Jelas, siapa yang tidak khawatir kalau Saras tiba-tiba pingsan seperti tadi padahal sebelumnya baik-baik saja.

"Saya nggak papa, Mas. Tadi ngga sengaja masuk karena saya kurang nahan." Pak Joko menepuk bahu Saras, dari raut wajahnya seolah mengisyaratkan kalau tidak apa-apa dan tidak masalah. Kejadian seperti ini pasti mungkin terjadi.

Saras bangkit berdiri, diikuti oleh lainnya. Sembari menepuk-nepuk celana dan bajunya yang kotor, Saras kembali meninjau ruangan sekitar tempatnya berdiri. Ia telah menemukan petunjuk besar keberadaan Anne. Namun tidak tahu pasti di mana tempatnya selain ruangan dengan pintu berwarna merah.

"Pak, apa di sini ada ruangan dengan pintu berwarna merah?" Saras segera bertanya pada pak Joko terkait ruangan itu.

"Kamu sudah mendapatkan petunjuk?" Saras mengangguk. Hanya itu yang ia dapatkan.

"Saya cuma liat pintu itu, Pak."

Pak Joko melangkah terlebih dahulu, tanpa mengucapkan apa-apa, diikuti oleh lainnya. Tidak ada yang berbicara di antara mereka. Suasana kembali serius. Handojo dan Andik di belakang bertugas memegangi senter. Kali ini Handojo harus fokus, ia tidak boleh terkecoh oleh beberapa bayangan yang sejak tadi lewat, seolah-olah mengikuti rombongan mereka. Mata Handojo juga fokus ke depan, berusaha sebisa mungkin menahan rasa takutnya meskipun merinding sekujur badan. Apalagi sejak awal masuk matanya mulai melihat hal yang aneh-aneh.

"Mas, fokus, ya. Jangan terpengaruh sama yang terlihat mata." Andik berbisik. Sepertinya ia paham sejak tadi Handojo sudah untuk fokus.

Mereka terus melangkah tanpa berbicara mengikuti Pak Joko yang juga diam saja. Sejak tadi, suara yang terdengar hanyalah suara langkah kaki mereka. Meskipun beberapa di antara mereka juga mendengar suara-suara lain, termasuk Saras dan juga Handojo. Namun mereka tetap fokus, Saras juga fokus menatap ke depan tanpa terpengaruh oleh suara-suara yang lewat setiap kali mereka melewati ruangan-ruangan itu.

Hingga beberapa saat kemudian, Saras sudah melihat sebuah ruangan dengan pintu berwarna merah yang catnya sudah memudar. Memang benar, hanya ini satu-satunya ruangan yang memiliki pintu berwarna merah, persis seperti yang digambarkan saat ia pingsan tadi.

"Pintu ini?" Saras mengangguk.

Pak Joko berbalik badan, beliau menengadahkan tangan pada Andik. Andik yang paham segera mengeluarkan kunci yang beliau minta.

"Semua pintu di wilayah ini memiliki kunci. Jaga-jaga agar tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab."

Butuh waktu lima menit untuk Pak Joko membuka pintu itu. Suara pintu terbuka terdengar, Saras segera berbalik badan sembari menutup telinga dan mata. Di matanya tepat ketika pintu terbuka, seperti ada banyak sekali orang-orang keluar dari pintu itu, seolah memang  menunggu waktu yang tepat untuk keluar.

~To be Continued~

1.075 kata

7 Juni 2024

Abandoned House: Rumah Belanda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang