Setelah mendapatkan kejadian mengerikan semalam, Handojo tidak bisa tidur. Meskipun Noni itu tidak lagi muncul bahkan sampai pagi tiba, ia tetap tidak bisa memejamkan matanya. Rasa was-was selalu menghantui Handojo. Setiap kali hendak memejamkan matanya, wajah Noni tadi menghantui isi kepala, Handojo sampai pening mengingat kembali kejadian semalam.
Pantas saja Hana dan Renata menjerit begitu keras. Ternyata si Noni memang menyeramkan. Kendati tidak bisa tidur, ia kembali melakukan rutinitasnya setiap pagi, menyapu halaman. Ada banyak daun-daun kering berserakan karena halaman rumah ini memang banyak sekali pepohonan. Tidak heran jika dulu orang-orang menganggap rumah ini seram. Karena jika tidak Handojo dan keluarganya tempati, rumah Belanda peninggalan neneknya ini akan tertutupi oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Seperti biasa, Handojo melihat anggota keluarganya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Renata yang belum masuk sekolah, sedang membantu menyuapi keponakannya. Hana juga sedang sibuk di dapur membuatkan sarapan untuk mereka semua. Handojo pun tidak berniat untuk menceritakan kejadian semalam kepada mereka. Lebih baik ia simpan sendiri daripada membuat keluarganya takut.
"Mas pagi-pagi sudah sibuk sekali." Suara Bu Siti yang menghampirinya sembari menggendong sang anak.
Handojo tersenyum sopan. Bu Siti dan Bu Romlah adalah orang yang sangat berjasa dalam membantu keluarganya mengurus rumah ini.
"Semalem aman, Mas?"
Dengan senyum mengembang Handojo mengangguk. "Aman, Mbak. Setelah pengajian Alhamdulillah lebih baik."
Ah, padahal ia berbohong. Lebih baik apanya, semalam ia justru melihat dengan mata kepalanya sendiri seperti apa sosok itu.
Lalu Bu Siti berlalu. Ia pamit mau menyuapi anaknya. Handojo juga menghela napas lega, setidaknya ia tidak perlu berbasa-basi dan berbohong lagi.
Namun tidak lama, giliran Bu Romlah yang datang. Kali ini dengan wajah tidak ramah.
"Kamu diganggu, kan, semalam?"
Handojo terkejut. Lagi-lagi, Bu Romlah seperti tahu sesuatu mengenai rumahnya.
"Iya, Bu. Saya juga nggak ngerti kenapa Noni Belanda itu ganggu saya dan keluarga. Apa ada hubungannya dengan rumah ini?"
Bu Romlah terlihat sedang termenung. Handojo tidak bisa menebak apa yang sedang wanita tua itu pikirkan. Ia selalu tidak bisa tertebak.
"Pergi dari sini, Handojo. Saya tidak bisa memberikan solusi lain selain pergi dari sini. Ada sesuatu yang saya juga tidak mengerti. Tapi yang pasti, kehadiran keluargamu membangkitkan dendam sosok itu. Ia pengen sesuatu, tapi saya juga tidak tahu itu apa."
Ini salah satu hal yang sempat Handojo pikirkan, tapi tetap tidak bisa ia laksanakan.
"Saya nggak bisa pergi dari rumah ini, Bu."
"Tetap saja, kamu dan keluarga harus pergi secepatnya kalau ingin selamat. Hanya itu yang bisa saya kasih tahu."
Bu Romlah kemudian pamit pergi.
Dan tersisa Handojo dengan beban pikiran yang semakin menambah. Ia tidak bisa untuk tidak memikirkan ini semua. Termasuk teka-teki kedatangan sosok Noni Belanda yang entah berasal dari mana. Setahu Handojo, tidak pernah ada kejadian aneh selama rumah ini dipegang Pakde ataupun Ibunya. Kenapa baru sekarang ia mengalami itu semua?
***
Malam kembali datang dengan cepat. Handojo masih disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan yang ia kerjakan sebelum benar-benar terjun ke lapangan. Hana sibuk membersihkan dapur setelah memasak dan mereka makan malam. Renata bermain bersama Kirana, anak bungsu Handojo. Bintang, si sulung tengah bermain di ruang keluarga, bersamaan dengan Renata dan Kirana. Keluarga ini melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan di rumah lama.
Saat Handojo sibuk dengan pekerjaannya, tentu ia tidak bisa memperhatikan sang anak dengan cermat. Ia sempat melihat Bintang pergi dari ruang keluarga, menghampirinya sebentar. Anak cowok pertamanya itu mungkin sedikit bosan dengan mainannya, lalu menghampiri Handojo untuk melihat pekerjaan bapaknya. Anak itu memang begini kalau sedang bosan.
Handojo masih berusaha memperhatikan Bintang yang duduk tidak jauh darinya, lalu kembali fokus pada laptop. Namun tanpa sadar, ia mendengar Bintang seperti berbicara dengan seseorang. Handojo memilih tetap fokus pada pekerjaan dan mengira Bintang berbicara dengan ibunya.
Biarlah, kalau memang seperti itu.
"Ih, kamu dari mana? Kok baju kamu basah? Tapi basahnya merah." Bintang yang tidak mengerti apa-apa, berbicara pada sosok yang berada di depan pintu.
Sosok itu perlahan mendekat ke arahnya. Cantik. Bintang melihatnya begitu cantik. Tapi rambutnya basah. Baju putihnya pun basah, dengan air berwarna merah.
Basah dengan darah.
"Kamu mau ganti baju? Mama punya banyak baju. Atau mau pinjam baju Ate Ata?" Bintang masih berbicara, tapi sosok itu diam saja.
Ia malah duduk di samping Bintang dan mengusap kepalanya pelan. Bintang masih menatap sosok itu dengan mata beningnya. Di matanya, wanita ini sangat cantik, seperti yang ada di TV. Bintang sering melihat wanita cantik di TV, seperti Tante di depannya.
"Rambut aku jadi basah. Ate nggak dingin? Aku suka main mobil-mobilan, tapi Ate Ata sukanya main boneka. Kamu mau main sama aku?" Wanita di depannya itu mengangguk lalu tangan pucatnya meraih sebuah mobil kecil itu dan tanpa sengaja menjatuhkannya.
Sontak membuat Handojo menoleh ke arah Bintang. Ia terkejut anaknya tiba-tiba menjatuhkan mobil mainannya padahal sejak tadi anteng bermain di sofa, tidak jauh darinya.
"Ate suka warna apa?"
Seketika Handojo terdiam. Ia berhenti menatap laptop lalu beralih menatap sang anak, yang sejak tadi ia pikir sedang bermain bersama ibunya atau Renata. Tapi ternyata Bintang sendiri. Lalu sejak tadi, Bintang mengobrol dengan siapa?
Handojo masih memperhatikan.
"Ate kok diam aja?" Bintang kembali berbicara. Sendirian. Sembari menatap ke arah samping seperti sedang mengobrol dengan seseorang.
Handojo merasa baru sadar. Anaknya sendiri, entah dengan siapa.
"Hei, hei! Ngobrol sama siapa kamu?" Suara Handojo entah kenapa tiba-tiba meninggi. Ia teringat dengan wanita Belanda semalam.
Pasti dia. Tidak mungkin yang lain.
"Bintang, kamu ngobrol sama siapa?" Handojo bangkit lalu menghampiri Bintang.
Bintang langsung menoleh ke samping lalu menunjuk sampingnya.
"Siapa itu?"
"Ate cantik."
Handojo merinding sekujur badan.
Benar Noni Belanda itu pelakunya.
"Tante cantik siapa?"
Handojo berada di depan sang anak, ia mensejajarkan tingginya dengan tinggi Bintang. Meski bergetar, ia meraih tangan Bintang. Perasaannya tidak karuan.
"Nggak tau. Tante cantiknya masuk dari pintu. Terus ke sini, main sama aku." Bintang masih terlihat ceria.
Itu berarti apa yang Handojo lihat semalam bukanlah yang dilihat Bintang. Sosok yang sama, dalam wujud yang berbeda.
"Terus tantenya di mana sekarang, hm?" Handojo takut, tapi tetap saja ia tidak boleh kalah. Sekarang bukan saatnya ia takut menghadapi hal seperti ini.
"Di belakang Ayah."
Dari ujung rambut, hingga ujung kaki Handojo bergetar.
Ia tidak mau menoleh dan jangan sampai menoleh. Yang ia tatap hanyalah mata Bintang dan wajah cerah sang anak yang tidak terlihat takut sama sekali.
"AKU MINTA TOLONG! AKU MINTA TOLONG! AKU MINTA TOLONG! AKU MINTA TOLONG! AKU MINTA TOLONG! AKU MINTA TOLONG! AKU MINTA TOLONG! AKU MINTA TOLONG."
Suaranya tepat berada di belakang telinga Handojo.
~To be Continued~
1.065 kata
24 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Abandoned House: Rumah Belanda ✔️
Terror(SELESAI) Handojo yang bangkrut, terpaksa memboyong keluarganya pindah ke rumah Belanda peninggalan neneknya. Sehari setelah pindah, muncul Noni Belanda yang selalu menghantui mereka. Mulai dari yang ringan, hingga menyerang fisik. Handojo akhirnya...