Bab 9 :: Dia Tidak Hilang

27 6 0
                                    

Renata terkejut. Ia memundurkan langkahnya sampai menabrak meja rias di belakangnya. Namun setelahnya, tidak ada apa-apa. Renata tidak mendengar suara-suara aneh itu lagi. Cermin di depannya kembali normal.

Melihat kondisi yang kembali normal, Renata segera melangkahkan kaki keluar kamar. Selain rumah ini, yang tidak beres adalah kamarnya. Padahal sudah seminggu lebih tidak ada apa-apa di rumah ini. Tidak ada lagi hal-hal menyeramkan, lalu kejadian tadi kembali datang.

Renata jadi tidak tenang.

Namun ia tidak ingin sang kakak menjadi khawatir dan akhirnya suasana di rumah kembali runyam. Sepertinya lebih baik Renata diam.

"Persiapannya aman?" Hana bertanya saat Renata akhirnya menunjukkan wajahnya ke ruang makan.

"Aman, Mbak. Aku berangkat sendiri aja, Mas. Sekolahnya deket juga," kata Renata sembari duduk di samping kakak iparnya.

"Yakin nggak papa?"

Renata mengangguk. Toh memang tidak masalah. Sekolahnya kurang lebih 400 meter dari rumah. Bukanlah jarak yang jauh untuk berjalan kaki. Ia beberapa hari lalu juga sempat ke sana bersama sang kakak untuk mengurus administrasi. Jadi ke sekolah sendiri saat ini bukanlah masalah.

***

Renata ternyata tidak sendiri berjalan kaki. Ada banyak sekali murid-murid sekolahan sini yang berjalan kaki. Apalagi letak sekolah baik SD, SMP, maupun SMA berdekatan, jadi banyak sekali anak sekolah berjalan kaki.

Syukurlah Renata tidak sendiri.

Sampai di sekolah, ada beberapa murid yang menyapanya dan dengan sopan bertanya apakah ia murid baru, Renata juga menjawab dengan sopan kalau ia memang anak baru. Sepertinya suasana menyenangkan di sekolah baru akan membuat Renata betah.

Sesaat setelah masuk kelas dan memperkenalkan diri, Renata yang ternyata duduk sendiri di belakang, seperti melihat sesuatu yang aneh. Di barisan belakang seperti dirinya, Renata melihat salah satu siswi tengah terduduk dengan wajah telungkup di meja. Persis seperti siswi-siswi yang sedang lelah dan ingin istirahat sebentar. Menurutnya, itu agak aneh karena ini masih begitu pagi dan siswi itu terlihat tidak bersemangat sekolah.

Kemudian Renata kembali fokus pada papan tulis, ia menyimak guru di depan yang sedang menerangkan materi. Namun saat ekor matanya melihat ke samping, siswi itu tidak ada. Dan bangku yang ia lihat tadi terisi tiba-tiba kosong begitu saja.

Kapan keluarnya? Renata bertanya dalam hati.

Renata kembali fokus pada pelajaran, seseorang tiba-tiba ada di sampingnya. Duduk dengan posisi yang sama persis seperti siswi yang ia lihat tadi. Belum sempat Renata mencerna apa yang tengah terjadi, wajah siswi yang tadinya tidak terlihat kemudian terangkat sedikit. Ia memperlihatkan wajahnya dengan posisi kepala masih di atas meja.

"Aku dulu juga sekolah di sini. Kelasku juga di sini."

Siswi itu ... Noni Belanda yang pernah ia lihat wujudnya di rumah. Dengan wajah yang sama persis hanya saja ia tengah memakai seragam, yang kalau Renata amati lagi, seragam yang dipakai memang berbeda dari seragam biasanya.

Renata segera memejamkan matanya. Tubuhnya kaku, tidak bisa bergerak namun bergetar, merinding sekujur badan.

"Kamu takut, ya? Hihihihi." Renata masih memejamkan matanya. Ia tidak ingin menatap wajahnya yang menyeramkan itu.

"Kuburkan aku, kalau kamu tidak ingin lihat aku lagi." Suara itu lirih, berbisik tepat di belakang telinganya. Renata masih terdiam dengan mata terpejam, tangannya dengan erat menggenggam bulpen sebagai pelampiasan dari rasa takutnya.

"Renata? Renata?" Seseorang memanggilnya. Suaranya berbeda dari yang tadi.

Maka dari itu Renata memberanikan diri membuka matanya. Ternyata hampir seluruh penghuni kelas ini menoleh ke arahnya.

"Kenapa Renata?"

"Ah, nggak papa, Bu. Tadi ada laba-laba, saya takut laba-laba soalnya." Terpaksa Renata berbohong. Tidak mungkin bukan Renata mengatakan kalau ia baru saja melihat hantu Noni Belanda penghuni rumahnya di sini.

"Baiklah, fokus lagi, ya."

Dalam hati Renata berdoa semoga tidak ada lagi gangguan dari makhluk itu, ini masih pagi dan mereka sudah mulai menampakkan diri.

***

Berbeda tempat, di rumah, dengan Handojo yang masih di sibukkan oleh beberapa pekerjaan. Selain mengurusi usaha barunya, Handojo juga disibukkan dengan sisa pekerjaan lamanya yang belum selesai. Ia masih berusaha menjual meubel yang tersisa. Handojo yang merasa rumahnya sudah aman dari berbagai macam gangguan makhluk halus itu, kini tidak lagi berpikiran yang aneh-aneh.

Rumahnya sudah aman, jadi ia tidak perlu khawatir berlebihan. Saat fokus pada pekerjaannya, Handojo melihat setiap sudut rumah. Benar bukan, sekarang sudah tidak ada lagi yang aneh-aneh. Handojo harap pun begitu.

Hingga beberapa saat kemudian, Handojo dikejutkan dengan suara pintu tertutup yang begitu kencang. Ia yang tengah berada di ruang keluarga, memutuskan untuk memeriksa keluar, barangkali angin kencang membuat pintu rumahnya tertutup dengan sendirinya.

Namun saat dilihat, ternyata tidak ada angin kencang. Handojo bahkan sampai  menatap pepohonan di depan selama beberapa detik, memastikan pengelihatannya benar. Dan memang, pohon-pohon itu hanya bergerak sedikit. Tidak ada indikasi ada angin kencang. Handojo memutuskan untuk menghiraukan kejadian tadi dan fokus pada pekerjaannya.

Selang beberapa lama, tidak ada hal aneh-aneh yang terjadi. Namun beberapa saat setelahnya, Handojo mendengar suara hentakan kaki, seperti ada seseorang yang tengah meloncat-loncat. Sedikit terganggu dengan suara yang ia kira adalah Bintang, anak pertamanya yang memang suka meloncat-loncat, Handojo  berteriak kecil.

"Hei, jangan lompat-lompat."

Hening. Tidak ada balasan, sedetik kemudian, suara itu kembali terdengar.

Belum sempat Handojo kembali protes, istrinya datang dari dapur. "Kenapa, Mas?"

"Bintang suruh jangan loncat-loncat. Suaranya ganggu."

Hana mengernyitkan dahi. Siapa yang loncat-loncat?

"Bintang lagi tidur siang, Mas. Anak-anak udah tidur siang dari setengah jam yang lalu. Nggak ada yang loncat-loncat."

Handojo seketika terdiam. Badannya sedikit gemetar. Lalu siapa?

"Mas denger tadi, kok."

"Mas ini ada-ada aja. Orang dari tadi cuma kedengeran suara aku masak."

Handojo tidak salah dengar kok. Ia jelas mendengar suara seseorang melompat-lompat. Tapi belum sempat Handojo menerka-nerka suara siapa yang ia dengar, suara loncatan itu makin lantang terdengar.

Dan yang ia lihat adalah sesosok manusia dengan balutan kain kafan putih sedang bergerak ke arahnya dengan melompat-lompat. Ini masih siang tapi jelas sekali yang ia lihat adalah pocong.

"ASTAGHFIRULLAH!" Handojo berteriak lalu melempar bantal sofa di sampingnya ke arah sosok itu berada.

Dan seketika sosoknya menghilang, meninggalkan bau yang sangat tidak sedap. Kalau boleh Handojo deskripsikan baunya seperti bau sampah yang sudah membusuk bercampur dengan aroma-aroma busuk lainnya, ditambah bau kemenyan. Membuat pusing dan mual siapa saja yang menciumnya termasuk Handojo.

Seketika Handojo sadar, kalau rumahnya tidak lagi aman. Beberapa hari belakangan yang ia rasa rumahnya aman dan damai ternyata hanyalah sementara. Rumah ini benar-benar butuh penangan orang ahli. Hingga kemudian, muncul satu nama yang mungkin bisa membantu Handojo mengamankan rumah ini dari berbagai macam gangguan makhluk halus.

~To be Continued~

1.045 kata

27 Mei 2024

Abandoned House: Rumah Belanda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang