Bab 18 :: Mulai Melangkah

22 7 0
                                    

"Oke, saya ijinkan kalian masuk. Tapi ada satu syarat yang harus kalian lakukan untuk masuk ke benteng itu."

Syarat? Dalam bayangan Handojo, Pak Joko memberikan syarat kepada mereka berupa ritual-ritual tertentu untuk masuk ke benteng itu. Semacam ritual untuk masuk ke tempat-tempat suci. Apakah benar seperti itu? Handojo juga tidak tahu, itu hanya bayangannya saja. Apalagi saat ia menatap mata Pak Joko, tatapan serius beliau membuat Handojo mati kutu. Ia tak tahu apa yang beliau inginkan dari tujuan mereka.

Berbeda dari bayangan Handojo, Saras sama sekali tidak dapat menebak apa yang bapak tua di depannya ini inginkan. Handojo dan juga Saras sudah berkata jujur, beliau juga mungkin melihat Anne di luar sana. Tidak mungkin hal yang aneh-aneh bukan? Bahkan saat tatapan mereka bertemu untuk beberapa detik, Saras masih belum bisa mendapatkan jawaban yang setidaknya mendekati.

"Syaratnya apa, Pak?" Handojo lebih dulu bertanya, rupanya ia juga tidak sabaran.

"Kalian masuk ke sana saat fajar tiba." Pak Joko hanya menjelaskan itu. Sampai beberapa detik mereka berdua menunggu penjelasan, tidak ada lanjutan dari beliau.

"Kalau boleh tahu kenapa kami harus masuk saat fajar, Pak?" Kini giliran Saras yang bertanya.

Barangkali memang ada sesuatu yang harus mereka lakukan saat fajar itu, yang membuat mereka bisa masuk ke dalam sana. Meskipun sebenarnya, Saras agak tidak percaya dengan apa yang ia persepsikan dalam kepalanya sekarang.

"Tidak ada alasan. Hanya saja, jika kalian masuk hari ini, sebentar lagi sudah gelap. Mencari jasad tidak bisa dilakukan dalam rentang waktu yang pendek. Kalian membutuhkan waktu yang lama jika memang benar ada jasad di sana."

Kalimat terakhir yang Saras dengar, adalah kalimat keraguan. Jelas pak Joko mengutarakannya karena beliau ragu alasan yang mereka berikan tadi adalah benar. Saat Saras menoleh pada Handojo, sepertinya laki-laki itu juga berpikiran yang sama. Handojo duduk semakin tegak, tanda ia sedang gusar dan ingin segera mendapatkan jawaban.

Namun belum sempat Handojo bertanya, Pak Joko segera melanjutkan perkataannya. "Benar, saya tidak bisa percaya begitu saja dengan alasan yang kalian buat. Sudah banyak orang-orang yang datang ke sini, bilang kalau ada kerabatnya yang jasadnya masih tertinggal di sana, taunya sedang mempraktikkan hal-hal klenik. Saya tidak suka tempat itu dijadikan sebagai tempat menyalurkan atau melakukan kegiatan ilmu hitam. Tempat itu sudah saya jaga sejak dahulu, dari kakek saya, turun ke ayah saya dan saya juga turut menjaga tempat itu. Tidak bisa dilakukan hal-hal aneh seperti itu."

"Kami tidak berbohong, Pak. Bapak bisa lihat sendiri apa yang kami bawa di depan sana." Saras segera menyela. Ia sedikit tidak terima dianggap sebagai bagian dari mereka-mereka itu.

"Saya tahu. Karena kalian membawa dia, saya berani mengijinkan kalian untuk masuk. Tinggal kalian buktikan saja kebenaran alasan kalian berdua besok, baru saya bisa percaya. Untuk malam ini, menginaplah di sini. Saya sudah siapkan dua kamar tamu di belakang sana. Sebentar lagi istri saya datang, kalian tenang saja. Saya bukan penipu."

Pak Joko lalu bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Handojo dan Saras yang masih menggebu-gebu karena tidak dipercaya begitu saja. Walaupun sebenarnya itu adalah reaksi yang wajar jika memang banyak sekali oknum-oknum nakal yang mempraktekkan hal-hal klenik di tempat yang tidak tepat.

Tepat setelah lima menit Pak Joko meninggalkan mereka, anak Pak Joko yang tadi mengantarkan mereka ke rumah ini keluar. Mengantar mereka ke tempat penginapan. Melalui tatapan, Handojo dan Saras seolah sepakat menyetujui hal itu. Mereka sudah jauh-jauh kemari, tidak mungkin dibatalkan begitu saja.

"Tenang aja Mas, Mbak, menginap di sini tidak dikenakan biaya."

Perkataan pria itu sontak mencairkan suasana tegang di antara mereka. Saras saja sampai tertawa.

***

Sejak adzan subuh berkumandang, baik Handojo dan Saras telah siap-siap di kamar masing-masing. Mereka berkomunikasi melalui ponsel, Saras meminta Handojo untuk menyiapkan beberapa helai kain kafan yang mereka beli dalam perjalanan kemarin untuk membungkus jasad Anne yang nanti akan mereka temukan. Saras juga mengatakan pada Handojo jangan lupa membawa peralatan lengkap seperti senter, sarung tangan, sekop kecil, dan kuas juga cangkul yang akan mereka pinjam pada Pak Joko. Karena menurut Saras, jika memang jasad Anne ada di sana, kemungkinan besar tulang belulangnya sudah hancur, atau mungkin jika masih ada, tertimbun oleh tanah. Saras sendiri juga tidak tahu, apakah jasad Anne ini akan ditumpuk dengan korban lainnya atau tidak.

Handojo sudah siap dengan semua perlengkapan di tas. Semalam ia hanya bisa tertidur sebentar, Handojo terbangun saat merasakan ada seseorang yang mengelus rambutnya, ia sangat terkejut saat membuka mata melihat sosok wanita Belanda yang tengah tersenyum sembari mengusap rambutnya. Sejak terakhir kali melihat Anne, Handojo tidak tahu bagaimana rupanya, makanya ia kira yang di depannya adalah hantu lain penunggu rumah ini.

Namun ternyata itu adalah sosok Anne, setelah mengatakan kalau ia Anne, sosok wanita Belanda itu menghilang dan tidak lagi terlihat sampai saat ini. Handojo bahkan tidak bisa tidur lagi setelahnya.

Begitu keluar kamar, Handojo bersamaan dengan Saras. Wanita itu juga telah siap dengan perlengkapannya. Mereka sama-sama membawa tas. Hari masih gelap, namun pak Joko dan anaknya yang baru Handojo ketahui namanya adalah Andik juga telah siap. Andik membawa cangkul yang ia minta semalam.

"Jangan pakai mobil, kita jalan saja. Menghindari warga-warga yang curiga. Kali ini, saya belum meminta ijin pada warga, namun saat betulan ada jasad di sana, saya akan segera melapor pada warga dan juga polisi setempat."

"Kenapa harus polisi, Pak?"

"Prosedurnya sudah begitu sejak dulu, Mas. Polisi nanti yang akan membantu mengangkut dan membawa jasad yang sudah jadi tulang belulang ke ahlinya untuk diperiksa sebelum nanti diserahkan kembali ke pihak keluarga." Andik menjelaskan pada Handojo dan juga Saras.

"Memang agak ribet ngurusnya, tapi lebih baik begitu daripada dicurigai yang nggak-nggak."

Mereka kemudian berangkat menuju benteng dengan berjalan kaki. Sepuluh menit kemudian, mereka sampai. Pak Joko memerintahkan semuanya untuk berdoa menurut keyakinan masing-masing sebelum mulai membuka gerbang. Seperti yang pak Joko katakan selama perjalan, doa adalah hal yang paling penting sebelum melakukan apa pun dan di manapun.

Gerbang benteng setinggi tiga meter itu akhirnya terbuka. Menimbulkan bunyi khas, seperti dalam film-film horor kalau boleh Handojo bilang. Begitu melangkah masuk, Handojo terperangah, ia takjub akan kemegahan benteng ini. Di luar terlihat seperti benteng yang tidak dirawat dan dipenuhi oleh semak belukar. Namun ternyata di dalam tidak, memang halamannya dipenuhi oleh rumput, tapi rumput itu masih terlihat tertata rapi, seolah-olah memang ada orang yang rajin membersihkan.

"Saya dan anak saya memang rutin membersihkan benteng ini seminggu sekali, Mas, Mbak. Kami tidak dibayar sepeser pun, kebiasaan yang sudah turun temurun akan saya teruskan ke anak cucu saya nanti. Ini tanda bakti saya pada mereka yang membantu keluarga saya sejak dahulu." Handojo mengangguk paham.

Berbeda dari Handojo yang tengah sibuk mengagumi kemegahan benteng ini dan pengorbanan pak Joko dalam merawatnya, Saras masih terkejut akan energi yang ada di sana. Energinya cukup kuat, mungkin jika tidak Saras tahan ia akan pingsan detik itu juga. Makhluk-makhluk seperti Anne mulai datang mendekat, sebagian berada di dalam, melihat mereka dengan mata menyala.

Saras seketika merasa pening.

~To be Continued~

1.147 kata

5 Juni 2024

Abandoned House: Rumah Belanda ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang