"Shasa tembus." Ucap Bela pelan.
"Iya." Angguk Erina yang juga ingat kemarin Shasa sempat bilang dirinya sedang datang bulan.
Bhima tanpa banyak kata langsung membopong Shasa ke ruang kerjanya. Setelah Bela dan Erina sibuk menutupi celana Shasa yang terdapat bercak darahnya.
"Shasa lagi haid?" Tanya Bhima memastikan sesampainya di ruang kerja.
"Kemarin sih katanya gitu." Jawab Bela.
"Pake ini ya biar nggak ke sofa?!" Timpal Erina sembari sibuk menggelar kardigannya di atas sofa.
"Iya." Angguk Bhima.
Tapi ditunggu beberapa waktu Shasa belum juga sadarkan diri padahal Bhima sudah mencoba memancing dengan sedikit mengoleskan minyak kayu putih di sekitar indera penciuman Shasa. Yang ada wajah Shasa semakin memucat.
"Kita bawa ke rumah sakit." Putus Bhima yang benar-benar khawatir itu.
Ia pun segera menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja kerjanya sesaat sebelum kembali membopong Shasa menuju mobil yang terparkir di dekat pos security kafe.
"Gi, titip kafe. Saya ke rumah sakit dulu." Pesannya pada Yogi yang mengantar ia hingga mobil.
"Iya, Pak. hati-hati."
"Bhim, kita ikut." Ujar Erina dan Bela nyaris bersamaan.
"Iya, ayo."
Erina dan Bela ikut masuk ke dalam mobil. Bhima memposisikan Shasa senyaman mungkin di bangku depan, tepat di sampingnya. Sandarannya sengaja agak ia turunkan. Sedang dua sahabat Shasa duduk di bangku penumpang belakang. Bhima langsung tancap gas ke rumah sakit terdekat.
***
Aji yang semenjak tadi gelisah itu pun memutuskan jam istirahat makan siang nanti, ia akan menyambangi Kafe Batas Kota. Sungguh ia tidak tenang semenjak tadi.
"Ji..." Sapa Rini saat panggilannya pada sang adik terhubung.
"Iya, Teh."
"Ibu udah telepon kamu belum?"
"Belum. Kenapa?"
"Ibu kehabisan uang katanya. Minta ditransfer."
"Heh?!"
"Mintanya ke Teteh tapi Teteh nggak pegang uang lagi, abis kemarin. Mana mau tahun ajaran baru, Teteh harus persiapan buat sekolah anak-anak Teteh juga sekarang-sekarang ini."
"Ya sama, kan Aji juga mau nikah. Lagian perasaan kemarin kita udah patungan banyak buat bekal Ibu."
"Kurang katanya. Ibu pengen beli oleh-oleh. Lagian kamu nikah biasa aja jangan pengen mewah-mewah, sayang. Lagi zaman susah uang gini, jangan hambur-hamburin uang buat pesta pernikahan yang wow. Mending buat modal usaha atau beli rumah kek."
"Iya. Lagian Ibu suka ada-ada aja. Udah gitu, nggak usah beli oleh-oleh segala. Kalau pun mau belinya di sini aja. Sama kok."
"Lha namanya juga oleh-oleh, beda kali, Ji. Beli di sana mah kerasa oleh-olehnya, di sini mah nggak. Lagian Ibu berpikirnya belum tentu bisa balik ke sana lagi mungkin."
"Ya tapi gimana, Aji nggak ada uang."
"Masa bertahun-tahun kerja di perusahan gede nggak bikin tabungan kamu gendut?!"
"Ya kan Aji juga punya kebutuhan lain."
"Jangan bilang uang kamu habis gara-gara hobi Shasa yang suka jalan-jalan terus." Tuding Rini.
"Nggak."
"Udah ahh kamu transfer Ibu ya?! kasian." Tutup Rini.
Aji mendesah. Ia mendadak kesal. Kemarin ia ikut menyumbang uang untuk bekal sang ibu. Selain itu acara pengajian kemarin murni ia yang biayai. Dan sekarang ia harus mentransfer uang untuk ibunya. Bukan perhitungan tapi uang Aji sedang terbatas di saat ia juga tengah menghadapi hari pernikahannya dengan Shasa.
Aji menyugar rambutnya sembari mengirim sejumlah uang melalui mbaking.
Ya sisa segitu doang. Cukup buat bikin acara apa kadarnya aja ini mah. Batin Aji sembari menghela nafas kasar sesaat setelah mengintip sisa saldo di tabungannya.
***
"Nya, lu suka juga ya sama Bhima?!" Todong Cindy. "Jujur deh sama gue."
"Kalau emang iya?!"
"Lu?!" Cindy melotot. "Lu kan tau gue suka Bhima, kenapa lu juga ikutan suka?! Padahal udah gue wanti-wanti lu buat nggak ikut suka dia."
"Lu juga tau gue suka Aji tapi lu malah kegirangan pas tau Aji mau nikah sama Shasa. Bhima available kan posisinya. Yaa udah..." Anya angkat bahu. "Lagian lu nggak bersyukur banget, udah ada Doni yang cinta lu, kok masih mau ngejar-ngejar cowok yang nggak jelas kayak Bhima."
"Nggak jelas gimana? Bhima jelas kok. Dan dia juga kayaknya suka sama gue cuma segan sama Doni. Buktinya dia mau bawain kue ulang tahun gue waktu itu. Dan masa lu lupa?! dia sampai bela-belain hampirin gue buat kasih selamat lagi dan minta maaf nggak bisa ikut gabung karena ada bosnya. Udah deh lu nggak usah macem-macem."
"Lu kayaknya amnesia?! Bhima gitu karena dia dimintai tolong dan gue yang ngomong sama dianya."
"Lu apa sih?!"
"Ya udah gini aja. Gue deketin dia, lu mau ikut deketin silakan. Tapi kalau salah satu dari kita berjodoh sama dia, gue harap kita sama-sama nerima dan nggak ngerusak pertemanan kita."
"Oke." Angguk Anya yang merasa yakin bisa mendapatkan Bhima.
***
Aji mengedarkan pandangan. Sepi tidak ada aktivitas yang lain selain tamu kafe yang datang benar-benar untuk makan siang. Aji melangkah lebih dalam lalu duduk di salah satu meja.
"Siang, Pak." Sapa seorang pramusaji yang familiar pastinya dengan Aji. Bagaimana tidak, Aji pelanggan tetap kafe.
"Kalau nggak salah harusnya ada yang syuting video promosi ya hari ini?"
"Iya."
"Udah selesai?"
"Sudah."
"Dari kapan?"
"Sekitar setengah jam yang lalu."
"Pak Bhima ada?" Aji menyelidik karena ia tidak melihat laki-laki itu.
"Pak Bhima kebetulan sedang keluar kafe." Mendengar itu Aji mengatupkan rahang.
"Sendiri atau sama yang tadi syuting video?" Cerca Aji.
"Pak Bhima lagi ke rumah sakit."
"Siapa yang sakit?"
"Teh Shasa tadi pingsan." Jawab pramusaji karena selain familiar pada Aji juga tidak asing pada sosok Shasa yang ia tahu dekat dengan Bhima maupun tamu kafe di hadapannya kini.
"Shasa pingsan?" Aji terperanjat, ia segera berdiri dari posisi duduknya.
"Iya."
"Dibawa ke rumah sakit mana?"
"Kasih Bunda kayaknya, Pak."
Aji segera berlalu. Ia percepat langkahnya kembali ke area parkir. Sha, kamu kenapa? Jangan-jangan keracunan makanan. Batin Aji yang teringat cerita Shasa dirinya hendak mempromosikan makanan yang merupakan menu baru Kafe Batas Kota.
***
Lama Shasa berada di ruangan instalasi gawat darurat sampai akhirnya seorang suster keluar dan menghampiri Bhima, Bela dan Erina yang tengah duduk dengan gelisah di ruang tunggu.
"Suami Ibu Shasa?!" Tanyanya pada Bhima yang mana tadi sempat melihat Bhima membopong Shasa masuk ke ruang IGD.
Ya saking panik dan khawatir, sesampainya di area parkir Bhima langsung membopong Shasa begitu saja menuju ruang instalasi gawat darurat tanpa bantuan siapa pun.
Bukan hanya Bhima yang tercengang tapi juga Bela dan Erina. Bahkan keduanya langsung saling lirik.
"Suami Ibu Shasa?!" Kembali suster mengulang pertanyaannya karena Bhima yang terpaku tanpa suara. Tanpa yang lain sadari kini Aji sudah berdiri tidak jauh dari mereka. Dan secara otomatis ia mendengar apa yang diucapkan oleh sang suster. "Dokter mau bicara." Sambungnya.
"Saya, Sus." Sahut Aji lantang sembari berjalan menghampiri. Bhima seketika menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Lelakimu
RomanceJangan bermain api jika tidak mau terbakar. Mungkin itu pepatah yang cocok untuk Bhima dan Shasa. Karena permainan mereka, mereka akhirnya terlibat dalam masalah hati. Shasa pun harus memilih antara Aji, tunangannya atau Bhima yang tidak lain adalah...