Bilik-bilik bambu di ruang pribadi Jan, kembali bersaksi atas kekacauan yang diperbuat sang ibu. Bahkan tanah yang berperan sebagai lantai dalam ruang sederhana itu, harus rela mendapat beberapa kali hantaman dari sebuah lukisan. Keindahan dalam lukisan-lukisan milik Jan kala itu menghilang seketika, saat amarah sang ibu menguasainya.
"Mau sampai kapan, Jan?" pekik sang ibu menembus lubang kecil pada bilik bambu. Tetangga sekitar yang mendengarnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Mereka sudah terbiasa dengan keributan besar dari gubuk kecil milik keluarga Jan. Hanya saja, malam yang seharusnya tenang dan sunyi, justru dipenuhi melodi tak keruan dari keluhan-keluhan sang ibu.
Deru napas wanita usia hampir kepala lima itu terdengar kasar. Alisnya pun sedari tadi menukik tajam. Wajah yang memerah, serta mata berembun juga kini ditampakkannya. "Kapan kamu mau berubah, Jan?" Suaranya melemah, tidak seperti tadi saat amarahnya meledak-ledak. "Sudah cukup buang-buang waktu demi sesuatu yang tidak mungkin kamu capai."
Bukan sekali dua kali, Jan mendengar kalimat itu dari sang ibu yang baginya menyakitkan. Penuturan atas ketidakpercayaan sang ibu pada impiannya sudah sangat melekat pada hati dan pikirannya. Namun, itu sama sekali tidak melunturkan obsesinya untuk mendapat gelar 'seniman ternama'. Seperti salah satu panutannya, Basuki Abdullah. Salah seorang maestro pelukis Indonesia. Pelukis dengan aliran realis dan naturalis. Aliran lukisan yang paling Jan sukai dan sedang ia pelajari.
Pendengaran Jan terbuka untuk apa pun yang ibunya katakan, tetapi pandangannya tetap tertuju pada lukisan-lukisannya yang hancur dibanting sang ibu. Salah satu lukisan yang kini rusak itu, rencananya akan Jan ikut sertakan dalam sebuah pameran lukisan yang cukup terkenal di kotanya. Dengan membayar sejumlah uang cukup besar pada pihak penyelenggara supaya karyanya bisa dipamerkan, Jan mencoba keberuntungan di sana pada awalnya. Namun, ternyata dia justru tertipu. Orang yang dia anggap salah satu pihak penyelenggara, ternyata orang asing yang mengambil keuntungan dari kebodohan Jan. Itulah penyebab sang ibu sekarang mengacak-acak ruangannya.
"Ibu sudah lelah, Jan." Air matanya meluncur, tak terbendung lagi. Salah satu tangannya memegang dada yang terasa sesak. "Kamu bahkan tidak bisa mengurus diri sendiri, karena lebih peduli pada mimpi yang hanya omong kosong belaka, Jan."
Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya Jan. Memang biasanya seperti itu. Dia hanya mematung saat sang ibu mengeluarkan rasa muak atas kelakuannya. Jan juga tidak pernah balas membentak perkataan sang ibu, dia masih punya kesadaran untuk itu. Jan juga masih punya rasa malu, karena hidup dari uang hasil keringat sang ibu.
"Ibu mohon, Jan." Sang ibu menyatukan kedua tangannya di depan dada. "Dengarkan apa kata ibu. Lupakan impian yang tidak ada manfaatnya bagi kehidupan dan masa depanmu," pintanya dengan suara yang tersedu-sedu.
Hati Jan tersayat mendengar isakan sang ibu. Dia juga ikut merasa sakit, kala melihat ibunya memohon seperti itu. Namun, ini impian yang sudah menguasai hidupnya, sulit untuk Jan tinggalkan. Untuk saat ini, belum ada yang mampu menghancurkan ikatan antara impian dan dirinya.
"Jangan jadi seperti bapakmu, Jan."
Jan tersentak, teringat sang ayah yang sudah berpulang sepuluh tahun lalu, saat usianya baru menginjak 13 tahun.
"Ibu ninggalin bapak karena impiannya ini, Jan," ucap sang ibu, membuka luka lama. "Jangan sampai ini juga terjadi padamu, Jan." Dia menyeka air matanya.
Jan masih dalam posisi yang sama. Tetap pada pendiriannya, diam seperti batu tak punya hati. Mendengarkan dan nanti melupakan apa yang dikatakan sang ibu.
"Kita orang miskin, Nak. Kita butuh makan, bukan ketenaran." Sang ibu berbalik membelakangi Jan. "Kamu itu putra satu-satunya. Ibu sudah tua, ibu perlu anak ibu."
Setelah mengatakan itu, sang ibu pergi keluar dari sana. Pintu tua yang sudah lapuk ditutup dengan keras oleh sang ibu, sampai salah satu engsel di pintu terlepas. Dia kecewa dengan putranya yang mengikuti jejak sang ayah. Putranya begitu keras kepala, entah apa yang harus ia perbuat. Kebenaran tentang mimpi suaminya yang gagal juga sering kali dia ungkit agar putranya tersadar. Namun, itu saja tidak cukup untuk membuat Jan mengerti.
Jan menghela napas pelan. Matanya terpejam sejenak. Kalimat terakhir yang ibunya ucapkan sedikit mengganggu pikirannya. Saat matanya terbuka, dia lihat pantulan dirinya di cermin. Rambutnya yang gondrong sebahu. Kumis dan janggut berantakan dan tak terawat. Baju dan celana lusuh yang kotor dengan cat akrilik, juga tampangnya yang terlihat seperti orang tidak waras. Ibunya benar, dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Lama berdiam diri, Jan mulai melangkahkan kakinya menuju lukisannya yang hancur berantakan. Dia pandangi lukisan-lukisan itu dengan rasa sakit. Untuk membereskan lukisan itu, dia menghabiskan waktu seharian selama seminggu di dalam ruangannya. Sampai melupakan makan dan aktivitas manusia kebanyakan. Dia jadi hilang akal saat bertekad menyelesaikan lukisan-lukisannya.
Jan mengambil kanvas baru yang selamat dari amukan sang ibu. Jan juga mengambil peralatan melukisnya yang ia sembunyikan. Dia mengerti apa yang ibunya mau, tetapi dia juga kesulitan untuk berhenti. Jan sudah terperangkap dengan impiannya. Untuk itulah, sekarang dia justru kembali melakukan hal yang amat ia cintai-melukis. Ini juga salah satu jalan, agar ia bisa melupakan rasa sakit yang sedang menjalar di hatinya.
Kuas yang berada di tangan Jan mulai menyentuh kanvas kosong di depannya. Kanvas dan kuas itu seakan merayu Jan untuk tetap bersama mereka. Memaksa Jan berjanji untuk hidup selamanya bersama mereka. Mimpinya bagai sihir yang menguasai diri Jan sepenuhnya. Kesadaran Jan hanya setipis tisu untuk kehidupan realita, sedang mimpi besarnya itu adalah segalanya.
Disela-sela dia melukis, untuk pertama kalinya, perkataan terakhir sang ibu tadi terngiang-ngiang di kepalanya. Namun, itu tidak bertahan lama. Kehadiran seseorang ke kamarnya membiaskan apa yang tadi Jan pikirkan. Hal ini juga sudah lumrah, orang itu akan muncul ketika keributan yang terjadi telah usai. Dia datang untuk melihat keadaan ibunya, kemudian datang kepadanya untuk menghibur. Anom memang layak disebut sahabat sejati. Dia satu-satunya orang yang dengan ikhlas menemaninya, bahkan menganggap Jan sudah seperti saudaranya sendiri.
"Kamu diam lagi, ya, Jan?" tanyanya seraya membaringkan diri di atas tikar tempat tidur milik Jan.
Jan hanya mengangguk untuk menanggapi pertanyaan sahabatnya itu.
"Jangan seperti itu, Jan." Dia memandangi langit-langit gubuk yang kotor dan penuh sarang laba-laba. "Sekali-kali, kamu buka suara, setidaknya buat minta maaf sama ibumu."
Jan menghela napas panjang, lalu berkata, "Aku takut, Nom, kalau buka suara." Dia menghentikan kegiatan melukisnya itu dan memandang kosong ke arah pigura berisi foto keluarganya. "Aku takut buat ibu semakin sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pigura
General Fiction[Novelet] Lukisan-lukisan indah milik Jan sama sekali tidak menarik perhatian dunia. Seolah-olah kegagalan adalah gelar yang pantas untuk disematkan pada mimpinya. Padahal, demi mimpinya itu Jan harus mengorbankan perihal-perihal kecil yang penting...