Sebuah panggilan telepon yang diakhiri senyuman Anom telah usai beberapa waktu lalu. Jan yang masih berbunga-bunga setelah melihat sang dambaan hati. Kini, kebahagiannya itu semakin bertambah kala berita baik disampaikan sahabatnya. Orang yang menghubungi Anom adalah salah satu pihak penyelenggara pameran lukisan. Dia memberikan kesempatan pada Jan untuk ikut serta memamerkan lukisannya pekan depan. Namun, dengan syarat Jan harus membuat sekitar dua lukisan baru untuk bahan pertimbangan kembali. Orang itu pun mengatur pertemuan tiga hari lagi dengan Jan untuk melihat lukisannya.
Anom sama sekali tidak menyangka. Pada awalnya ia hanya coba-coba memberikan nomor teleponnya pada orang itu di sebuah pameran lukisan, kemudian menunjukkan beberapa hasil jepretan foto lukisan karya Jan. Saat meminta bantuan padanya pun-agar lukisan milik sahabatnya bisa tampil di sebuah pameran-dia tidak berharap apa-apa, karena orang itu seperti tidak tertarik saat menanggapinya. Dia sama sekali tidak pernah berharap, bahkan melupakannya. Pertemuannya dengan orang itu sudah dari setengah tahun yang lalu.
"Sudah aku bilang, Nom. Meski perlahan, impianku pasti terwujud," ucapnya dengan mata berbinar.
Anom mengangguk menyetujuinya, kemudian merangkul sahabatnya itu. "Iya, sahabatku memang luar biasa. Lukisanmu yang indah itu memang layak mendapatkannya, Jan." Dia melepas rangkulannya dan beralih menatap bangga sahabatnya itu. "Setelah karyamu ikut dipamerkan, orang-orang yang melihatnya pasti akan merasa kagum," ujarnya yakin.
"Dan kemudian ...," kata Jan menambahkan. "Perjalanan Jantra sebagai seorang seniman ternama pun akan segera dimulai." Jan mengatakannya dengan percaya diri, sudut bibirnya pun terangkat tinggi saat membayangkannya. Jan tidak sabar menunggu hari itu.
Anom berdecak. "Jangan terbang tinggi dulu, Jan," tegurnya. "Seperti katamu tadi, secara perlahan. Kita tidak tahu hasilnya nanti seperti apa. Ini baru tangga pertama, Jan," cakapnya mengingatkan agar nanti Jan tidak kecewa.
Jan tersenyum simpul dan mengangguk untuk menanggapi perkataan Anom. Sahabatnya benar, tetapi impian yang dalam bayangannya sudah tercapai masih berkeliaran di benaknya. Jan tetap melayang tinggi dengan impiannya itu. Perkataan Anom tadi hanya ia dengar dan selebihnya tidak diacuhkan.
"Sekarang kamu pikirkan konsep lukisannya. Buat lukisan yang bisa menarik perhatian setiap orang." Anom menyodorkan telepon genggamnya pada Jan. "Ini! Kamu bisa cari inspirasinya di sini, Jan."
Kepala Jan menggeleng. "Tidak, Nom, terima kasih," tolaknya halus, pandangannya ia luruskan pada kantong plastik berisi makanan yang diberikan oleh Soca. "Lukisan itu akan aku buat sesuai isi hati dan murni dari pemikiranku sendiri, Nom. Aku ingin orang yang melihatnya merasakan cinta sang pelukis."
"Setidaknya pakai telepon genggamku untuk cari lukisan yang sedang diminati saat ini, sebagai acuan saja. Jaman sekarang, orang-orang tertarik dan tertuju pada sesuatu yang sedang tren."
"Aku mengerti maksudmu, Nom." Jan memegang salah satu bahu sahabatnya itu. "Tetapi aku hanya akan melukiskan apa yang sedang aku rasakan. Kamu tidak perlu khawatir. Lagi pula pameran itu tidak memiliki tema, aku jadi bebas mengekspresikan apa pun itu dalam lukisanku nanti," jelasnya menepuk bahu Anom yang dipegangnya tadi. Kemudian beranjak kembali ke tempatnya ketika sedang menggambar sketsa soca.
Anom mengangguk paham dan memasukkan kembali telepon genggamnya pada saku celana. "Kanvas dan catnya masih ada, kan, Jan?" tanyanya memastikan.
Kanvas kosong yang ia miliki satu-satunya sudah dipakai tadi malam. Cat yang ia miliki juga tinggal sedikit. Raut wajahnya pun jadi berubah murung. Jan mematung dalam lamunan, memikirkan cara supaya bisa membeli kanvas dan cat yang baru. Penghasilan dari usaha warungnya itu hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Tidak ada uang lebih yang bisa Jan gunakan untuk kepentingannya ini.
Seakan tahu apa yang Jan pikirkan, Anom menghampiri sahabatnya itu seraya berkata, "Sore nanti kita beli kanvas sama catnya, ya, Jan." Dia mendudukkan dirinya di sebelah Jan, kemudian mengambil dompet dari dalam tasnya. "Jangan ragu untuk minta bantuanku, Jan. Jika kamu perlu uang, seperti biasa kamu bisa mengandalkanku."
"Utangku sudah banyak padamu, Nom." Jan menunduk tidak enak hati. "Kamu sudah banyak membantuku selama ini dengan uangmu. Aku rasa cukup untuk saat ini, aku takut nanti tidak bisa membayarnya," tuturnya seraya menghela napas pelan.
Anom melayangkan tatapan kesal pada Jan. "Uang tidak ada harganya dibanding persahabatan kita, Jan." Kamu tidak perlu pusing untuk menggantinya, uang itu aku berikan secara sukarela." Raut wajahnya ia netralkan kembali dan lebih bersahabat. "Jika nanti kamu berhasil mencapai impianmu, aku akan jadi orang yang paling bahagia, karena ikut serta dalam perjuanganmu itu, Jan."
"Tidak, Nom. Uangmu nanti akan tetap aku ganti."
"Jan, jangan memaksakan diri. Aku benar-benar ikhlas. Kita bukan sekadar sahabat, tetapi saudara. Uangku itu uangmu juga, Jan," jelasnya membuat Jan terharu.
Dari luar dirinya tampak menyunggingkan senyum tipis pada Anom, sedangkan dalam hatinya ia tertawa miris dengan kondisinya yang serba kekurangan. Hidupnya hanya bisa menyusahkan ibu dan sahabatnya. Namun, tiba-tiba Jan teringat sesuatu yang mungkin saja bisa membantunya membeli kanvas dan cat baru.
"Nom, coba lihat di akun platform microstock milikku," ucap Jan bersemangat. "Apa ada gambar yang terjual? Sudah lama aku tidak memeriksanya." Tersirat harapan dalam mata Jan, karena hanya itu yang saat ini bisa ia andalkan, tanpa harus menggunakan uang Anom lagi.
Anom menghela napas panjang dan kemudian menuruti perkataan sahabatnya itu. Dengan cepat ia membuka salah satu platform microstock di mana gambar-gambar digital milik Jan dijual. Saat tahu sahabatnya itu juga ternyata bisa membuat gambar digital, Anom sendirilah yang mencetuskan ide agar Jan menjual gambarnya secara daring, dengan harapan karyanya dilirik dan orang-orang bisa mengenal Jan. Namun, ternyata tidak semudah itu, sudah beberapa tahun berlalu dan hasilnya tetap nihil. Karya milik Jan pun hanya terjual beberapa dengan nominal harga yang relatif rendah.
Setelah lama berkutat dengan telepon genggam canggihnya itu. Wajah lesu Anom kini ditampakkannya pada Jan. Dia tidak hanya memeriksa apa yang tadi sahabatnya perintahkan, tetapi juga akun sosial media yang lain, tempat Jan menjual jasa lukisnya. Tidak ada satu pun dari sana yang dapat Jan harapkan. Gambarnya tidak ada yang terjual dan tidak ada pula pesanan untuk jasa lukisnya.
"Sudah, Jan. Pakai uangku saja, ya?" pinta Anom tulus. "Kamu hanya punya waktu tiga hari untuk menyelesaikan lukisanmu. Jangan sia-siakan kesempatan."
Jan pun mengangguk menyetujuinya. Dia berjanji dalam hati. Suatu saat nanti saat impiannya tercapai, ia akan membayar semua uang yang sudah Anom keluarkan. Jan juga akan membalas jasa kebaikan Anom yang senantiasa membantunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pigura
General Fiction[Novelet] Lukisan-lukisan indah milik Jan sama sekali tidak menarik perhatian dunia. Seolah-olah kegagalan adalah gelar yang pantas untuk disematkan pada mimpinya. Padahal, demi mimpinya itu Jan harus mengorbankan perihal-perihal kecil yang penting...