Bagian 8

8 4 0
                                    

Hari menjelang siang, tetapi pria yang ia nantikan masih belum menampakkan diri. Soca dibuat bosan menunggu pria itu bersama Jan. Anom katanya hanya pergi sebentar ke rumah sahabatnya itu untuk mengambil barang yang tertinggal. Namun, sampai detik ini pria itu belum kembali. Soca jadi kesal sendiri. Ditambah Jan yang juga bersikap abai, keberadaannya seakan tidak dianggap oleh pria itu. Soca tidak mengharap untuk diperhatikan, hanya saja keadaan sekarang membuatnya tidak betah. Kalau bukan demi Anom, ia tidak mau lama-lama di sini, berdua-duaan bersama pria yang baginya masih asing.

Tidak seperti apa yang Soca pikirkan, Jan sama sekali tidak mengabaikan keberadaan perempuan itu. Dia sadar ada seorang perempuan cantik di belakangnya. Soca juga tidak tahu, sedari tadi Jan bersusah payah mengendalikan detak jantungnya yang tidak keruan. Kehadiran Soca di sini adalah keberuntungan bagi Jan. Namun, untuk saat ini ia juga merasa bingung harus membicarakan apa dengan Soca. Padahal ini kesempatan besar baginya untuk lebih mengenal sang dambaan hati, tetapi keberaniannya hanya sampai tadi saja.

Tanpa mereka sadari, Anom sudah berada di sana sejak tadi, bersembunyi di belakang warung untuk menghindari Soca. Anom bersyukur karena dia cepat menyadari keberadaan Soca di sana, sehingga dia memutar balik jalannya agar bisa bersembunyi. Dia juga menepikan motornya jauh dari warung, jadi sahabat dan perempuan yang dijodohkan padanya itu tidak menyadari kedatangannya. Anom juga sengaja membiarkan mereka berduaan saja, supaya sahabatnya itu bisa mendekati Soca, meski nyatanya tidak ada kemajuan sedikit pun.

Lama dalam keadaan seperti itu membuat Soca jenuh, sehingga akhirnya dia membuka suara. "Mas Anom kira-kira masih lama tidak, Mas?" tanyanya dengan wajah yang terlihat kecut.

Jan mengulum senyum. Setiap kali suara perempuan itu masuk ke pendengarannya, Jan merasakan getaran hebat pada hatinya. Suara indah nan lembut itu membuat Jan candu. Ingin rasanya Jan tidak tahu diri, meminta perempuan itu bernyanyi untuk menemani dirinya yang sedang melukis. Pemikiran seperti itu kemudian Jan buang jauh-jauh. Dia tidak boleh bersikap kurang ajar kepada perempuan yang baru ia temui tiga kali ini.

"Harusnya Anom sudah datang dari tadi, Mbak," jawab Jan membalik tubuhnya menghadap Soca, kemudian duduk di sebelah perempuan itu. "Sepertinya ibu yang membuat Anom lama di sana," ujarnya menebak-nebak.

Keberadaan Jan yang berada tepat di sampingnya membuat Soca tidak nyaman, sehingga ia perlahan menggeser tubuh menjauhkan diri. "Oh ... begitu," ucap Soca kikuk, "Mas, sudah lama berteman sama Mas Anom?" tanyanya kemudian untuk mencairkan suasana canggung yang hinggap padanya.

Wajah Jan menampilkan senyum lebar, lalu menoleh kepada Soca yang sedang menundukkan pandangan. "Sudah dari bayi, Mbak. Kebetulan ibunya Anom majikan bapak saya dulu."

Soca hanya mengangguk-anggukan kepalanya sebagai respons. Pikirannya sudah buntu harus berucap apa lagi. Soca merasa bosan, tetapi malas jika harus berbicara dengan pria yang tidak ia harapkan keberadaannya. Namun, hal ini membuat Soca kembali merasakan suasana canggung di antara mereka.

Jan menghela napas pelan. "Mbak sendiri, kenal Anom sudah lama?" tanyanya. Giliran Jan membuat situasi tidak terlalu sunyi.

Seulas senyuman hadir di wajah rupawan Soca. Dia mengangguk dan berucap, "Iya, lumayan, Mas," jawabnya sedikit bersemangat. Dia mengingat kembali pertemuannya dengan Anom untuk pertama kali yang terjadi lima tahun lalu. Pertemuan pertama yang membuat sang ayah dan dirinya terkesan pada Anom.

Jan mengerutkan dahi, sedikit heran pada Soca yang kini wajahnya berseri dengan pandangan kosong. Akan tetapi, sesaat kemudian sebuah senyuman terbit di wajahnya. Dia memandang Soca, menikmati keindahan rupa perempuan itu. Jan semakin menginginkan Soca menjadi miliknya. Perempuan itu benar-benar bisa mencuri perhatian Jan. Tidak biasanya ia mengabaikan lukisan yang sedang dibuatnya selama ini, hanya demi menyaksikan karya indah Sang Pencipta.

Merasa diperhatikan, Soca menoleh ke arah Jan. Dia tersentak setelah itu, karena kini beradu pandang dengan Jan yang tersenyum padanya. Secepat kilat ia alihkan pandangannya ke arah yang berlawanan. Begitu pun dengan Jan yang merasa malu atas perbuatannya. Hal itu menyebabkan suasana menjadi lebih tegang. Dalam hati Soca mengumpat, ia merasa jijik diperhatikan seperti itu dan Jan mengutuk dirinya sendiri karena telah berbuat hal yang bodoh.

Anom yang merasa kesal terus bersembunyi, akhirnya keluar menampakkan diri. Dia datang di waktu yang tepat, suasana tidak terlalu menegangkan setelah kehadirannya. Anom pun menghampiri mereka dengan senyum yang dipaksakan.

"Mas Anom!" seru Soca kegirangan. Matanya berbinar melihat pria tampan dambaannya.

Jan pun merasa lega atas hadirnya Anom. Kejadian tadi bisa ia lupakan sejenak. "Kamu ambil barang lama sekali, Nom." Dia pun bangkit untuk mendekati sahabatnya itu.

"Mas Anom dari mana saja? Sudah dari tadi pagi aku menunggu Mas Anom di sini ... lama sekali," keluhnya, menampakkan wajah yang memelas.

Anom tidak menjawab dan justru melempar senyum kikuk pada perempuan itu. Dia masih mencari jawaban yang pas agar tidak dicurigai.

"Mas ...," panggil Soca pada Anom, "ada yang mau aku bicarakan." Dia tertunduk dengan senyum malu-malu saat mengatakan itu. Dia tersipu, karena hal yang ingin ia bicarakan itu mengenai perjodohannya.

Air muka Anom semakin menegang. Melihat Soca seperti itu, ia juga dapat menebak apa yang akan perempuan itu bicarakan. Dia dalam masalah besar sekarang. "Maaf, Jan, aku tadi harus bantu bibi dulu," ucapnya berbohong, seraya menyerahkan barang yang menjadi alasannya tadi pergi kepada Jan. Dia juga berusaha tidak mengindahkan apa yang tadi Soca ucapkan.

Jan mengangguk untuk menanggapinya, seraya menerima barang yang diserahkan oleh Anom. Setelah itu, Jan mendekat pada kanvas lukisannya. Barang itu adalah satu set kuas yang tidak sengaja Jan tinggalkan. Sebenarnya Jan tidak terlalu memerlukannya, tetapi Anom tetap kukuh ingin membawanya. Sahabatnya itu ingin Jan melukis dengan nyaman menggunakan kuas yang baru, karena kuasnya yang lama sudah tidak layak pakai.

Soca mendengkus, dia merasa kesal karena Anom justru tidak memedulikannya. Dia pun meraih tangan Anom dan menariknya menjauh dari Jan yang kembali pada kegiatan melukisnya. "Mas, ada yang mau aku bicarakan," kata Soca mengulang kalimatnya tadi.

"Jangan di sini, Soca," ujar Anom pelan seraya melepas genggaman tangan perempuan itu. "Kamu sebaiknya pulang, aku tidak mau membicarakan itu sekarang." Dia mengatakannya secara berbisik-bisik, takut Jan mendengar dan nanti mengetahui maksud dari kedatangan Soca.

"Aku ke sini disuruh ayah kamu, Mas," jelas Soca lirih,"aku juga sudah menunggu kamu dari tadi, masa sekarang aku disuruh pulang," tambahnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Anom menghela napas kesal, penglihatannya tidak lepas dari Jan yang sedang fokus pada lukisannya. "Pulang sekarang, kita bicarakan itu nanti."

Perempuan itu menggeleng. "Aku tidak mau pulang, Mas," tolaknya menatap kesal Anom. "Aku sama orang tua kita sudah beri kamu banyak waktu. Mau sampai kapan, Mas?" tuturnya dengan suara pelan.

Anom melihat ke arah Jan untuk memastikan sahabatnya itu tetap tertuju pada lukisannya. Dia menoleh pada Soca seraya menghela napas kasar, kemudian menghampiri Jan. "Aku antar Soca pulang dulu, ya, Jan." Dia menepuk pelan bahu sahabatnya itu.

Tanpa melihat Anom, Jan mengangguk sebagai jawaban. Dia tetap tidak merasa curiga dan menyimpulkan mereka pergi karena ada urusan penting. Percakapan Anom dan Soca tadi pun tidak terlalu jelas Jan dengar. Beruntungnya Anom karena tadi Jan sedang terpusat pada lukisannya.

Pigura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang