Bagian 6

13 6 0
                                    

Udara sejuk memasuki setiap celah lubang pada tiap rumah, tidak terkecuali rumah Jan yang hanya sebuah gubuk kecil berdinding bilik bambu. Suara guntur juga saling bersahutan malam ini. Hujan deras turun sejak sang mentari belum lama tenggelam. Suasana saat ini sangat cocok untuk orang-orang menjemput bunga tidur. Namun, berbeda halnya dengan Jan, hujan dan dinginnya malam ia jadikan sebuah semangat, agar semakin bergairah untuk menyelesaikan lukisannya.

Alunan gemericik suara hujan menambah kesan dramatis pada lukisan yang tengah Jan buat. Sebuah lukisan dengan aliran romantisisme. Aliran yang menggambarkan suatu kenyataan dengan cara yang lebih dramatis dan terasa seperti mimpi. Aliran lukisan ini menunjukkan keindahan tema secara teatrikal, tidak hanya mengandalkan keindahan asli objeknya. Salah satu lukisan favoritnya dalam aliran ini yakni The Madhouse atau Asylum karya Fransisco Goya, seorang seniman Spanyol paling penting di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Dalam lukisannya Jan mencoba menuangkan makna emosional yang tinggi untuk penggambaran perasaannya. Lukisannya itu harus mengandung makna dan dapat menyentuh hati. Dia juga menyajikan kemewahan yang lebih dari realita dalam lukisannya itu. Setiap goresan kuas yang Jan bubuhkan pada kanvas, setiap itu pula bayangan impiannya menjadi nyata singgah di benaknya. Tangan Jan begitu terampil saat menyapukan cat akrilik itu, sehingga sebuah gambar terbentuk sesuai dengan apa yang ia inginkan. Wajah Jan pun sedari tadi berseri, menikmati setiap detik momen ini.

Jan kemudian jadi berpikir, beruntungnya ia memiliki sahabat seperti Anom. Kalau tidak ada Anom di hidupnya, entah dengan cara apa ia belajar melukis secara mandiri. Sejak kecil, Anom berbaik hati sering meminjamkan telepon genggamnya untuk Jan belajar, sehingga banyak pengetahuan yang ia dapat tentang mimpinya dari sana. Padahal sebelumnya, ia hanya anak seorang sopir pribadi ayahnya Anom. Akan tetapi, Anom yang memang ikut diurus oleh sang ibu, berbesar hati menganggap Jan saudaranya.

Ketika sedang fokus menyelesaikan lukisannya, Jan dapat merasakan hadirnya seseorang ke dalam kamar. Tidak lain dan tidak bukan, orang itu adalah sang ibu. Datang membawa sepiring nasi dengan lauk telur dadar. Jan membalikkan tubuhnya menghadap sang ibu, lalu menelan salivanya karena merasa tegang. Takut-takut lukisannya itu dihancurkan kembali oleh ibunya.

Tatapan sang ibu tertuju pada lukisan yang sedang Jan buat. Dia menilik setiap detail lukisan pada kanvas. Tidak lama kemudian, seulas senyuman tampak di wajahnya yang sudah banyak kerutan.

Ibu mendekat ke arah Jan. "Makan dulu, Nak." Dia pun menarik tangan sang putra dan membuatnya duduk di ranjang bambu beralas tikar. "Lanjut melukisnya nanti, ya ...."

Sang ibu menyendok makanan dan ia arahkan ke depan wajah sang putra. "Ayo, makan, Jan," pintanya.

Jan terdiam, mulutnya tidak terbuka sedikit pun. Dia sedang merasakan sesak di dada yang mendadak menjalar. Matanya juga tiba-tiba terasa panas. Sudah lama dia tidak duduk berdua bersama sang ibu untuk menghabiskan waktu bersama. Sudah lama pula, ia makan tidak disuapi sang ibu. Banyak hal yang dia lewati tanpa adanya sang ibu dalam mengisi hari-harinya. Semuanya berawal dari dia yang fokus mengejar mimpinya itu. Sebagian besar waktunya ia habiskan di kamar, bersama sesuatu yang ia sebut cinta.

"Jan," panggil sang ibu lembut. "Ibu rindu sama putra ibu, Nak." Air mata lolos membasahi pipinya.

Sendok berisi makanan yang tadi ia sodorkan pada Jan pun ia simpan kembali ke piring, beralih mengulurkan tangan untuk mengelus kepala putranya itu. Sentuhannya membuat tubuh Jan meremang, bahkan mata putranya itu perlahan berubah merah. Sesak di dada pun semakin memeluknya erat.

"Apa boleh ibu peluk kamu, Nak?" tanyanya meminta izin. Dia merasa jarak antara dirinya dan sang putra sudah sangat jauh meskipun satu atap. Dia khawatir putranya itu nanti merasa tidak nyaman. Menunggu jawaban dari Jan, ia tampakan wajah memelas ketika beradu tatap dengan putranya itu.

Jan memandangi paras sang ibu yang sedikit pucat. Tatapan hangat ini yang dulu sering kali Jan lihat, dengan tega sekarang ia abaikan. Tangan yang senantiasa memberinya makan, mengelus lembut kepalanya, serta tangan yang terulur membawanya pada sebuah pelukan, ternyata Jan juga merindukannya.

Lama saling pandang, akhirnya Jan mengangguk untuk mengiyakan. Sang ibu lantas tersenyum lebar, piring di tangannya ia simpan dahulu di sebelahnya. Lantas, setelah itu dengan cepat merangkul putranya yang ia rindukan.

"Putra ibu," ujarnya tersedu-sedu. Sesekali ia mengecup kening sang putra. "Ibu rindu kamu, Nak." Ia mendekap putranya itu dengan erat, seakan tidak rela jika nanti terlepas.

Jan pun sudah tidak mampu untuk menahan air mata yang akan keluar. Ragu-ragu Jan membalas pelukan sang ibu. Pertama-tama ia merasa aneh, karena sudah bertahun-tahun lamanya pelukan ini tidak ia rasakan. Setelah itu, Jan tidak tahan lagi dengan rasa nyeri di dada. Air mata pun meluncur seketika bersama isak tangisnya. Sang ibu dan dirinya kini saling melepas rindu. Suara tangis mereka pun terdengar memenuhi ruangan, diiringi suara hujan yang semakin deras.

Merasa sudah cukup, ibu lalu mengurai pelukan mereka dan menatap lekat rupa putranya. Dia menangkup wajah itu dan melempar sebuah senyuman. Pikirannya mengingat kembali pada Jan kecil yang tidak mau jauh ibu. Jan yang penurut dan sangat mencintainya. Seorang putra yang dia paksa untuk pergi jauh dari sang ayah.

Ibu merasa bersalah telah memisahkan ayah dan anak. Dia sadar keegoisannya sendirilah yang membuat putranya kini jadi seperti ini. Kalau saja hari itu amarahnya bisa ia kendalikan, mungkin Jan tidak akan jadi seseorang yang ketergantungan pada mimpinya.

"Maafkan ibu, Nak," ucapnya lirih, tetapi Jan dapat mendengarnya dengan jelas.

Jan menggeleng dan meraih kedua tangan sang ibu. Dikecupnya tangan yang telah membesarkannya ini. "Ibu mau, kan, dukung impiannya Jan?" tanyanya merusak suasana.

Sang ibu menyeka air matanya, lalu membawa piring berisi makanan tadi ke dalam pangkuan. "Ayo, sekarang kamu makan dulu, Jan." Dia mengambil sesendok makanan untuk menyuapi Jan.

Jan kali ini membuka mulut, menerima suapan sang ibu. "Bu ...," panggilnya pelan setelah makanan itu ia telan.

Mendengar panggilan Jan, ibu justru bangkit dari duduknya dan memberikan piring itu pada Jan. "Kamu lanjutkan makannya sendiri, ya, Nak. Ibu baru ingat, ada yang harus ibu kerjakan di dapur," ujar ibu beralibi. Untuk saat ini, ia sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan Jan yang tadi. Hatinya ternyata belum mantap untuk mendukung impian sang putra.

Jan menahan tangan sang ibu yang akan melangkah pergi darinya. Dia ingin mengutarakan keputusannya yang sudah ia pikirkan matang-matang. "Mulai besok, biar Jan saja yang jaga warung, ya, Bu."

Ucapan Jan barusan membuat ibu tertegun. Tidak pernah sekali pun dalam khayalannya sang putra mau menjaga warung kecil miliknya. Dia tidak menyangka, sesuatu yang menurutnya mustahil bisa jadi kenyataan. Dia tidak jadi pergi dari sana dan justru memeluk kembali putranya.

Pigura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang