Bagian 3

12 6 1
                                    

Terik matahari begitu menyengat siang ini. Angin yang sedari tadi bertiup pun hanya menghantarkan hawa panas. Situasi ini membuat orang-orang berlindung pada bayangan di sekitarnya, entah itu bayangan pohon ataupun bayangan dari sebuah bangunan. Bagi Jan, hal ini ada baiknya, karena pasar jadi tidak ramai dan berisik seperti biasanya. Orang-orang pasti malas harus berpergian di panasnya mentari. Kesempatan ini juga tidak akan Jan sia-siakan. Suasana lumayan sepi, itu berarti saatnya dia dan 'kekasihnya' beraksi.

Jan mengambil buku sketsa dan pensilnya dari tas milik Anom. Barang-barang itu pasti Jan bawa ke mana pun dia pergi dan tentunya ia titipkan pada Anom. Jan sama sekali tidak ingin dipisahkan dengan hal yang berhubungan dengan mimpinya itu. Sebelum ujung pensil yang runcing itu Jan goreskan pada buku sketsanya, dia melihat sekeliling. Jan ingin memastikan, tidak ada tanda-tanda pelanggan yang akan datang kemari. Dia tidak mau, konsentrasinya nanti harus terbagi dengan hal lain.

Dalam benaknya, Jan sudah terpikir gambar apa yang akan mengisi halaman kosong ini. Wajah seseorang yang kehadirannya sedang ia tunggu. Wajah yang tampak anggun dan sejuk. Suara halusnya yang membuat Jan candu. Senyuman manisnya yang memikat, juga matanya yang sedalam lautan. Jan tenggelam di sana pada pandangan pertama. Kini, saat mengingatnya kembali, Jan tampak berseri. Anom yang baru menyadari Jan senyum-senyum sendiri segera menghampirinya.

"Dirasuki makhluk apa kamu, Jan?" tanyanya setelah duduk di sebelah Jan, seraya menepuk bahu sahabatnya itu. "Tidak biasanya senyum-senyum begitu. Ada apa?" Anom mencoba mengintip gambar yang sedang dibuat Jan.

"Bukan makhluk, Nom," ujar Jan tersenyum lebar, tatapannya begitu dalam saat sketsa mata orang itu ia perhatikan. "Yang merasuki aku saat ini, sesuatu ... yang belum pernah aku rasakan sebelumnya."

Dapat Anom lihat, Jan sedang menggambar sketsa wajah seorang perempuan yang meskipun belum terlihat jelas, tetapi Anom mengenalinya. Bukan kenal lagi, Anom berhubungan baik dengan perempuan itu. Keluarga dari perempuan itu bahkan berencana membuat hubungan mereka jadi semakin dekat.

"Rasa ingin memiliki," ucap Jan tiba-tiba, sehingga Anom merasa terkejut. "Di mana ... setiap hari yang dilalui, aku merasa ada yang kurang jika tak bertemu dengannya, Nom." tambahnya diiringi helaan napas pelan.

Jantung Anom berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia senang sahabatnya ternyata dapat merasakan hal yang ia pikir hanya ada untuk impiannya saja. Namun, di sisi lain, cinta pertama Jan berlabuh pada perempuan yang sedang dijodohkan dengannya. Anom dalam bencana jika nanti sahabatnya itu tahu. Dia takut persahabatan mereka jadi hancur karena masalah ini.

Jan menoleh ke arah Anom yang tersenyum kikuk. "Tetapi aku sadar, Nom." Dia tertunduk dalam, matanya terpejam sejenak. "Aku tidak berhak mendapatkan cinta. Mana ada perempuan yang tertarik pada orang sepertiku."

Ucapan Jan membuat Anom merasa iba. Padahal menurutnya, Jan itu luar biasa. Lukisan-lukisan yang sahabatnya buat juga indah. Hanya saja, ada banyak hal dalam diri Jan yang harus diperbaiki. Terutama sikapnya, yang terkadang dia juga dibuat jengkel. Di saat Jan tidak peduli pada sekitar karena terperangkap dalam dunianya.

"Setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai, Jan," kata Anom, tangannya bergerak memegang salah satu bahu Jan. "Nama perempuan itu Soca," ungkapnya tersenyum tipis.

Seketika Jan menengok dengan raut wajah tercengang. "Kamu kenal dia, Nom?" Jan menunjuk gambar perempuan yang ada pada buku sketsanya.

Anom mengangguk, sudut-sudut bibirnya terangkat. "Iya, dia putrinya teman ayahku, Jan."

Bukannya senang, Jan justru terlihat sedih. Ayahnya Anom orang yang berada. Dia tahu teman-teman ayahnya Anom kebanyakan dari kalangan atas. Jadi menurutnya, perempuan itu pasti berada dalam keluarga yang derajatnya sama dengan ayah Anom. Tidak mungkin dia bisa bersanding dengan perempuan itu.

"Keluarganya sederhana, Jan. Tidak seperti apa yang kamu pikirkan," ucap Anom dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Jan. "Sekalipun dia orang kaya, itu bukan masalah. Kamu boleh berusaha untuk bisa dekat dengannya."

"Lihat nanti saja, Nom." Jan menghela napas panjang. "Aku tidak yakin. Lagi pula, aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Sebelum impianku tercapai, cinta yang sedang aku rasakan ini, tidak akan pernah diungkapkan."

Anom mengambil buku sketsa dari tangan Jan. "Kalau menunggu hari itu, bukankah nanti kamu akan terlambat, Jan?" Dia memandangi Soca dalam wujud sketsa. Tidak ada rasa, tetapi sang ayah memiliki harapan agar perempuan itu jadi menantunya. "Bagaimana jika dia tiba-tiba saja menikah dengan orang lain?"

Hati Jan sedikit perih mendengar pertanyaan Anom. Ada rasa tidak rela jika memang nanti harus begitu. Namun, ambisinya tidak boleh kalah hanya karena seorang perempuan. "Biar saja, Nom. Aku akan lebih tidak rela jika kehilangan mimpiku."

"Dengarkan aku, sekali saja, Jan." Nada bicara Anom terdengar serius sekarang. "Aku kagum dengan perjuanganmu, Jan. Kamu juga tidak pernah menyerah supaya bisa mewujudkannya, tetapi ...."

Anom menahan kalimat yang akan keluar dari mulutnya. Dia mengingat ibu Jan yang juga sudah seperti ibunya sendiri. Dalam pandangannya, Jan memang sudah bersikap keterlaluan karena obsesinya itu. Anom sudah lama menjadi saksi rasa sakit ibunya Jan dan dia sudah tidak tahan lagi. Akan tetapi, Anom juga tidak mungkin mengalahkan kerasnya batu dengan batu. Untuk itu, dia selalu berusaha pelan-pelan memberitahu Jan agar bisa berubah, meskipun usahanya itu sampai saat ini belum membuahkan hasil.

"Ambisimu itu menyakiti bibi, Jan. Kamu harus sadar."

Jan mengernyit. "Kenapa jadi bahas ibu, Nom?"

Anom menghela napas panjang. "Kamu boleh berusaha memperjuangkan mimpimu. Aku bahkan akan selalu mendukung mimpimu itu, Jan," cakapnya mengundang tatapan Jan yang tidak tertarik dengan kalimat selanjutnya yang akan Anom ucapkan. "Tetapi jangan lupakan tanggung jawabmu sebagai seorang anak. Kalaupun tidak bisa, setidaknya untuk saat ini, coba minta maaf pada ibumu, Jan."

Cuaca sedang panas-panasnya dan Jan sekarang semakin dibuat panas dengan kenyataan yang memang benar adanya. Kalimat itu sudah berulang kali mengisi pendengarannya. Namun, itu hanya hinggap sementara, sehingga otak Jan tidak pernah bisa mencernanya dengan baik. Hasilnya, Jan tetap seperti ini, menjadi Jan yang hidup sesuka hatinya.

"Aku hanya ingin kamu berubah jadi orang yang lebih baik, Jan." Buku sketsa milik Jan yang berada di tangannya, ia masukkan kembali ke tas. "Sebuah impian harusnya diperjuangkan tanpa menyakiti perasaan orang lain."

Jan merenung setelah mendengar ucapan Anom. Bukan untuk menyadari kesalahannya, tetapi dia justru memikirkan cara supaya impiannya segera tercapai, sehingga ia tidak perlu lagi bertengkar dengan ibunya dan merepotkan Anom. Semangatnya untuk menjadi seorang seniman ternama semakin membara.

"Impianku sebentar lagi pasti tercapai, Nom. Jadi kamu tidak perlu khawatir mengenai ibu," ucap Jan yakin, sedang Anom hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Bukan itu maksudku, Jan," katanya tegas. "Aku mau kamu sadar atas ke—"

"Permisi, Mas!"

Mereka menoleh ke sumber suara yang memotong ucapan Anom. Seketika raut wajah Jan berubah semringah. Akhirnya, orang yang ia tunggu kehadirannya datang.

Pigura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang