Bagian 14

5 3 0
                                    

Di dalam sebuah rumah yang besarnya berkali-kali lipat dari gubuk kecil ibunya Jan, sang ayah, orang tua Soca, dan juga Soca kini sedang memandang Anom dengan penuh harap. Mereka menunggu keputusan yang akan diambil pria yang begitu setia pada pertemanannya. Jan mungkin sudah tidak berharap lagi untuk mendapat cinta dari Soca, tetapi bukankah ia akan tetap di-cap sebagai pengkhianat jika menerima perjodohannya? Lagi pula Anom tidak pernah memiliki rasa pada Soca. Namun, tetap saja Anom kebingungan sekarang. Kemarin dan sekarang adalah hari-hari yang berat baginya dan juga Jan.

Anom menghela napas pelan, mengeluarkan segala keresahan di hatinya. Kemudian menatap sang ayah yang sedang memberinya isyarat agar segera memberikan jawaban. "Aku akan menjawabnya besok," ujar Anom menghadirkan kekecewaan dari ketiganya. "Bibi yang sudah merawatku sejak kecil baru saja meninggal. Setidaknya beri aku waktu hari ini saja untuk berkabung. Kamu juga tahu siapa yang aku maksud, Soca. Untuk itu, biarkan aku menjawabnya besok," jelas Anom memandang keluarga Soca dengan datar. Tidak ada lagi senyuman Anom yang biasanya menyambut kedatangan mereka.

Ayahnya Soca pun mengangguk menyetujui dan bangkit dari duduknya. "Besok kesempatan terakhir," katanya kemudian menyuruh istri dan anaknya juga berdiri untuk berpamitan. "Semoga besok tidak mengecewakan. Kalau bukan karena putriku, sejak awal perjodohan ini akan aku tolak, tanpa harus menunggu sesuatu yang belum pasti darimu, Nom." Dia mengucapkannya tanpa emosi sedikit pun, tetapi ayahnya Anom jadi tidak enak hati dan malu sekarang.

"Kamu tidak perlu khawatir, putraku pasti memberi jawaban yang kita inginkan, penantian Soca tidak akan sia-sia," ujar sang ayah seraya tersenyum ramah.

Setelah itu keluarga Soca pun berpamitan dan pergi dari sana. Kini, tersisa Anom dan ayahnya yang memang memiliki hubungan yang canggung. Keduanya saling memandang dengan tatapan yang berbeda. Sang ayah dengan kekecewaannya dan Anom dengan rasa kesalnya. Namun, sesaat kemudian tatapan mereka yang berperang berhenti ketika Anom akan beranjak pergi.

"Mau ke mana lagi kamu, Nom?" tanya sang ayah menghentikan langkahnya Anom. "Menemui anak sopir itu lagi?"

Dadanya terasa panas saat sang ayah menyebut sahabatnya seperti itu, tetapi ia mencoba untuk tidak memedulikannya dan melanjutkan langkahnya.

"Dia sudah dewasa, Nom. Kamu tidak perlu menemaninya."

Anom yang sudah berjalan beberapa langkah, berbalik mendekati sang ayah. "Ibunya baru saja meninggal, Yah. Dia pasti perlu teman sekarang, tetapi sepertinya Ayah tidak akan pernah mengerti," cakapnya kesal dan berani menatap nyalang sang ayah.

Ayah menghela napas kasar. "Kamu sudah banyak membantu Jan. Hentikan balas budimu itu, sudah cukup, Nom. Apa kamu sama sekali tidak peduli pada ayah?"

"Nyawaku saja masih belum cukup untuk membalas jasa bibi, Yah." Mata Anom mulai berkaca-kaca kala teringat rupa ibunya Jan dalam benaknya dan kini tidak akan pernah lagi ia lihat. "Bibi dengan senang hati merawatku seperti putranya sendiri, bahkan aku selalu ia nomor satukan dibanding Jan yang putranya sendiri."

Setelah kematian sang ibu, ketika ia masih berusia enam bulan. Ibunya Jan berbaik hati merawat putra majikannya itu dengan tulus. Itu semua dikarenakan sang ayah yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja. Apalagi setelah kematian sang istri, ayahnya itu semakin menjadi-jadi dalam bekerja sampai tidak pulang ke rumah. Anom terkadang dibawa pulang ke rumahnya keluarga Jan, meskipun kecil ia dapat merasakan kehangatan di sana. Ibu Jan jugalah yang membuatnya sampai saat ini tidak terlalu kehilangan atas kepergian sang ibu.

Selama ini kebaikan Anom kepada Jan selain sebagai sahabat, itu juga merupakan salah satu upayanya untuk menebus rasa bersalah. Ibunya Jan membagi cinta sama rata pada mereka, tetapi Anom yang saat itu lebih kecil dari Jan sering kali menyita perhatian yang lebih dari ibunya Jan. Oleh karena itu, Jan jadi lebih dekat dengan sang ayah. Ketika ibunya sedang sibuk mengurus Anom, ayahnya Jan siap membantu sang istri dan menemani Jan. Akan tetapi, perpisahan antara kedua orang tuanya Jan, membuat Jan memilih tinggal bersama sang ibu karena permintaan ayahnya. Sejak saat itu, Jan pun mulai sibuk dengan dunianya sendiri dan Anom merasa bersalah, karena ibunya Jan terkadang lebih memperhatikan dirinya.

"Aku peduli pada Ayah, untuk itu aku tetap di sini." Raut wajah Anom berubah lesu. "Ayah jarang sekali berada di rumah. Kita juga tidak pernah berusaha untuk memperbaiki hubungan ayah dan anak. Aku juga butuh keluarga, Yah. Dan hanya bersama mereka sajalah aku dapat merasakannya."

Sang ayah terlihat tidak peduli untuk apa yang Anom ucapkan. Dia memang telah berubah setelah kepergian sang istri. "Ayah jarang pulang karena kerja, Nom, dan itu juga buat kamu. Jika tidak begitu, kamu bisa hidup enak dari mana?"

Anom tidak bisa menyangkal, tetapi ia berharap sang ayah dapat menghabiskan waktu bersamanya di waktu libur. Namun, ternyata sang ayah lebih memilih mengisi waktu liburnya dengan bekerja lagi. "Bukankah Ayah punya hari libur? Bagaimana dengan itu? Kenapa Ayah tidak pernah mau menghabiskan waktu bersamaku?" tanyanya dengan hati yang terasa perih.

"Karena ayah perlu banyak uang. Kamu menghabiskan banyak uang untuk membantu anak sopir itu bukan?" Ayah menyilangkan kedua tangan di dada, menatap serius sang putra. "Ayah tidak akan mempersalahkannya. Silakan kamu keluarkan banyak uang hasil kerja ayah ini untuk membantu temanmu itu. Asal dengan satu syarat, kamu harus menerima perjodohan ini, Nom."

Anom menelan salivanya. Sudah ia duga, sang ayah selama ini memang mengetahui ke mana perginya uang yang ia gunakan. Dia ingin sekali membantu Jan dengan uangnya sendiri, tetapi sang ayah melarangnya bekerja untuk saat ini. Ayahnya berasalan, kalau sang ayah masih mampu memberinya uang. Namun, kemudian itu jadi ancaman bagi Anom, ayahnya menggunakan hal itu sebagai senjata agar Anom nanti mau menikahi Soca—calon menantu yang begitu diidamkan sang ayah. Anom pun dibuat bingung dan jadi mengulur waktu. menolak perjodohan sama saja dengan kehilangan sumber dana yang ia gunakan untuk membantu Jan, sedangkan jika menerimanya Anom belum bisa karena tidak ada rasa.

"Soca sangat mencintaimu, Nom. Dia bahkan sudah menunggu lama sampai menolak lamaran pria lain. Kamu harus menghargainya. Ayah harap, besok kamu tidak memberikan jawaban yang membuat Soca sakit hati." Salah satu tangan sang ayah bergerak menuju bahu Anom, kemudian menepuknya beberapa kali. "Jika kamu menolaknya, silakan angkat kaki dari rumah ini, Nom. Ganti uang ayah yang pernah kamu gunakan dan cari uang sendiri untuk membantu sahabatmu itu," katanya sedikit berbisik.

Anom pun melepas tangan sang ayah yang mencengkeram kuat bahunya. Rasa iri yang membuat ayahnya jadi seperti ini. Ayahnya menaruh kebencian kepada sahabatnya itu yang lebih Anom perhatikan. "Ayah tidak perlu khawatir, aku akan mengorbankan perasaanku ... demi uang besok."

Ayah dan anak itu beberapa saat saling memandang. Terlihat seulas senyum dari sang ayah, sedang raut wajah Anom begitu menyiratkan kalau ia merasa lelah. Setelah itu, Anom pun berbalik dan segera pergi menuju rumah Jan. Dia meninggalkan Jan sendirian sudah cukup lama, sehingga kini ia merasa khawatir. Tidak lupa ia pun membeli beberapa makanan ketika di perjalanan, ia ingat Jan baru memakan sup sisa kemarin saja pagi ini.

Saat sampai di tujuan, Anom merasakan ada yang aneh. Rumah rasanya senyap tanpa keberadaan siapa pun di sana. Anom pun segera memeriksa ke dalam kamar Jan, tetapi ternyata sahabatnya itu tidak berada di sana. Kemudian ia juga mencarinya di kamar ibunya Jan, hasilnya tetap sama, Jan tidak ada di rumah. Anom menjadi panik dan kini berteriak memanggil sahabatnya itu, tidak ada yang menyahuti panggilannya. Sekarang ketika ia kembali ke kamar Jan, Anom baru menyadari beberapa barang milik Jan tidak ada di sana, setengah pakaian di lemari pun menghilang. Entah ke mana Jan pergi tanpa memberitahunya.

Pigura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang