Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Setelah dua hari berlalu, akhirnya penentuan lukisan milik Jan dapat dipamerkan akan segera tiba. Dia kini sudah sangat siap dengan setelan rapinya yang dipinjamkan oleh Anom. Sahabatnya itu menawari Jan untuk beli baju baru, tetapi ia menolak dan lebih memilih memakai pakaian milik Anom saja. Penampilannya jadi sedikit berbeda, kaus dan celana lusuhnya berganti dengan kemeja serta celana bahan. Rambut, kumis, dan jenggotnya pun dia rapikan sehingga enak dipandang. Memang hanya lukisannya sajalah yang akan diberi penilaian, tetapi dia pikir tidak ada salahnya untuk membuat citra penampilannya bagus di mata orang itu.
Jantung Jan berdebar-berdebar dengan hebat, begitu pun Anom yang selama ini ikut membantu dalam perjuangan sahabatnya itu. Saat memperhatikan Jan, ia tersenyum haru. Dia juga berharap, tangga pertama bagi sahabatnya ini berhasil. Anom tidak sabar menunggu Jan menjadi seorang seniman ternama seperti impiannya itu. Dalam hati ia pun dengan tulus mendoakan Jan untuk kelancaran pertemuan hari ini.
Anom mengeluarkan telepon genggam canggih miliknya dari kantong celana, kemudian dengan cepat membuka aplikasi untuk memotret. "Jan, foto dulu bersama lukisanmu itu," ujarnya tersenyum seraya mengarahkan kamera telepon genggamnya itu pada Jan.
Jan mengangguk dan segera memposisikan diri di tengah-tengah kedua lukisannya. Dia menampilkan senyumnya yang tampak bahagia. Anom pun mengambil gambar beberapa kali dan menyuruh sahabatnya itu berganti-ganti pose sesuai arahannya. Dalam foto-foto itu Anom dapat melihat dengan jelas aura kebahagiaan Jan yang terpancar. Dia tampak ikut senang melihat Jan yang seperti ini. Anom juga merasakan sedikit perubahan dari Jan. Mulai dari Jan yang dapat menjumpai rasanya jatuh hati pada seorang perempuan, sampai keputusan Jan yang mau menjaga warung ibunya. Anom juga senang Jan sedikit demi sedikit berani ketika melayani para pelanggan di warung ibunya.
Tidak lama kemudian, sang ibu yang tidak tahu apa pun mengernyit ketika masuk ke kamar Jan. "Kamu rapi begini mau ke mana, Nak?" Dalam hatinya terlintas harapan kalau putranya itu akan mencari pekerjaan.
Jan menghampiri sang ibu dan lalu memeluknya. "Hari ini Jan mau bertemu dengan seseorang, Bu," jawabnya. "Ada orang yang kasih kesempatan buat lukisan Jan bisa dipamerkan," jelas Jan seraya mengurai pelukannya.
Wajah ibu berubah lesu. Dia rasakan kembali perih pada hatinya. "Kalau kamu pergi, yang jaga warung sekarang siapa Jan? Ibu lagi?" tanyanya dengan suara yang terdengar sedih.
"Tidak, ibu tetap di rumah. Nanti siang Jan baru buka warung. Tidak masalah bukan, Bu?" Jan meraih kedua tangan sang ibu, kemudian mengecupnya. "Untuk kali ini saja."
Dalam isi hatinya yang terdalam, ibu sama sekali tidak mau menyetujuinya. Dia masih belum bisa merestui impian Jan itu. Namun, dia juga harus menghindari pertengkaran, karena itu hanya akan membuat ikatan di antara mereka kembali merenggang. "Terserah kamu saja, Nak," ucapnya. Dia menarik tangannya yang sedang digenggam sang putra, beralih mengusap kepala putranya itu dengan lembut dan menatapnya dalam.
Jan yang sedang merasakan kesenangan yang luar biasa, tidak dapat menyadari kesedihan sang ibu. Hanya Anom yang dapat merasakannya, bahkan dengan melihat tatapan ibu susunya itu saja, Anom paham kesedihan yang sedang dirasakan ibunya Jan. Untuk itulah, saat ini Anom terlihat murung. Dia hanya mematung menyaksikan keduanya.
"Doakan Jan, ya, Bu. Semoga ini awal dari keberhasilan Jan," ucap Jan, hanya mendapat anggukan sang ibu yang tersenyum palsu.
Anom yang baru saja melihat jam di tangannya pun segera menghampiri Jan seraya berkata, "Ayo, Jan, kita harus berangkat sekarang. Kita tidak boleh datang telat, orang itu tidak akan menunggu meski hanya satu detik pun."
Jan pun mengangguk dan segera mengambil lukisannya. "Jan berangkat dulu, ya, Bu," pamitnya.
Setelah mengatakan itu, Jan langsung pergi mendahului Anom yang terpaku pada ibunya. Anom tidak tega melihat kesedihan di mata seseorang yang telah membantu sang ayah membesarkannya. "Bi, kasih kesempatan buat Jan, ya. Anom tahu, bibi pasti merasa sedih sekarang. Percaya sama Anom, Jan kita nanti pasti bisa berubah seperti apa yang bibi inginkan."
"Bibi belum bisa menerima mimpinya itu, Nom," ucapnya yang kini sudah berlinang air mata. "Tolong bantu bibi, ya, Nom," pintanya dengan penuh harap.
Anom mengangguk, kemudian mencium tangan ibunya Jan untuk berpamitan. "Anom pergi dulu. Bibi jangan pikirkan apa-apa, istirahat saja, ya," ucap Anom mendapat pelukan singkat dari ibu susunya itu.
Anom kemudian segera menyusul Jan yang sedang menunggu di dalam mobil. Setelah itu, mereka pun berangkat ke tempat tujuan yang jaraknya sedikit lebih jauh dari warung. Di dalam perjalanan Jan tidak berhenti bersenandung, ia juga sesekali menengok ke jok belakang mobil untuk melihat lukisan-lukisannya. Lain halnya dengan Anom, ia hanya fokus mengendarai mobil. Dia justru merasa tegang, takut pria yang akan mereka temui tidak jadi membuat lukisan Jan dipamerkan.
Perjalanan berlalu begitu cepat, kini mereka sudah sampai di tempat tujuan. Menunggu pria yang akan mereka temui di sebuah taman kota. Anom yang merasa haus dan sedikit lapar, meninggalkan Jan sejenak sendirian untuk membeli minuman dan beberapa camilan.
"Mas Jan!"
Jan yang sedang berkhayal impiannya itu menjadi kenyataan, sontak menoleh ke sumber suara. Entah sebuah kebetulan atau takdir yang ingin mempertemukan mereka, Soca berada di sini dan menyapanya. Perempuan itu juga tampak tersenyum lebar saat menghampirinya. Tentu saja kebahagiaan Jan bertambah berkali-kali lipat, kehadiran Soca yang tidak diduga-duga membuat harinya semakin bersemangat.
Perempuan itu kini ikut duduk di samping Jan dengan wajah yang ceria. Namun, wajahnya berubah serius ketika akan mengatakan sesuatu. "Mas Jan, saya ...," ucapnya ragu-ragu.
"Ada apa, Mbak? Mau bilang apa?" tanya Jan penasaran.
"Saya boleh minta tolong tidak, Mas?"
Tubuh Jan bergerak menghadap Soca. "Bantu apa, ya, Mbak?" tanyanya antusias. Bunga kembali bermekaran di hatinya, dia juga diam-diam tersenyum memperhatikan Soca yang sedang tertunduk.
Soca kemudian mendongak, menatap Jan penuh harap. Dia pun menghela napas panjang sebelum mengatakan hal yang sudah ia rencanakan dari kemarin. "Bantu saya supaya Mas Anom mau menerima perjodohannya," katanya membuat Jan tercengang.
Alis Jan menukik tajam, tidak terlalu mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Soca. "Anom dijodohkan? Sama siapa, ya, Mbak? Saya sama sekali tidak tahu," tanyanya.
"Iya, Mas, Mas Anom sedang dijodohkan." Soca kembali tertunduk malu. "Sama saya," lanjutnya tersipu.
Jan terkesiap, matanya melebar. Bunga-bunga di hati Jan mendadak layu dan terbakar. Dadanya bahkan terasa panas sekarang. Helaan napasnya pun terdengar kasar penuh amarah. Dia tidak menyangka, teganya Anom merahasiakan perjodohannya dengan Soca, perempuan yang berhasil mendobrak pintu hatinya. Jan juga tidak pernah mengira, sahabatnya bisa menyembunyikan hal besar yang kini membuatnya sakit.
Seraya memegangi dadanya yang terasa sesak, Jan bangkit dari duduknya. Dia tidak pernah tahu, cinta dapat memberikan rasa sakit seperti ini, sampai pertemuan yang Jan nantikan pun terlupakan. Dia kini melangkahkan kakinya pergi dari sana dengan perasaan geram, tanpa bicara sepatah kata pun pada Soca. Meninggalkan perempuan itu yang kini kebingungan atas sikapnya Jan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pigura
General Fiction[Novelet] Lukisan-lukisan indah milik Jan sama sekali tidak menarik perhatian dunia. Seolah-olah kegagalan adalah gelar yang pantas untuk disematkan pada mimpinya. Padahal, demi mimpinya itu Jan harus mengorbankan perihal-perihal kecil yang penting...