Bagian 10

11 4 2
                                    

Awan mendung ikut serta menemani kepedihan yang dirasakan oleh Jan. Dia berjalan dengan langkah kaki yang cepat meninggalkan pertemuan pentingnya nanti, demi mengikuti amarahnya yang sedang bergejolak. Dia seakan tidak peduli jika jalan yang baru saja terbuka untuk mimpinya itu harus hancur. Jan lebih memilih pergi untuk ketenangan diri. Jan merasa, cinta yang baru saja tumbuh menyakiti hatinya terlalu dalam. Terlebih lagi sahabatnya yang tidak memberitahu kebenarannya sejak awal.

Soca masih memandangi kepergian Jan dengan rasa heran. Namun, tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan Anom yang memanggil-manggil nama Jan. Sontak Soca berhenti memperhatikan Jan yang kini semakin menjauh dari sana, ia beralih menatap Anom dengan perasaan yang gembira.

"Mas Anom!" seru Soca kegirangan.

Anom tidak menanggapi dan bersiap menyusul sahabatnya itu. Sampai-sampai, makanan dan minuman di tangannya tidak sengaja ia jatuhkan. Akan tetapi, lengannya lebih dahulu ditarik oleh Soca dengan sekuat tenaga perempuan itu, sehingga ia tertahan dan tidak bisa beranjak dari sana.

"Soca, lepaskan aku," pintanya sedikit tegas.

Perempuan itu justru menggeleng, menampilkan wajahnya yang memelas. "Mas Anom, jangan pergi. Di sini saja, aku mau bicara sama Mas."

Anom berdecak, perasaannya tidak keruan. Kepergian Jan yang tiba-tiba, juga keberadaan Soca di sini membuatnya tidak enak hati. "Aku harus mengejar Jan, itu lebih penting. Lagi pula sedang apa kamu di sini?"

"Tidak, kamu tidak boleh pergi, Mas. Kamu harus tetap di sini dan memutuskannya sekarang. Aku dan orang tua kita sudah lelah menunggu," ucapnya, tidak menjawab pertanyaan Anom mengenai alasan keberadaannya di sini.

Anom menghela napas kasar, menatap kesal ke arah perempuan itu. "Lepaskan aku, Soca!" Dia melepas paksa tangan Soca yang memegang lengannya erat, sehingga  mata perempuan itu kini berkaca-kaca. Anom melakukannya dengan sedikit kasar. "Sekarang jawab aku, ada apa sebenarnya? Kenapa Jan tiba-tiba pergi dari sini?" tanyanya marah, seraya melihat jam di tangannya dengan gusar.

"Aku ...." Soca menelan salivanya, dia merasa takut mendapat tatapan  Anom yang tidak seperti biasanya.

"Cepat katakan!" bentak Anom, saat perempuan di hadapannya ini masih terdiam.

Soca terkesiap, tidak menyangka Anom bicara keras padanya seperti itu. "Aku tadi hanya meminta bantuan pada Mas Jan," ujarnya seraya menyeka air mata yang akan meluncur bebas membasahi pipinya. "Setelah itu Mas Jan pergi, aku tidak tahu kenapa." Soca kini terisak, tidak dapat menahan rasa sakit saat Anom menyentaknya barusan.

Anom mengerutkan dahi. "Bantuan apa? Katakan dengan jelas," tanyanya datar, tetapi perasaannya jadi campur aduk.

"Aku ... minta Mas Jan buat bujuk kamu menerima perjodohan kita, Mas," jelasnya tersedu-sedu dan merasa takut kala Anom menatapnya geram.

Rahang Anom mengeras, hal yang ia takutkan jadi kenyataan. Napasnya juga terdengar tidak beraturan, ia mencoba menahan rasa kesal di dadanya.

"Ayahmu yang suruh, Mas," ungkap Soca tiba-tiba, ia merasa tidak tenang melihat Anom terdiam dengan wajah yang memerah. "Mas Anom selama ini hanya peduli sama Mas Jan, tanpa memikirkan keinginan ayahmu sendiri, Mas."

Anom menarik napas dalam kemudian mengembuskan perlahan. Dia mencoba menghilangkan amarahnya. Kecemburuan sang ayah terhadap kepeduliannya yang lebih besar pada Jan, membuat sahabatnya itu kini terluka. Anom selalu melaporkan segala kegiatan yang akan ia lakukan bersama Jan pada sang ayah, bahkan ia juga memberitahu ayahnya kalau Jan menyukai Soca. Sekarang, dengan sengaja ayahnya itu mengirim Soca pada Jan, membongkar apa yang ia sembunyikan pada sahabatnya itu.

"Selama ini Mas hanya menghabiskan waktu untuk membantu Mas Jan yang bahkan bukan keluargamu sendiri, Mas," ujarnya lirih, menyulut kembali amarah Anom.

"Berani sekali kamu mengatakan itu, Soca." Anom menatap perempuan itu berang. "Jan dan ibunya itu keluargaku," katanya penuh penekanan.

Setelah mengatakan itu, Anom beranjak untuk mengambil lukisan-lukisan Jan. Dia sudah cukup menghabiskan waktu untuk menggubris perempuan yang dijodohkan dengannya ini. Niatnya untuk menyusul Jan pun ia urungkan. Anom akan tetap pergi menemui orang yang menjadi tujuannya kemari, kendatipun tanpa ada Jan di sisinya. Dia tidak akan membiarkan harapan Jan kali ini gagal. Sahabatnya itu sudah merasakan sakit karena cintanya, Anom tidak akan tega jika harapannya ini menambah sakit pada hati sahabatnya itu.

Soca terdiam dan hanya menampakkan wajah sedihnya saja. Anom pun memandang Soca sekilas sebelum melangkahkan kakinya pergi dari sana. Sebenarnya Anom masih punya hati, ia tidak tega meninggalkan Soca sendirian. Namun, Anom tidak punya banyak waktu, lima menit lagi orang itu akan sampai di tempat pertemuan yang sudah dijanjikan. Dia lalu pergi tanpa mengatakan apa pun pada Soca yang kini banjir air mata.

Sementara itu, di warung Jan sedang mengeluarkan seluruh rasa sakitnya pada sebuah kanvas. Beruntungnya ia kemarin meninggalkan beberapa peralatan lukisnya di warung. Segala amarah yang sedang hinggap pada dirinya saat ini, ia salurkan menjadi sebuah lukisan. Hal ini mungkin tidak bisa membuang sepenuhnya rasa kekecewaan Jan. Akan tetapi, dengan begini Jan tidak perlu ke rumah dalam keadaan marah, yang nanti justru berakhir mengundang pertengkaran dengan sang ibu.

Rasa sesak di dadanya belum sepenuhnya reda, tetapi kini ia sedikit lebih tenang. Mimpinya itu berhasil menghibur dirinya. Jan menyesal telah menduakan cinta mimpinya itu. Kalau saja ia tidak membuka hati dan berharap cintanya terbalaskan, mungkin ia tidak akan pernah merasakan kepedihan ini. Namun, Jan juga menganggap dirinya itu memang tidak beruntung untuk mendapatkan mimpi-mimpinya. Dia gagal dalam keduanya, menggapai impian dan mendapatkan perempuan yang ia dambakan.

Posisinya sekarang bagai kisah hidup sang ayah. Kehilangan dua cinta yang paling diharapkan, impian dan juga kekasih. Menurutnya, Jan berlayar di takdir yang buruk. Keberuntungan dan keberhasilan tidak pernah berpihak padanya. Jan sedikit menyerah, tetapi bukan dalam mimpinya. Jan kini putus asa dalam mendapatkan cinta. Mulai detik ini dalam sumpahnya, perempuan tidak akan lagi ia biarkan bersanding dengan impiannya.

Beberapa waktu berlalu, lukisan hasil dari pelampiasan emosinya Jan selesai. Lukisannya tersirat makna rasa sakit yang mendalam. Orang-orang yang memandang lukisannya pun pasti akan ikut merasakan duka di dalamnya. Jan sangat puas atas karya yang dapat menyerap kesedihannya, sehingga hatinya yang layu perlahan tegar kembali.

Merasa sudah cukup lama mengamati lukisannya, Jan pun bergerak untuk membuka warung. Semenjak kedatangannya kemari, ia langsung mencari alat lukisnya. Jan ingin membuat emosinya stabil terlebih dahulu, sehingga ia membiarkan warung tetap tutup agar tidak terganggu oleh apa pun. Warung pun ia buka dengan sisa-sisa semangatnya. Namun, Jan seketika tertegun, ia mendapati Anom berdiri di luar warung. Sahabatnya itu menunjukkan senyum simpul dalam raut wajah getir.

Pigura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang