Rasanya hari ini ribuan bunga mekar di gubuk kecil ibu. Pagi yang biasanya sunyi, sekarang terisi senandung kecil ibu yang sedang membersihkan seluruh penjuru rumah. Selama bertahun-tahun lamanya ia harus bertarung dengan rasa khawatir atas ketidakpedulian sang putra terhadap usaha kecilnya. Namun, kali ini kemenangan perlahan berada di tangan yang sudah lama menanggung kepedihan. Dia akhirnya dapat menikmati ketenteraman hati karena Jan mau meneruskan usahanya, tanpa harus menunggu pertengkaran yang membuatnya merajuk.
Seluruh kebahagiaan di dunia seakan tertuju padanya sekarang. Ibu benar-benar merasa senang, meskipun hanya perubahan kecil dari sang putra. Tidak masalah baginya, perubahan-perubahan yang lain pasti akan segera tiba. Semua berawal dari hal kecil dan tentunya berjalan perlahan, kita hanya perlu bersabar dengan doa yang tidak pernah terputus. Dia juga menjadi yakin, harapannya untuk kebaikan sang putra, satu demi satu akan terwujud.
Dia pun kini berikrar di dalam hati, ia akan mendukung mimpi sang putra jika putranya itu benar-benar berubah. Mulai dari kehidupan realita yang putranya lupakan, juga kedudukannya sebagai hamba yang tidak pernah ia utamakan. Ibu mau nanti sang putra menjadi hamba yang taat terhadap Sang Pencipta, yang hormat terhadapnya, yang peduli pada sekitar dan juga cinta pada dirinya sendiri. Setelah itu, barulah ia akan mendukung sepenuhnya mimpi sang putra, bahkan ia akan jadi orang paling bangga saat impian putranya itu tercapai.
Sebuah senyuman yang sedari tadi tidak luntur di wajahnya, kini mendadak menghilang. Kepalanya tiba-tiba merasa seperti ditusuk-tusuk. Beberapa hari ini sakit di kepalanya semakin sering terasa, bahkan terkadang dia merasa mual. Pandangannya juga mendadak kabur dengan tubuh yang merasa lemas. Namun, dia tidak heran dan memakluminya. Di usianya sekarang segala penyakit suka sekali datang pada tubuh yang memang sudah mulai renta.
Di rumah, sang ibu sedang merasakan sakit yang menjalar di kepalanya dan di tempat lain Jan sedang merasa kegirangan. Dia merasa senang atas kehadiran Soca di warung ibunya. Sang dambaan hati yang biasanya datang di siang hari, kini perempuan itu sudah ada pagi ini di warung 'menemaninya'. Soca sedang memperhatikan dirinya yang sedang melukis. Jan memang membawa peralatan lukisnya ke warung, supaya lukisan yang dijadikan syarat untuk sebuah pameran segera rampung.
Kehadiran Soca ke warung ibunya Jan bukanlah tanpa maksud. Dia datang pagi-pagi karena tahu Anom berada di sana. Ayahnya Anom yang memberitahu dan menyuruhnya pergi ke sana untuk mendekati Anom. Ayah dari pria yang ia sukai itu sudah tidak sabar membuatnya menjadi seorang menantu. Untuk itulah, Soca yang harus merayu Anom agar menerima perjodohannya. Akan tetapi, saat dia tiba di warung, ia sama sekali tidak melihat keberadaan pria yang diinginkan. Dia hanya melihat Jan yang sedang membuat sebuah lukisan yang menarik perhatiannya.
"Kamu belajar di mana, Mas? Lukisannya cantik," tanya Soca memecah keheningan dan kecanggungan yang tadi ada di antara mereka.
Jan menarik sudut bibirnya, dia meleleh hanya mendengar suara sang dambaan hati. Ya, lukisanku ini memang cantik, tetapi hadirmu mengalahkan kecantikan yang ada pada lukisanku. Kamu lebih daripada ini, Soca.
Pujiannya dalam hati sangat ingin Jan utarakan secara langsung. Seluruh dunia juga harus tahu, yang menjadi alasan Jan menjaga warung adalah perempuan itu. Soca berhasil mendapat tempat spesial di ruang hatinya. Tiba-tiba dia tersenyum geli saat memikirkan sesuatu yang baginya lucu. Membayangkan mimpinya itu juga seorang perempuan, pasti saat ini mimpinya itu sangat cemburu atas keberadaan soca di dalam hatinya.
"Saya belajar sendiri, Mbak," jawabnya setelah lama pertanyaan Soca ia abaikan. "Lewat internet, dari telepon genggamnya Anom," tambahnya, seketika membuat Soca tersenyum simpul.
Perempuan itu merasa tepat menaruh hati pada pria yang dijodohkan dengannya. Selain wajah yang rupawan, Anom juga mendapat nilai tambah karena memiliki hati yang sangat baik. Bukan hanya itu, Anom juga seorang pria yang bertanggung jawab, dermawan, dan setia kawan. Soca tahu itu karena sudah cukup lama mengenal Anom.
"Mbak, sudah lama suka lukisan?" Kini Jan memberanikan diri bertanya, sebagai salah satu cara agar ia bisa mendekati Soca.
Soca mengangguk dan tentu saja Jan tetap menunggu jawabannya, karena posisinya sedang membelakangi Soca. Dia juga tidak bisa melihat, perempuan dambaannya itu sedang tersenyum memikirkan seseorang. Anom kini sedang menguasai pikiran perempuan yang ia sukai.
Jan membalik tubuhnya menghadap Soca. "Oh, iya, Mbak. Ada perlu apa sama Anom?" tanyanya penasaran. Jan tahu alasan perempuan ini kemari adalah Anom. Namun, dia tidak berpikiran buruk, dia rasa ini pasti urusan antar orang tua yang dititip pada anak-anaknya.
Soca tampak gelagapan, bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin dia harus menceritakan alasan yang sebenarnya dia berada di sini. Namun, kemudian satu alibi muncul dalam pikirannya, dengan takut-takut ia menjawab, "Ada yang mau saya bicarakan sama Mas Anom, Mas. Biasa, ayah saya titip pesan buat ayahnya Mas Anom."
Jan tersenyum, merasa dugaannya benar. Padahal jika ia tahu alasan sebenarnya Jan pasti merasa sakit. Soca kemari untuk membuat sahabatnya itu menerima sebuah perjodohan. Jan mengangguk mengerti, setelah itu kembali pada kanvasnya. Kali ini dia melukis sesuatu yang akhir-akhir ini membuat hatinya berbunga-bunga. Dia melukis seorang wanita yang tidak lain adalah Soca, tetapi perempuan itu ia buat tampak belakang, sehingga orang yang ia lukis itu tidak dapat menyadarinya.
Dalam keheningan yang menyelimuti mereka. Soca diam-diam mengamati penampilan Jan. Raut wajahnya menampakkan rasa tidak suka. Menurutnya, Jan berbanding terbalik dengan kesempurnaan yang dimiliki Anom. Jan sangat jauh dari tipikal pria idamannya. Penampilan Jan yang berantakan dan terlihat sekali jarang merawat diri. Namun, dia mengakui keterampilan Jan dalam membuat lukisan perlu diacungi dua jempol. Soca salut dengan bakat yang dimiliki pria itu. Namun, Jan tetap kalah jika disandingkan dengan pria dambaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pigura
General Fiction[Novelet] Lukisan-lukisan indah milik Jan sama sekali tidak menarik perhatian dunia. Seolah-olah kegagalan adalah gelar yang pantas untuk disematkan pada mimpinya. Padahal, demi mimpinya itu Jan harus mengorbankan perihal-perihal kecil yang penting...