Paras cantik yang sudah lama ia rindukan, kini berada tepat di hadapannya. Memori pertemuan mereka untuk pertama kali kembali berputar dalam ingatan Jan. Hari itu, seperti biasa setelah pertengkaran yang terjadi antara ia dan ibunya, Jan pergi menjaga warung kecil sang ibu bersama Anom. Saat itu warung sepi pembeli, sehingga Jan memilih untuk membuat beberapa gambar dalam buku sketsanya. Anom sendiri memutuskan pergi dari sana untuk membeli makan siang mereka.
Jan sendirian dan fokus pada buku sketsanya. Sampai kemudian, seseorang memanggil-manggil nama sang ibu. Beberapa saat panggilan itu Jan abaikan, dia lebih peduli untuk menyelesaikan gambarnya. Akibatnya, terdengar pula beberapa kali helaan napas kesal dari orang itu. Sorot matanya tidak bersahabat ketika melihat keberadaan Jan yang tidak mengindahkannya.
Setelah gambar itu rampung, barulah Jan menoleh ke sumber suara. Seorang perempuan bersurai panjang dan lurus dilihatnya. Mata Jan melebar, bahkan tanpa sadar mulutnya sedikit terbuka. Jantung Jan juga jadi berdebar dengan cepat. Dalam hatinya Jan berkata, Perasaan macam apa ini? Kenapa pesonanya menarik perhatianku?
Selama ini mata Jan tertutup. Dia sama sekali tidak pernah memerhatikan sekitar. Orang-orang yang datang untuk beli di warung ibunya pun tidak pernah Jan perhatikan. Namun, saat ini, untuk pertama kalinya dalam seumur hidup. Jan baru sadar, di dunia ini ada perempuan yang begitu elok dalam pandangannya. Wajahnya yang ayu rupawan, sepersekian detik mengalihkan Jan dari buku sketsanya. Buku itu bahkan tak sengaja Jan jatuhkan.
Perempuan itu mencoba menetralkan rasa kesalnya. Sudut-sudut bibirnya ia paksakan untuk naik kembali. "Maaf, Mas. Bu Sri ke mana, ya?" tanyanya. Matanya mengedar mencari keberadaan ibunya Jan.
Jan hanya mematung. Dia masih terpaku dengan keindahan yang perempuan itu miliki. Hal itu tentu saja membuat perempuan itu memandang tidak suka. Dia sampai memeluk tubuhnya takut. Jan baginya sangat aneh dan menyeramkan. Namun, dia harus segera selesaikan urusannya datang kemari.
"Mas!" panggil perempuan itu sedikit berteriak.
Jan terperanjat. "I-iya, Mbak," sahutnya merasa gugup.
Sebuah senyuman tidak perempuan itu tampilkan kembali. Tampangnya berubah jadi datar. "Bu Sri ada di mana?"
"Ibu saya hari ini tidak bisa jaga warung, Mbak. Ada apa, ya?"
Sejarah harus mencatatnya. Jan baru saja mengatakan kalimat yang lumayan panjang dengan lancar pada orang asing. Biasanya, harus ada Anom di sampingnya, agar ia tidak takut untuk berkomunikasi dengan orang lain. Anom jugalah yang membantunya melayani para pelanggan, sangking tidak bisanya Jan untuk berbicara dengan orang yang tidak ia kenal.
"Ini, seperti biasa, Mas. Saya datang buat kasih makanan ini ke Ibu Sri." Perempuan itu memberikan kantong plastik berisikan makanan. "Tolong nanti kasih ke ibunya, ya, Mas."
Jan menerimanya dan ia dapat mencium aroma yang menggiurkan dari kantong plastik di tangannya. "Terima kasih," ucapnya melempar senyuman.
"Kalau begitu, saya pergi dulu, ya, Mas. Titip salam buat Ibu Sri, besok saya datang lagi ke sini," kata perempuan itu, yang bagian kalimat terakhirnya menarik perhatian Jan.
"Besok datang lagi," gumam Jan pelan, hanya ia sajalah yang dapat mendengar ucapannya itu. "Mbak, datang ke sini setiap hari?" tanyanya kemudian.
Perempuan itu mengangguk. "Iya, setiap hari saya ke sini. Buat kasih makanan ke Ibu Sri," jawabnya dengan tampilan senyum yang ia paksakan.
"Kenapa, Mbak?"
Dahi perempuan itu berkerut, tidak mengerti kenapa Jan bertanya seperti itu. Namun, sesaat kemudian ia paham maksud dari Jan. "Itu sudah biasa, Mas. Ibunya Mas sama saya sudah kenal lama. Saya memang suka bagi masakan saya saja buat Ibu Sri. Saya suka masak banyak soalnya," jelasnya membuat Jan paham. "Saya pergi dulu, ya, Mas. Mari ...," pamitnya segera pergi dari sana. Dia merasa tidak nyaman dengan tatapan yang Jan berikan kepadanya.
Perempuan itu akhirnya hilang dari pandangan Jan. Meninggalkan Jan dengan rasa yang tidak bisa ia deskripsikan. Sejak saat itulah, wajah perempuan itu senantiasa terbayang dalam benaknya. Perempuan itu berhasil masuk dalam hatinya pada pandangan pertama.
Ingatan itu berakhir saat Anom menepuk pelan lengannya dan berbisik, "Jan ... ayo, ajak dia bicara."
Jan menoleh ke arah Anom yang sedang menaik turunkan alisnya. Dia hanya bisa menampilkan senyumnya yang tampak malu-malu. Hal itu membuat Anom tertawa geli di dalam hati.
"Bu Sri tidak ada di warung, ya?" Wajah perempuan itu menampilkan senyum manis untuk orang di hadapannya.
Melihat itu Jan jadi merasa senang, karena menganggap senyuman itu untuknya. Tanpa dia tahu, kalau senyuman itu Soca tujukan untuk pria yang ada di sampingnya.
Jan yang salah paham membalas senyuman itu. "Iya, Mbak. Ibu hari ini tidak ke sini," tuturnya.
Pandangan Soca tertuju pada Anom yang canggung. Anom yang merasa tidak enak dengan Jan pun hanya bisa menunduk. Dia akan bingung nanti kalau Jan menyadarinya. Anom tidak mau merusak kebahagiaan Jan. Sudah cukup untuk sahabatnya merasakan kegagalan dalam impiannya. Dia ingin, dalam asmara sahabatnya itu berhasil.
"Ya, sudah. Ini nanti tolong kasih ke Ibu Sri, ya, Mas." Wajahnya tampak malu-malu saat memberikan makanan itu. Tentu saja bukan Jan yang menjadi alasannya seperti itu, tetapi Anom yang tadi melirik ke arahnya.
Raut wajah Jan tampak semringah ketika menerimanya. Perempuan itu semakin cantik. Ini pertemuan kedua dan ia semakin terpikat. Rasa ingin memiliki itu semakin tinggi. Segala hal yang ada pada Soca, Jan menyukainya.
Senyum di wajah Soca tidak luntur sedikit pun. Dia kemudian memandang Anom secara diam-diam. "Saya pergi pamit dulu, ya, Mas. Titip salam buat Bu Sri," ujarnya pada Jan. Namun, pandangannya tidak lepas pada Anom. Dia selalu berharap, agar Anom segera menerima perjodohan mereka.
"Mari ...." Soca berbalik dan melangkahkan kakinya perlahan. Dia tidak rela jika harus pergi, keberadaan Anom membuatnya nyaman untuk berlama-lama di sana. Akan tetapi, hatinya juga sakit, karena Anom sama sekali tidak menyapa bahkan tersenyum padanya.
Setelah kepergian Soca, Anom lantas berdeham. Menyadarkan Jan yang menatap kosong jalanan dengan senyum lebar di wajahnya. "Kenapa kamu tidak ajak dia bicara, Jan? Kamu menyia-nyiakan kesempatan."
Jan tersenyum, tubuhnya bergerak menghadap pada Anom. "Aku bicara padanya lewat mataku, Nom. Aku sudah cukup senang sekarang, meskipun tidak bisa bicara panjang lebar dengannya," ujarnya, kemudian kembali melihat jalanan. "Kamu lihat bukan, tadi dia tersenyum padaku?"
Air muka Anom jadi muram. Senyumannya tadi untukku, Jan. Bahkan tatapannya pun sedari tadi tertuju padaku. Maafkan sahabatmu ini.
Baru saja Anom akan membuka suara. Telepon genggam canggih miliknya justru berdering. Dia pun merogoh saku celananya. Layar teleponnya menampilkan nama kontak yang seketika itu membuat Anom membulatkan kedua matanya. Namun, tidak lama kemudian, dia beralih menatap Jan dengan senyum haru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pigura
General Fiction[Novelet] Lukisan-lukisan indah milik Jan sama sekali tidak menarik perhatian dunia. Seolah-olah kegagalan adalah gelar yang pantas untuk disematkan pada mimpinya. Padahal, demi mimpinya itu Jan harus mengorbankan perihal-perihal kecil yang penting...