Bagian 15

9 3 1
                                    

Tidak ada satu hari pun yang Anom lewatkan untuk mencari sahabatnya. Sampai dua bulan berlalu, ia tetap mencari keberadaan Jan. Setiap harinya dari pagi sampai sore, bahkan terkadang sampai malam ia menyisir tiap tempat di kotanya hanya untuk menemukan orang yang baginya itu keluarga. Berharap bisa menemukan sahabatnya itu dalam keadaan yang baik-baik saja. Selama itu pula Anom merasa sendirian, walaupun sebenarnya Soca terkadang ikut menemaninya setiap saat. Namun, dia tetap kesepian, posisi Soca dihatinya hanyalah teman biasa, berbeda halnya dengan Jan yang sudah seperti saudaranya.

Seperti biasa, pagi ini pun Anom sudah siap dengan motornya untuk mencari Jan. Namun, sebelum menyusuri jalanan dan juga tempat-tempat yang belum ia datangi, Anom putuskan untuk pergi ke rumah Jan terlebih dahulu. Telepon genggamnya ia tinggalkan di sana, karena memang selama dua bulan ini ia lebih banyak menginap di rumah yang hampa itu. Mengisi kekosongan di dalamnya, dengan harapan rumah itu tidak merasa sendiri sepertinya.

Sampai di sana, Anom justru dibuat terkejut dengan pintu rumah yang sudah terbuka. Padahal Anom ingat betul, kemarin sore pintu rumah Jan sudah ia kunci. Dia pun dengan langkah cepat segera memeriksa ke dalam, takut jika ada penyusup yang mencoba mencuri ataupun merusak barang-barang yang bagi Anom di dalamnya banyak kenangan. Anom memindai hampir ke seluruh bagian rumah dan belum ia lihat adanya tanda-tanda penyusup. Tinggal satu ruangan lagi yang belum ia periksa, yaitu kamarnya Jan.

Anom pun pelan-pelan mendorong pintu kamarnya Jan yang sudah lapuk, bersiap siaga barangkali memang ada penyusup di sana. Pintu pun kemudian terbuka sepenuhnya, seketika Anom melebarkan mata. Dia tercengang melihat seseorang yang tengah terduduk membelakanginya, dengan kanvas ukuran sedang di depannya. Seseorang itu tampak sedang melukis tiga rupa yang Anom kenali.

Perlahan Anom mendekati orang tersebut. "Jan ...," panggilnya ragu-ragu.

Penampilan orang tersebut jauh berbeda dengan sahabatnya. Pakaian yang bersih, tubuh yang sedikit berisi, juga rambut yang dipotong pendek dan rapi. Tidak seperti Jan, tetapi Anom mengenali tangan yang lihai memainkan warna-warna ke dalam kanvas itu. Dia rasa orang ini adalah Jan. Apalagi setelah melihat lukisan yang sudah seperti foto keluarga, karena di dalamnya terdapat lukisan wajah Jan dan kedua orang tuanya.

"Jan," panggil Anom lagi seraya menepuk pelan bahu orang itu.

Orang itu pun menoleh ke arah Anom dan tersenyum lebar. Dia sedikit terkesiap, mendapati wajah yang tidak asing baginya itu bersih tanpa kumis dan janggut. Jika benar ini adalah Jan, Anom jadi tidak terlalu mengenalinya. Jan tampak berbeda sekali dengan yang terakhir kali ia lihat. Dia yang sekarang terlihat seperti tidak ada beban. Aura yang cerah juga terpancar di wajahnya.

"Apa kabar, Nom?" tanyanya seraya menyimpan kuas yang tadi ada di tangannya.

Anom balik bertanya untuk memastikan, "Ini ... benar kamu Jan?"

Jan pun mengangguk. "Iya, ini aku, Nom," jawabnya.

Lantas Anom pun merangkul sahabatnya itu. Setelah sekian lama, hatinya kembali merasakan kebahagiaan yang hilang. Sampai-sampai dirinya tanpa sadar berlinang air mata. Begitu senangnya Anom hari ini, orang yang selama ini ia cari kembali. Lebih dari pada itu, selain Jan terlihat baik-baik saja, penampilan sahabatnya pun berubah seperti apa yang diimpikan sang ibu.

Anom mengurai rangkulannya. "Ke mana saja kamu, Jan?"

Mata Jan memandang beberapa lukisan yang berada di kamarnya itu satu-satu. "Pergi melenyapkan Jan yang dulu, Nom," ujarnya kemudian beralih menatap lukisan yang baru dibuatnya. "Aku pergi untuk menghilangkan Jan yang menyakiti hati ibu." Jan menyentuh wajah ibu dalam lukisan.

Anom pun menepuk-nepuk bahunya Jan beberapa kali. "Bibi akan senang melihatmu yang sekarang," katanya seraya memandang lukisan keluarga Jan itu.

"Iya, ibu akan sangat senang. Ibu bahkan akan merayakannya. Jan yang bermimpi jadi pelukis ternama ini, berubah menjadi putra yang ia inginkan," ungkap Jan kini bangkit dari duduknya menuju ranjang yang sudah lama ia tidak tempati. "Aku sadar sekarang, Nom. Kegagalanku dalam meraih impian bukanlah hal yang buruk."

Pigura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang