Bagian 2

19 6 1
                                    

Malam yang panjang sudah berlalu. Pelampiasan rasa sakit Jan dalam wujud lukisan pun sudah rampung. Semalaman dia tidak tidur dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan hal yang dicintainya itu. Dalam kanvas yang tak lagi kosong, tercipta sebuah karya yang mengesankan. Jan sudah termasuk mahir, bakatnya itu seharusnya mendapat penghargaan. Akan tetapi, takdir belum mengizinkan lukisan-lukisan buatan Jan untuk naik derajat.

Anom yang ikut menginap di sana hanya bisa menghela napas panjang, saat terbangun dan melihat sahabatnya itu masih berada di tempat yang sama seperti terakhir kali ia lihat semalam. Padahal, berulang kali dia menyuruh sahabatnya itu untuk beristirahat. Berulang kali pula dia mengingatkan Jan untuk meninggalkan kebiasaan buruknya yang suka begadang. Akan tetapi, sudah jadi tabiat sahabatnya itu yang suka mendadak tuli. Perkataannya Jan anggap hanya angin lewat. Bukan hal baru baginya, tetapi niat baiknya itu seakan tidak dihargai oleh Jan.

Setelah beberapa saat hanya bergeming seraya memandangi sahabatnya yang sedang melamun. Pria jangkung bertubuh atletis itu bangkit untuk menghampiri Jan. Gerak-geriknya sama sekali tidak mengusik Jan yang sudah seperti patung. Ini juga bukan pemandangan yang langka. Sudah menjadi kebiasaan Jan menatap lurus ke arah lukisan yang telah dibuatnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Pernah suatu waktu, dia habiskan sekitar dua jam hanya untuk memperhatikan lukisannya.

Anom menepuk pelan bahu sahabatnya itu. "Ayo, siap-siap, Jan!"

Jan menoleh dengan dahi yang berkerut. "Siap-siap untuk apa?" tanyanya, menatap bingung Anom.

"Jaga warung ibumu," ujarnya. Anom yang tadi fokus pada lukisan sahabatnya beralih menatap sang pelukis. "Kamu tahu sendiri, sekarang ibumu itu pasti sedang merajuk dan mengurung diri di kamar."

Jan hanya mengangguk dan tidak mengatakan apa pun. Dia kembali memandangi lukisannya. Jan benci dunia yang berisik, tetapi apa boleh buat. Warung kecil milik ibunya itu harus tetap buka, karena dari sanalah mereka dapat uang sebagai penunjang kehidupan.

"Aku pergi bersihkan diri dulu, ya, Jan. Kamu juga cepat bersihkan diri." Anom berbalik dan mulai melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana. "Jangan buat aku menunggu. Aku datang ke sini lagi, kamu harus sudah siap," ucapnya sebelum benar-benar keluar dari kamar Jan.

Setelah kepergian Anom, Jan tetap pada posisinya. Dia sebenarnya malas untuk pergi ke warung sang ibu yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Belum lagi letak warungnya yang berada dekat dengan pasar. Akan ada banyak orang yang berlalu-lalang di hadapannya nanti. Namun, dia baru teringat akan satu hal. Ada seseorang yang selalu ingin Jan lihat. Seseorang yang menarik perhatiannya selama tiga minggu ini. Hanya dengan cara menjaga warung ibunya sajalah, dia dapat kembali melihat orang itu.

Jan kemudian bergegas pergi ke kamar mandi yang letaknya berada di belakang rumah. Orang itu akan Jan jadikan alasan, agar tubuhnya mau diajak kerja sama untuk bisa pergi ke luar. Namun, perlu digaris bawahi, daya pikat orang itu tidak bisa mengalahkan impiannya. Posisi orang itu berada tepat di bawah sang ibu pada hatinya.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Jan mempersiapkan diri. Hanya dengan waktu kurang dari 10 menit saja, tubuhnya bisa kembali segar dan sedikit enak dilihat. Dia pun segera pergi ke dapur untuk makan sembari menunggu Anom datang menjemput. Dia menghela napas pelan kemudian menampilkan senyum tipis, saat matanya melihat sepiring nasi goreng di sana. Sang ibu memang marah padanya, tetapi sempat-sempatnya membuatkan Jan makanan. Cinta kasih ibu memang sepanjang masa, ibunya masih peduli bahkan untuk urusan perutnya. Namun, selama ini Jan tetap tidak tahu diri. Kasih sayang ibunya tidak berarti kalau sudah berhadapan dengan impiannya.

Jan mulai melahap masakkan sang ibu yang baginya selalu terasa sedap. Itu pun dengan perasaan yang tidak enak hati. Setiap suapan yang masuk ke mulut, kejadian semalam datang dalam ingatannya. Makan dengan rasa bersalah, memang pantas Jan dapatkan. Tidak lama kemudian, Anom datang di waktu yang tepat, pada saat Jan baru saja selesai menghabiskan makanannya. Tanpa berlama-lama Anom segera mengajak Jan untuk segera berangkat ke warung. Hari sudah menjelang siang. Mereka harus cepat-cepat membuka warung, karena biasanya ada pelanggan setia yang setiap hari dipastikan datang ke sana.

Mereka pun pergi meninggalkan sang ibu yang sedang berusaha menahan rasa sakit di kepalanya. Dia sudah meminum obat pereda sakit kepala, tetapi sama sekali tidak ada pengaruhnya. Akhir-akhir ini, sang ibu memang sering sekali merasakan sakit di kepalanya tanpa Jan ketahui. Namun, rasa sakit ini tidak sebanding dengan rasa sakit akibat kelakuan sang putra. Dia lebih menderita oleh Jan yang tidak mau mendengarkannya. Bukannya tidak mau mengerti, sang ibu sebenarnya sangat paham apa yang Jan inginkan. Hanya saja, itu terlihat mustahil bagi mereka yang kekurangan dan butuh pemasukan yang pasti.

Sang ibu memandangi foto sang putra yang berada di tangannya. Setelah kepergian Jan dan Anom dari rumah, matanya tidak berhenti mengeluarkan air mata. Dia juga tidak membungkam lagi suara tangisnya. Dia lepaskan segala rasa sakit yang menjalar di hatinya. Jan harusnya dikutuk atas kesalahannya ini, tetapi sayangnya Jan beruntung karena mendapat ibu sebaik dia.

Sang ibu menatap lekat Jan yang dalam foto itu masih berusia 7 tahun. "Harapan ibu dulu begitu besar padamu, Jan," ucapnya terisak. "Ibu kira, kalau kamu ikut ibu, kamu tidak akan seperti bapakmu."

Dadanya terasa sesak setiap kali mengingat hari di mana ia  memutuskan untuk meninggalkan  sang suami. "Impian kalian itu menghancurkan keluarga kita, Jan. Harusnya kamu sadar." Sang ibu mendekap erat foto itu di dada. "Harus dengan cara apa supaya kamu mau hidup sesuai kenyataan? Ibu harus bagaimana lagi, Nak?"

Jerit tangis sang ibu memenuhi seluruh penjuru ruangan. Kalau saja gubuk bambu yang dijadikan rumah ini bisa bicara, Jan pasti sudah habis dimaki-makinya. Gubuk bambu ini juga sudah muak pada Jan yang membiarkan ibunya menangis sendirian tanpa kata maaf dari sang putra. Kalau bisa, tanah yang sering Jan pijak di gubuk ini, menelannya hingga lenyap, supaya hati sang ibu tidak kembali tersayat.

Sang ibu menghentikan tangisnya, kemudian termenung beberapa saat dengan tatapan yang lurus. "Peran menjadi seorang ibu ternyata memang sesulit ini, ya, Nak." Dikecupnya foto sang putra dan kemudian ia pandangi kembali. "Selama ini, sepertinya memang bukan salahmu, Nak. Ini salah ibu yang tidak becus menjalankan peran sebagai ibu." Bibirnya bergetar saat mengatakan itu dan tangannya berusaha menyeka air mata yang terus menerus keluar.

"Setiap anak berhak untuk bermimpi dan berusaha keras mewujudkannya. Dan peran seorang ibu seharusnya mendukung impian sang anak," katanya seraya mengangguk-anggukan kepalanya cepat berulang kali. "Ya, benar seperti itu. Berarti selama ini ibu yang salah, Nak. Maafkan ibu."

Pigura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang