Jan, Anom, dan ibu berkumpul di ruang tengah yang beralaskan tikar. Sang ibu yang baru saja selesai memasak, menyuruh mereka duduk untuk makan bersama. Keduanya hanya mengangguk dan saling pandang. Jan dan Anom belum buka suara mengenai pameran itu. Sikap sang ibu juga seolah biasa saja atas kepulangan mereka yang lebih cepat, bahkan tidak bertanya kenapa warungnya sudah tutup padahal belum waktunya. Ibu lebih berantusias menyajikan mereka makanan.
"Hari ini ibu dikasih daging ayam sama tetangga. Jadi ibu bisa buat sup ayam kesukaan kalian. Makan yang banyak, ya," ucap ibu senang sembari menyerahkan piring berisi nasi pada mereka. "Sudah lama kita tidak makan bersama seperti ini, ibu merasa senang sekarang." Ibu tersenyum dan menatap keduanya dengan penuh kasih sayang.
Melihat ibunya Jan begitu senang menyuguhkan sup ayam itu pada mereka, Anom pun ikut tersenyum lebar. "Wah, cocok sekali dengan cuaca hujan seperti ini, Bi," kata Anom dengan mata yang berbinar. "Aroma sup ayam ini begitu menggoda, perutku sampai tidak sabar ingin segera menikmatinya." Dia terkekeh dan mulai menyendok makanannya.
"Nanti tambah lagi, ya, Nak Anom," kata ibu mendapat anggukan dari Anom. Rupa pucat ibu semakin menampilkan rasa bahagia, karena Anom memakan makanannya dengan lahap. Dia pun beralih menatap sang putra yang belum sama sekali menyentuh makanannya. Putranya sedari tadi hanya terdiam seperti memikirkan sesuatu. "Ayo, cepat makan, Jan. Mumpung masih hangat." Ibu menghampiri putranya itu, kemudian mengelus lembut puncak kepala sang putra.
Jan melihat makanan di depannya dengan tidak selera. "Jan sedang tidak ingin makan," tuturnya. Tangan Jan bergerak meraih tangan sang ibu kemudian menggenggamnya. "Bu, Jan mau bicara hal penting sama Ibu."
Mendengar itu Anom sontak tersedak. Menurutnya ini bukanlah saat yang tepat untuk membicarakan hal itu. Setidaknya sampai acara makan bersama ini selesai. Dia pun menghentikan makannya dan menyenggol pelan Jan, memberi isyarat agar sahabatnya itu tidak membuka suara.
"Mau bicara apa, Nak?" tanya ibu menatap Jan dengan sorot mata yang hangat.
Anom berdeham dan kembali menyentuh bahu Jan. "Jan," panggilnya berbisik.
"Ibu ... senang tidak jika lihat Jan bahagia?" Jan sama sekali tidak menghiraukan isyarat dari Anom. Dia justru akan meminta izin sang ibu saat ini juga, tidak peduli pada suasana hati sang ibu yang sedang merasa senang.
Kerutan di dahi ibu semakin bertambah, ia heran dengan pertanyaan yang diajukan sang putra. "Tentu saja ibu senang, Nak. Seorang ibu pasti senang melihat anaknya bahagia," jawabnya tersenyum tulus.
"Kalau begitu ...." Jan menahan kalimatnya, menyiapkan hati untuk jawaban sang ibu nanti. "Izinkan Jan untuk ikut pameran lukisan di luar kota, Bu," katanya dengan cepat, kemudian menghela napas pelan.
Wajah ibu yang tadi secerah matahari berubah muram. Tangannya yang digenggam sang putra pun ia lepas dengan kasar. Tatapannya kini menyiratkan kekesalan. Di suasana hangat seperti ini, putranya ini justru membuatnya jadi panas.
"Bu, orang itu menyetujui lukisan Jan untuk dipamerkan. Itu pameran besar, sebuah kesempatan bagi mimpinya Jan." Jan memelas dan kembali meraih tangan sang ibu. "Bu, izinkan Jan pergi, ya?"
Mata ibu jadi berair, dadanya kembali merasa sesak karena sang putra mengungkit mimpinya itu. "Kamu mau meninggalkan ibu, Nak?" tanyanya lirih. "Bagaimana dengan tanggung jawabmu menjaga warung? Kamu juga akan meninggalkannya?"
Jan menggeleng. "Tidak, Bu. Jan hanya pergi selama tiga hari. Untuk warung kita bisa tutup sementara saja dulu. Jan nanti pulang lagi. Boleh, ya, Bu? Izinkan Jan pergi," ucapnya hati-hati.
Ibu kembali menarik kasar tangannya yang digenggam sang putra, lalu bangkit dari duduknya sedikit menjauh dari Jan. "Tidak, ibu tidak akan memberimu izin, Jan," putusnya terisak. "Ibu tidak pernah suka mimpimu itu. Ibu membencinya. Kamu tidak boleh pergi dari sini. Hiduplah selayaknya orang biasa, Jan. Kerja apa adanya untuk kebutuhan hidup. Mimpimu itu tidak berguna," sungut ibu sedikit meledak-ledak.
Jan pun merasakan panas di dadanya. Deru napasnya pun terdengar tidak keruan, bahkan sekarang ia berani menatap nyalang sang ibu. "Ibu keterlaluan," bentak Jan membuat sang ibu dan Anom terkesiap.
"Jan!" panggil Anom seraya memegang kedua lengan sahabatnya itu dari belakang. "Jaga bicaramu, Jan, dia ibumu."
"Selama ini Ibu terus saja menghina mimpiku yang menurut Ibu tidak bisa memberi kehidupan." Jan mengatakannya dengan penuh amarah. "Padahal mimpi ini yang membuatku bertahan hidup sampai sekarang, Bu," teriaknya frustrasi.
Ribuan panah bagai menembus jantung ibu. Jan yang ia rawat dengan sepenuh hati, kini berani terhadapnya. Ibu merasa sangat sakit. Namun, tidak hanya di hatinya saja, ibu juga merasakan sakit kepala yang kembali kumat. "Kamu bertahan hidup karena hasil keringat ibu, Jan," ucap ibu tidak kalah kerasnya. "Mimpimu itu hanya membawa kehancuran," jerit ibu, kemudian berdesis merasakan sakit di kepalanya yang menjadi-jadi.
Napas Jan tersengal-sengal. Amarahnya semakin tersulut. "Ibu!" Dia bangkit dari duduknya dan menepis kuat tangan Anom yang berusaha menahannya. "Jika tidak ada mimpi ini, aku sudah mati sejak lama, Bu. Aku butuh bapak, Bu. Hanya dengan cara hidup bersama mimpi bapak saja, Jan dapat merasakan keberadaannya. Jan bertahan hidup karena ingin mewujudkan impian bapak," ungkapnya sampai berlinang air mata.
Ibu menangis tersedu-sedu. Hatinya begitu tersayat atas ucapan sang putra. "Lalu, bagaimana dengan ibu?" tanyanya lirih sembari berusaha menggapai ujung meja di dekatnya, ia membutuhkan tumpuan untuk tubuhnya yang mendadak lemas. "Ibu juga punya harapan agar hidupmu lebih terarah, Jan. Bagaimana dengan itu? Harapan ibu begitu sederhana, tetapi sepertinya kamu sulit sekali mewujudkannya, Jan."
Jan terdiam, dia melihat ke bawah dengan tatapan kosong, sedangkan Anom yang sejak tadi terdiam, kini menghampiri ibunya Jan. Dia memegang kedua bahu ibu susunya itu dari samping, berniat memapahnya masuk ke kamar. "Bi, masuk ke kamar dulu, ya. Tenangkan diri, Bibi. Biar Jan, Anom saja yang urus."
Ibu sama sekali tidak menanggapi Anom. Dia justru mendekati sang putra. "Ibu tidak suka mimpi kalian, Jan," katanya penuh penekanan. "Ibu meninggalkan bapak karena mimpinya itu, sekarang giliranmu. Ibu akan pergi meninggalkanmu. Jangan menyesalinya." Tubuhnya sampai bergetar setelah mengatakan hal itu.
Bukannya merasa takut, Jan justru menantang sang ibu. "Bukan ibu yang akan meninggalkan aku, tetapi aku sendiri yang akan pergi dari sini." Jan dengan penuh amarah beranjak pergi keluar rumah, meninggalkan ibu yang kecewa terhadapnya.
Ibu sama sekali tidak menahan kepergian Jan. Dia membiarkan sang putra mengikuti hawa nafsunya. Berharap setelah itu Jan sadar dan kembali ke rumah. Dia yakin putranya itu akan kembali setelah amarahnya mereda. Namun, kemudian hal aneh terjadi pada tubuhnya yang semakin bergetar hebat. Dia tidak dapat mengendalikan tubuh yang terasa sakit dan lemas, ditambah pandangannya yang jadi buram. Perlahan dirinya pun tumbang dalam keadaan tubuh yang kejang-kejang.
"Bibi!" teriak Anom, sontak ia jadi panik dan segera menghampiri ibunya Jan. Dia pun sedikit memberi pertolongan pertama pada ibunya Jan yang semakin mengejang. Tangan Anom yang gemetar pun berusaha menghubungi pihak terkait untuk meminta pertolongan dan segera membawanya ke rumah sakit.
_________________________________Nggak jelas, kurang puas sama part ini, nanti direvisi lagi.😭 Tanganku udah sakit banget. Did you know 'leleus meuyeu'? Nah, tanganku lagi begitu teman-teman. 😞💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Pigura
General Fiction[Novelet] Lukisan-lukisan indah milik Jan sama sekali tidak menarik perhatian dunia. Seolah-olah kegagalan adalah gelar yang pantas untuk disematkan pada mimpinya. Padahal, demi mimpinya itu Jan harus mengorbankan perihal-perihal kecil yang penting...